Belasan orang bertariak-teriak di pinggir Ogan sambil mengacung-acungkan senjata tajam. Maryam juga ada di antara mereka. Kebencian tersembur dari mulutnya. Di tiang gubuk, Rung terikat dan kelojotan. Maryam menjepit lenganku.
"Lihatlah, Put! Lihat si brengsek itu! Sekarang harus kau saksikan betapa dia adalah siluman buaya seperti kataku."
Aku mengigil menahan marah. Beberapa lelaki membelit tubuhku. Rung memanggil-manggil namaku. Rung menggapai-gapai. Suaranya yang nyaring berubah parau dan serak. Kemudian menjadi erangan.
Badan Rung mendadak bersisik. Kaki dan tangannya bercakar. Mulutnya bermoncong dan bertaring.Â
"Hajar siluman buaya! Hajar  siluman buaya!" Orang-orang berteriak. Menerjang. Mencincang jelmaan Rung.
Aku berontak dan tersentak. Nek Banun, Nek Ilo dan Mang Ayub mengelilingiku.Â
"Syukurlah kau sudah sadar, Nak. Telah dua hari kau tak siuman. Minumlah dulu biar badanmu segar," ucap Nek Banun lembut sambil memijat-mijat kakiku.
"Rung mana, Nek? Rung mana?" Aku menggapai lengannya yang kisut.
"Tak usah kau pikirkan Rung!"
Ingatanku kembali ke dua hari lalu, Ya, aku ingat, tiba-tiba buaya masuk kampung. Orang-orang ribut. Buaya itu menyerang Maryam yang sedang mencuci kaki di parit selepas membantu membersihkan gulma di sawah Mang Ayub. Sekonyong Rung muncul dari balik semak ilalang bersenjatakan kuduk6). Â Rung menyerang buaya itu. Mereka bergumul, hingga salah satu terkapar. Buaya itu berlari dan menghilang di semak ilalang. Rung bersimbah darah. Kata orang yang kemudian merubung, dia tewas. Kuingat Rung suatu hari bisa mengalahkan buaya. Kali ini, tak lagi. Kesaktian Rung hanya bisa mengusir, bukan mengalahkan buaya.
Tiba-tiba aku pingsan dan siuman dikelilingi orang-orang itu.Â