Kendati dia sakit hati kepada Kurnen, tapi manakala seorang terpandang singgah di rumah seorang ternista, pupus sudah rasa sakit hati itu. Murad langsung duduk di pinggir dipan. Dia sehat-sehatkan hatinya, karena hatinyalah yang sebenarnya sakit. Apabila teringat kalung babi, semakin sehatlah hatinya.
"Bisa kan menjadi Sibaso sebentar siang?" Kurnen tersenyum ramah.Â
"Bisa, Bang. Aku sudah sehat."
Mereka sebentar berbincang di kamar, dengan ditemani dua cangkir kopi dan sepiring ubi goreng yang dihidangkan ibu Murad dengan sangat terburu. Saat itulah Murad menanyakan pasal kalung babi, hingga membuat Kurnen tertawa terbahak-bahak. Perutnya sampai terguncang hebat.
"Siapa bilang aku punya kalung babi. Ah, bohong saja itu." Dia terdiam sejenak. "Sebenarnya aku yang sengaja menyebarkan berita itu di sini, biar aku kelihatan sebagai kepala centeng tempat hiburan terkenal di Jakarta.Â
Sebenarnya aku hanyalah...." Dia terdiam. "Aku tidak memiliki ilmu kebal apapun. Aku hanya seorang pencari perempuan. Seorang kaki tangan mucikari."
"Jadi, Makmunah, Siti?" Murad tiba-tiba geram sekali. Dia menjadi berani untuk menggumul dan menghunus pisau ke perut Kurnen.Â
"Oh, mereka benar-benar akan kuperisti. Yakinlah!" Kurnen seperti merasa bersalah telah mengungkapkan kehidupannya yang curang. Akan hal Murad, tetap menjadi Sibaso yang hebat hari ini, menghibur penonton dari kini sampai nanti.Â
Dia sebenarnya ingin membunuh Kurnen atas perbuatannya. Tapi dia memilih menjadi penyadap karet dan Sibaso ketimbang menghuni sel penjara karena perbuatannya. Tadi sebelum naik ke panggung, dia telah mengutus Gimin ke kantor polisi kecamatan.Â
Malaporkan bahwa ada bandit besar yang sedang menggerayangi kampung mereka. Bandit besar yang mungkin telah menggerayangi kampung-kampung lain. Akan hal kalung babi, Murad telah melupakannya, seperti Kurnen melupakan bahwa dia telah membodohi orang banyak.
---sekian---