"Kapan, ya?"
"Sibuk?" kejarnya.
"Saya menunggu telepon anda saja."
Dia sangat berterimakasih. Digenggamnya tanganku erat-erat seolah tak ingin dilepas. Namun semua ini harus dihentikan. Aku tak mau dipuja-puji hanya oleh novel-novel itu.
* * *
Saleha akhirnya tak sabar bersua aku. Di malam yang sedikit berkabut, kami berjanji bertemu di sebuah kafe di kawasan Kesawan. Aku harus menjelaskan semuanya sebelum terlambat. Aku tak ingin dirundung kesalahan bertimpa-timpa saat orang yang pernah kucintai itu merindukan pelukan bayang-bayang semu. Saleha harus memahami kondisi ini. Termasuk mungkin orang-orang yang selalu memuja novel-novel itu. Aku tak ingin hidupku berujung kebohongan-kebohongan, yang menyebabkanku kembali kepada Pencipta tanpa bekal apa-apa, kecuali cap wajah sebagai penipu kelas berat.
Tapi jangan pernah menghakimiku. Semua kulakukan bukan tanpa sebab. Kau tak perlu tahu sekarang sebelum aku berterus-terang kepada Saleha. Tentang semuanya sehingga terang-benderang serupa pagi.
Mien, keponakanku, sengaja mengantarkanku dengan VW kodoknya. Bukan apa-apa, perempuan yang sebelumnya amat susah dimintai tolong ini, ternyata senang sekali saat aku meminta diantarkan ke kawasan Kesawan. Tanpa diperintah untuk yang kedua kali, dia langsung mengambil kunci mobil.
Brrm! Mobil melaju pelan.
 "Benar kakek mau bertemu seorang perempuan?" Mien senang memanggilku dengan sebutan kakek, sama seperti keponakan-keponakanku yang lainnya. Mungkin penampilanku yang kian renta ini penyebabnya. "Calon kekasih, ya?" Dia tertawa ketika kupelototi. "Ini jadi rahasia kita lho, Kek!"
Shit!