"Hariman Sipahutar? Kau, kau penulis novel hebat itu kan?" Dia mendekat, langsung menjabat tanganku erat-erat. Mata dinginnya mencair serupa segelas es teh manis yang menggoda.
Aku berharap dia tak mengenaliku dari kehebatan seorang novelis. Tapi dari kenangan saat kami sama-sama kuliah. Sekarang, ternyata dia lebih menghargai karya bertuliskan namaku ketimbang sosok seorang Hariman Sipahutar. Hiks!
"Tidak sehebat-hebat itulah!"
"Tapi benar anda, kan?"
"Hmm!"
Perubahan yang drastis. Dia langsung menelepon seseorang dari hp-nya, setengah berteriak kegirangan tentang keberadaanku. Dia meminta dijemput naik mobil. Kemudian tersenyum sambil memperbincangkan tentang dunia-tulis menulis, tentang novel trilogy-ku berjudul Ziarah Hati jilid kedua kapan terbit, tersebab dia sudah ingin membaca kelanjutan ceritanya yang mengharubiru itu.
Kini aku yang menjadi salah-tingkah. Aku yang akhirnya menyesal kenapa satu sudako dengannya. Kenapa harus mengikuti langkahnya, sehingga pertemanan yang tak mengenakkan ini terwujud.
Perasaan tak nyaman berlanjut di rumahnya yang megah. Hampir seluruh sanak keluarganya berkerumun. Mereka memiliki nyaris semua novel bertuliskan namaku. Mereka meminta tanda-tanganku. Menggenggam jemariku. Memerkosaku dengan makanan-minuman. Sementara cara berbicara Saleha semakin berapi. Dia hapal seluruh jalan cerita novel-novel yang aku sendiri alpa. Aku gelagapan ketika ditusuknya dengan pertanyaan-pertanyaan tentang tokoh novel ini-tokoh novel itu.
Saleha juga tanpa malu-malu mengatakan sudah menjanda. Dia tersipu saat kukatakan bahwa kami sama-sama lajang tua. Anak-cucunya menggoda, menjodoh-jodohkanku dengannya. Siapa pula yang tak bangga, penulis novel ternama bisa memasuki rumah dan kemungkinan besar menjadi salah seorang anggota keluarga mereka!
Cukup sudah! Aku harus buru-buru permisi. Aku tak ingin rasa yang mengganjal dada, bisa meledak dan membuatku merasa amat bersalah.
"Kapan bisa bertemu lagi?" Saleha memastikan. Kutatap dia di cahaya remang senja. Hampir malam.