"Akan ada yang melamarmu?"
"Hmm!" Bersemu merah pipi Makmunah.
"Kurnen-kah?"
Makmunah mengangguk. Panas pantat Murad duduk di bangku teras. Daripada bercakap dengan perempuan itu dan akhirnya berujung perbantahan, lebih baik dia pergi. Juga untuk menghindari amukan keluarga besar Makmunah yang sebentar lagi akan mengepungnya.Â
Tidak perduli lagi dia panggilan Makmunah. Dia memilih lari sekencang-kencangnya, demi menghindari bencana dan menyembuhkan rasa sakit hati yang mulai luka dan menganga.
* * *
Setengah tahun hidup dirundung luka, tibalah hari ini luka disiram cuka. Makmunah dilamar Kurnen. Kurnen menanggap gordang sambilan sekaligus Sibaso. Murad sudah enggan menjadi Sibaso. Mendengar Makmunah akan menikah saja, hatinya sudah sakit alang-kepalang.Â
Apalagi harus menonton kemesraan mereka berdua. Bisa-bisa kekuatan Sibaso tidak diperoleh Murad. Bisa-bisa dia ambruk di panggung, dan pesta pernikahan Kurnen-Makmunah bakalan heboh.
Murad pura-pura sakit. Tanpa kehadiran Sibaso Murad, para penabuh gordang sambilan seperti kehilangan nyali. Mereka telah tersugesti bahwa Murad memang telah menjadi mediator roh yang memberikan mereka semangat pantang lelah.Â
Kurnen akhirnya menemui Murad, setelah mendengar kasak-kusuk penabuh gordang sembilan tentang ketidakakanhadiran seorang Sibaso.Â
"Kenapa kau, Murad? Sakit?"