Beruntung nasib masih berpihak kepada mereka. Seekor anak babi hutan berhasil ditembak. Tapi kata Jalimbat, babi itu hanya cukup untuk jatah Blakki dan kawan-kawannya. Anjing-anjing pemburu itu tentu telah lapar dan ingin makan besar malam nanti.
* * *
Makin panaslah hati Murad. Tidak lebih tiga hari setelah mendapat satu slof rokok merk luar negeri, semuanya telah ludes di mulut dan paru-paru Jalimbat. Puas pula dia memendam kesal pada beragam bekas luka di betis, tangan dan sebagian wajahnya. Tidak lebih panas lagi, telinganya sampai penuh oleh dengus dan ocehan Jalimbat.Â
Murad bukan orang yang beruntung. Malah rejeki Jalimbat buntung. Jangankan melihat babi yang memakai kalung, setiap kali berburu, hanya satu-dua ekor anak babi yang didapat. Tuntas pula persekutuan Jalimbat dengan Murad. "Kau kudepak, sebab hanya membuat celaka!" Itu kata-kata terakhir Jalimbat.
Saat hati panas, akhirnya Murad menemui Makmunah. Perempuan itu sedang berias di depan cermin. Sebenarnya siang begini, sangat pantangan bagi mereka berdua berbincang-bincang. Bisa mengamuk keluarga besar Makmunah. Murad belum pasti akan melamar Makmunah.
 Tapi dengan pertemuan dua insan beda kelamin itu, dengan langsung bertatap mata, saling merengkuh genggam, tentulah menjadi aib yang sangat besar. Mereka hanya boleh markusip3) pada saat malam-malam yang sangat jarang. Karena tidak cukup nyali bagi Murad bermusuh dengan nyamuk di kolong rumah.
Hati panaslah yang membuat Murad nekad. Dia ingin melamar Makmunah dalam dua pekan ke depan. Telah terkumpul uang sekadar pembeli seperangkat alat sholat. Mengenai uang permintaan keluar Makmunah, juga cincin nikah, bukanlah hal yang penting bagi Murad. Hanya saja belum tentu tidak penting bagi keluarga besar Makmunah.
"Assalamu'alaikum, Makmunah." Murad memanggil kekasih belahan jiwanya dari bawah jendela. Perempuan yang sedang berias di depan cermin itu menoleh. Sesaat matanya berbinar. Sekejap kemudian seperti ketakutan. "Aku tunggu kau di teras," lanjut Murad.
Meski nyalinya ciut, Murad duduk juga di bangku teras rumah. Suara berisik anak-anak di kolong rumah, membuat nyali lelaki itu semakin ciut. Tidak pelak lagi, mereka akan mengadu ke Pak Tuan, ayah Makmunah. Biasanya sekarang ayah Makmunah sedang di tempat penggilingan padi bersama istrinya.Â
Mudah-mudahan rumah Makmunah sedang sepi. Kalaupun naas, dia bisa dihakimi keluarga besar Makmunah, bila mereka tertangkap basah tengah beradu mesra. Anak-anak di kolong rumah itulah yang kelak menjadi bala bencana. Tapi sebelum Murad memanggil mereka, anak-anak  itu telah menghambur dan melesat pergi.
"Ada apa Abang ke mari? Bukankah belum kuat niat Abang melamarku?" Makmunah mengintip dari sela pintu. "Sampai Ayah dan Emak tahu, Abang bisa kualat. Bisa dimaki-maki. Lebih parah lagi diadukan ke tetua kampung."