Angin menyambar rambutku. Oh, bukan hanya angin, tapi ada suara menyambar telingaku. Rung tersentak. Senja rupanya sudah beranjak malam. Kilatan cahaya dari bantaran sungai, meyakinkanku ada orang yang datang. Suara-suara itu memanggilku, kemudian beradu serapah menyebut nama Rung.
Wajah Ibu kemudian muncul pertama kali dibalik semak ilalang. Kemudian wajah Mang Ayub, Kak Sulai dan Mirdin. Tiga lelaki itu seolah ingin mengayunkan pentungan di tangan mereka ke kepala Rung. Mata Maryam setajam silet melukai tatap bersalah di mata Rung. Lelaki itu langsung tertunduk.
"Kau apakan anakku? Aku tak ingin kau jadikan dia siluman  buaya!"
Akhirnya Rung dapat menatap mata Maryam. "Siluman buaya dari mana?"Â
"Ah, terserah apa katamulah. Dasar! Ayo, kita pulang!" Maryam menyentakkan tanganku.
"Bagaimana tentang lelaki ini? Apa kita hajar sampai mampus?"
"Biarkanlah!" Mata Maryam menjelma magma menggelegak.
"Biarkan bagaimana?" Mang Ayub kurang senang. Tapi kami akhirnya meninggalkan Rung yang lungkrah.
* * *
Maryam membuatku batu yang tak bisa melangkah menemui Rung. Tapi kerinduan yang membebat, menyesak dada. Aku nekad melompat dari jendela kamar menembus malam yang pekat. Aku ingin tahu lebih banyak tentang Rung. Dia belum bercerita bagaimana dia memiliki paru-paru rangkap hingga bisa menyelam berbilang menit bahkan hampir setengah jam. Entah apa yang membuatku seakan terperangkap rindu. Apakah aku tersulut cintanya? Apakah dia telah mengguna-gunaiku? Taklah!Â
Di rimbun ilalang, kulihat asap menjulang dari gubuk Rung. Purnama seolah dibekap halimun. Risau menggerogoti hatiku. Marah Maryam dan orang kampung terhadap Rung, mungkinkah menjelma api yang membakar Rung dan gubuknya?