Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Suatu Pertemuan

4 Februari 2019   16:32 Diperbarui: 4 Februari 2019   17:18 183
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aku mendesah satu kali. Kuhirup teh hangat. Kucicipi sepotong kecil kue khas Medan; Bika Ambon. Kemudian aku memulai berbicara sangat berat, karena mengungkapkan kejujuran adalah lebih sukar ketimbang berbohong. Begitulah!

"Kalau saat ini aku mengatakan bahwa novel trilogy Ziarah Hati dan juga yang lainnya itu bukan karyaku, tanggapanmu bagaimana?"

"Mustahil!" Dia menikmati martabak mesir di hadapannya.

"Ini benar, Saleha!"

Dia menghentikan suapannya. Sendok mengapung di atas piring bulat putih itu. Segera diturunkannya lagi pelan, manakala dia merasakan keseriusan dari mulutku.

Kukatakan bahwa sebenarnya semua novel yang bertuliskan namaku adalah karya Sulaiman, seorang sahabatku di Palembang. Dia sengaja meminjam namaku, karena tak ingin cerita di novel-novel yang merupakan realitas hidupnya menjadi bumerang.

"Aku tak ingin keluargaku, keluarga istriku tahu bahwa akulah penulisnya. Bila mereka tahu, aku menjadi yang tersalah. Mereka pasti membenci aku, sehingga anggapan bahwa aku si babi yang brengsek memang betul. Bisa-bisa aku tersingkir dari dua keluarga besarku, lalu aku menjadi sebatang kara." Begitu awalnya Sulaiman mengajuk meminta namaku terpacak di novelnya.

"Berarti dia ghostwriter, dong!" sela Saleha.

"Jangan menuduh kawanku terlalu naf begitu, Ha. Kalau aku memang memberi imbalan atas penulisan namaku di novel-novel itu demi sebuah ketenaran, tak masalah kau menyebutnya ghostwriter. Tapi ini persoalannya berbeda."

"Maaf kalau kau tersinggung!" katanya. Kudapati wajahnya sedemikian terkejut. Sikapnya menjadi tak utuh lagi kepadaku. Tatapnya seperti menjaga jarak. Ya, inilah sebuah jawaban kejujuran. Kejujuran itu tetap pahit. Bagaimana kelak kalau seluruh orang Indonesia yang pernah membaca novel-novel bertuliskan namaku mengetahui rahasia ini? Jangankan tomat busuk, telur busuk pun mungkin akan dijejalkan mereka ke setiap hela langkahku.

Kuteruskan bercerita kepada Saleha. Bahwa setelah berbilang tahun novel Sulaiman menjadi best seller, aku sama sekali tak pernah mencicipi royaltinya. Memang yang berurusan dengan penerbit serta kegiatan lain pasca cetak, aku yang mengambil-alih. Begitupun, aku hanya menikmati biaya perjalanan dan makan-makan enak bila harus berjumpa fans. Mengenai uang saku, sama seperti royalti kuserahkan bulat-bulat kepada Sulaiman. Dia memang memberiku pembagian cukup besar. Namun semuanya diam-diam kusumbangkan ke masjid.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun