Aku menyuruh Mien berhenti ketika melihat Saleha memasuki sebuah kafe. Ban mobil mendecit. "Boleh ikut, Kek?"
"Pulanglah!" usirku.
"Yang pacaran! Hahaha!" Dia mengedipkan mata sambil berlalu meninggalkan debu.
Malam sudah sangat merapat. Aku menghela langkah ragu-ragu serupa seorang kekanak yang terlambat pulang sekolah  dan sedang ditunggu sang bunda. Saleha langsung melihatku. Dia melambai. Dia duduk di sudut kafe bersama seorang perempuan yang nyaris setua dia. Pengganggu!
Beruntunglah setelah bersalaman dengan perempuan itu, sekalian berbicang apa-adanya, si perempuan permisi setelah dijemput seorang pemuda. Mungkin anaknya.
Masih seperti seminggu lalu, Saleha tetap antusias membicarakan novel-novel itu. Bahkan dia berniat berguru kepadaku. Namun kutanggapi dingin, sama dinginnya dengan jus wortel yang terhidang di depanku.
"Saya memesan teh hangat saja. Tak biasa meminum air es." Kupanggil seorang pelayan. Saat teh hangat itu terhidang di meja menggantikan jus wortel itu. Saleha seperti merasa bersalah. Dia tak tahu kalau aku anti yang dingin-dingin. Tak apa menurutnya, jus wortelku biarlah dibungkus plastik saja.
"Saleha, apakah  kau pemuja kejujuran?" tanyaku akhirnya.
"Kejujuran? Kejujuran apa itu?" Pipinya bersemu merah. Dia barangkali mengira aku ingin mengatakan ingin memacarinya.
"Meski kejujuran itu akhirnya membuat orang kecewa?" lanjutku.
"Kejujuran itu memang pahit, Hariman!"