Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Sebatas Reklame

27 Januari 2019   23:22 Diperbarui: 28 Januari 2019   00:31 58
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: pixabay.com/masashiwakui-4385858

Remaja tanggung itu menyeringai dari atas bak pick up butut yang melaju terangguk-angguk. Suara serak toa meraung dan sesekali mendenging, sama sekali tak mengganggu gendang telinganya. Dia tetap setia memegang layar film agar tak meriap-riap, jika ikatannya di dinding pick up lepas. Telinganya juga awas memerhatikan kalau-kalau bunyi musik dari tape berubah melik-liuk karena pita kaset yang bergulung.

Kukenalkan saja kau kepadanya. Dia Prasetyo. Hampir tiga tahun setelah urung melanjutkan sekolah ke bangku SMP, dia ikut Bang Birin di mobil reklame film. Setiap petang, sekira setengah jam setelah Ashar, dia sudah sibuk mengikat layar film di dua batang bambu kuning yang diikat sembarang di dinding pick up itu. Kemudian berdua Bang Birin dan orang bioskop, pick up melaju keliling sebagian jalan kecamatan. Apalagi kalau bukan mengabarkan berita gembira tentang film yang akan diputar sebentar malam.

Anak-anak sebayaku pasti akan sengaja melongokkan kepala dari jendela atau bergegas turun dari rumah panggung dan berjejer di halaman. Prasetyo segera melemparkan seringaian sambil sesekali melambai ke orang yang dia kenal. Dia merasa menjadi raja sepetang. Dan rasa menjadi raja sepetang itulah kiranya yang membuatnya betah ikut Bang Birin. Dia menjadi pusat perhatian orang-orang di jalan. Dia merasa sejajar dengan Amitabachan atau Rano Karno atau bintang tenar lain yang sebentar malam di putar di bioskop kecamatan.

Kendati Ayah dan Umak sangat tak senang aku bergaul dengan Prasetyo, toh aku tetap setia mengunjunginya selepas isya dengan pura-pura ijin mengaji di masjid, tapi kemudian menyelinap ke bioskop. Ayah dan Umak takut aku sepergajul Prasetyo. Lagi pula, bagi mereka, bioskop adalah sarang dosa. Mereka berjuang agar aku tak putus sekolah seperti yang dialami Prasetyo. 

"Umak ingin kau seperti Abang Labibah! Baru berumur dua puluh tahun, dia sudah mengajar di sekolah dasar dan menjadi pegawai negeri. Berhentilah bergaul dengan pergajul itu!" Senja yang kemerahan, Umak menatarku habis-habisan karena aku terperogok mengejar-ngejar pick up reklame film hingga ke gerbang bioskop. Pedih juga sebelumnya ujung lidi kelapa mencium pantatku, yang dihantamkan Ayah. Umak meredakan tangisku. Tapi tataran Umak sesakit ujung lidi kelapa itu.

"Tapi Prasetyo sangat gagah di bak pick up, Umak! Dia juga hafal semua tentang film."

"Sudah! Jangan banyak cakap! Otakmu hanya film...terus."

Prasetyo seorang remaja yang ajaib. Meskipun jarang menonton film yang dibantunya agar laris menyedot penonton, tapi dia sangat hapal detil film yang diputar. Dia tahu nama aktor atau aktrisnya. Dia tahu siapa penulis naskahnya, sutradara, produser. Bahkan dia hapal jalan cerita di film-film itu. Karena meskipun jarang menonton film, sebenarnya film itu memang sering diputar ulang. Apalagi film India, dalam sepekan, satu judul bisa diputar tiga kali. Itulah makanya Prasetyo jarang menontonnya. 

"Untuk apa menonton film yang sama!" Prasetyo mengalaskan demikian.

Aku sebenarnya penggila film juga. Namun sangat kurang uangku pembeli tiket. Di samping itu, aku belum cukup umur. Maka senjata andalan adalah berkawan dengan Prasetyo. Dari dialah aku mendengar cerita film-film yang diputar di bioskop kecamatan. Sekali aku memang nekad mengintip dari lobang di dinding bioskop. Susah payah mataku menembus kabut asap rokok. Kemudian sesuatu yang tajam menusuk lobang pantatku. Tak lain tak bukan, Bang Kidal, keamanan Bioskop telah memergoki dan menghadiahiku ujung sepatunya yang lancip. Aku berlari tunggang-langgang menahan sakit. Teman-teman yang menjadi saksi kejadian itu, menjadikannya guyonan. Alhasil aku tobat dan memilih menemui si pencerita sepulang sekolah di warung belakang bioskop.

"Amitabachan itu hebat. Dia bergantungan di helikopter." Prasetyo mengakhiri ceritanya sambil mulutnya komat-kamit mengunyah kacang kulit. "Untuk film hebatnya, aku menonton sampai tiga kali." Sebenarnya Prasetyo belum cukup umur juga menonton film dewasa. Tapi sebagai anak buah Bang Birin, itu menjadi pengecualian.

"Aku ingin sekali menjadi anak buah Bang Birin." Mimpiku sejak lama akhirnya pecah di mulut. Aku ingin seperti Prasetyo, menjadi raja sepetang yang dipelototi orang-orang di jalan. Terkadang ada yang berbaik hati, melemparkan makanan ke bak pick up.

"Tak boleh! Aku bukan tak ingin disaingi. Lebih baik kau sekolah saja," tolak Prasetyo. Aku menurutinya berkomat-kamit mengunyah kacang kulit. Satu lagi kesenangan berteman dengan Prasetyo, aku selalu ditraktir jajan.

"Kenapa kau boleh putus sekolah, sementara aku tidak?"

Prasetyo tertunduk. Katanya dengan mata berkaca-kaca, "Kau pikir aku senang menjadi begini? Pada awalnya aku sedih. Tapi Ayah mengatakan tak bisa lagi membiayai sekolahku. Itulah setamat sd, aku langsung ikut Bang Birin. Ya, memang sekarang aku merasa senang-senang saja. Tapi aku tak bisa lagi menjadi guru seperti yang diimpikan Umak."

Suatu petang setelah Prasetyo lelah keliling sebagian jalan kecamatan, kutemui dia di warung belakang bioskop. Kali itu dia untuk pertama kalinya merasakan nikmatnya air tape atau lebih sering disebut tuak. Baunya wangi menyengat. Rasanya getir, pahit dan kalau minum banyak bisa membuat mabuk. Prasetyo telah terjerumus pergaulan orang-orang bioskop. Tapi kelihatannya dia gagah dan lebih dewasa. Dia meneraktirku sebotol limun rasa raspberry.

"Ini mungkin pertemuan kita yang terakhir. Makanlah sepuasnya." Bau tuak menyebar dari mulutnya.

"Apa kau akan mati?" Tawaku berderai. Prasetyo mengguncang-guncang bahuku.

"Aku mau ikut Bang Lokot ke Tanah Deli."

"Bang Lokot? Yang pernah mengajar drama di SMP 1?"

Prasetyo mengangguk. "Bang Lokot ada keluarga di Tanah Deli. Di sana mereka ada perkumpulan drama. Kata Bang Lokot teater namanya. Siapa tahu dengan belajar dengan mereka, aku bisa seperti Amitabachan. Cita-citaku yang selalu kusimpan sejak dua tahun lalu, adalah menjadi bintang film, bukan terus-terusan menjadi orang reklame."

Seperti ada yang hilang dari hatiku. Perginya Prasetyo akan melenyapkan seorang pencerita yang baik, seorang raja sepetang yang riang. Aku tentu tak tahu-menahu lagi tentang film dan ceritanya. Tak ada pula yang sekali dua senang meneraktirku jajan. Tapi sebersit harapan membuatku tersenyum lepas.

"Hei, sudah ada pengganti untuk orang reklame?" kejarku. Prasetyo melotot.

"Maksudmu? Kau ingin menggantikan pekerjaanku?" Dia menggeleng. "Wak Solah pasti tak mengijinkanmu!" Wak Solah adalah panggilannnya  untuk ayahku.

"Ya! Kau kan tak bekerja dengan Bang Birin lagi! Sudah ada penggantimu, belum?"

Prasetyo menggeleng. Aku tersenyum. Aku merasa seperti di awang-awang. Kepergian Prasetyo yang sesungguhnya akan menyisakan sakit di dada, tenggelam oleh cita-cita menjadi orang reklame film. Bang Birin juga sudah mengiyakan. Baginya tak masalah karena untuk mencari pengganti Prasetyo, dia tak ada waktu. Kebetulan aku mau, jadi berterima saja Bang Birin.

Hanya saja, kayu penghalang melintang di depan mataku. Ayah dan Umak berang manakala mendengar niatku menggantikan pekerjaan Prasetyo. Tak ada ijin sedikit pun dikeluarkan. Padahal aku berjanji tetap sekolah dan belajar yang giat. Tugas menjadi orang reklame film hanya selepas Ashar. Aku juga tak perlu seperti Prasetyo harus bermalam-malam di bioskop. Itu kan kehendaknya, bukan peraturan yang dikeluarkan Bang Birin.

"Pokoknya tidak!"

"Tapi?"

Pupus sudah harapku. Kulepas Prasetyo di terminal bus bayangan dengan mata berkaca-kaca. Bukan lantaran melarat karena sedih ditinggalkannya. Melainkan pilu tak diberi ijin orangtua menjadi anak buah Bang Birin.

Tapi aku memberanikan diri menyelinap dari rumah di petang pertama bertugas sebagai anak buah Bang Birin. Aku sengaja mengenakan topi lepar yang kupinjam dari Salohot. Juga kacamata hitam kepunyaan Bang Hanafi. Lumayan lucu kacamata yang kebesaran itu nangkring di pangkal hidungku.  Cukuplah sudah penyamaran. Semoga orangtuaku silap mengenali anaknya.

Layar film pun kuikat erat-erat di dua bambu kuning seperti perintah Bang Birin. Aku kemudian meringkuk seperti monyet kedinginan di bak pick up. Tape dinyalakan. Volume kubesarkan. Suara melengking di toa memekakkan telinga. Bang Birin buru-buru menyetel  alat di sebelah tape itu. Nah, sekarang suaranya pas. Lagu India juga terang terdengar. Pick up melaju pelan-pelan. Sekali ini reklame film laga dengan bintang utama Barry Prima.

Alangkah bangganya dipelototi orang di jalan-jalan. Nyaris seluruh mata melihatku. Ternyata menjadi raja sepetang itu bukan dusta. Aku sangat merasakannya. Aku melambai-lambai sebentar kepada orang yang kukenal, hingga bencana kemudian meledak.

"Hei, si Udin!" jerit anak sebayaku yang berbadan bongsor. Dia biasa kupanggil Mamat, meski nama sebenarnya Rohmad. Beberapa anak di sebelahnya pun menatapku. Mereka juga meneriakkan namaku. Mereka mengejar pick up yang berjalan terangguk-angguk.

"Udin, Udin, Udin!" 

Aduh, kurasakan wajah ini panas. Apalagi ketika pick up melintasi depan rumahku. Aku takut Ayah dan Umak sedang duduk di tangga, atau sedang menatap dari jendela. Ingin rasanya mengusir anak-anak itu. Atau setidak-tidaknya membuat mereka tak meneriakkan namaku. Namun jangankan diam, suara itu semakin nyaring mengalahkan toa.

Alhasil selepas Maghrib, pantatku dicium lidi. Pulesan tangan Umak, membuat kulit lenganku birem. Aku tak percaya Ayah dan Umak sedemikian mengamuk. Segala kata penyesalan dan kekesalan membuncah dari mulut mereka. Hampir pukul sebelas malam barulah sidang atasku dihentikan. Tapi besok petangnya, Ayah kembali mengamuk. Bukan kepadaku. Tapi kepada Bang Birin yang mengajakku bekerja. Bang Birin pergi terbirit-birit sambil meminta maaf. Ketika pick up reklame film lewat di depan rumah, kulihat posisiku digantikan Mamat.

Hancurlah jiwaku. Lebih hancur lagi setelah menerima ijasah sd, Bang Ramona berkunjung dari Tanah Deli. Dia sepupuku dari Ayah. Meskipun awalnya aku girang melihatnya duduk di ruang tamu, tapi sesudahnya hatiku pedih. Sesuai permintaan Ayah, Bang Ramona akan mengajakku ke Tanah Deli. Bukan sekadar bertamasya, tapi melanjutkan sekolah. Menurut Ayah aku tak mungkin menjadi guru kalau terus-terusan di kampung

Tinggallah pula kampung kelahiran. Di dalam bus yang pengap, aku sempat melihat pick up reklame film melintas. Mamat mengetahui aku menjadi salah seorang penumpang bus. Dia terpana. Dia melambai. Aku meneteskan air mata. Kepada teman-teman saja aku lupa berpamit karena masygulnya. Sementara Bang Ramona nyaris seperti radio buruk yang memberi nasihat terus-menerus.

Lima kali aku muntah, akhirnya dengan tubuh letih tiba juga di Tanah Deli. Harapku letih bisa berubah sakit yang tiada terkira, hingga keluarga Ramona gelagapan dan memulangkanku ke kampung. Tapi setelah bersantap makanan yang hangat dan diolesi minyak angin oleh Tante Imah---Umak Bang Ramona---tubuhku segar kembali. Tak ada lagi senjata bagiku agar dipulangkan kembali ke kampung.

Tak lebih tiga hari berselang, aku seperti terbangun dari mimpi. Kenapa aku sampai lupa kepada Prasetyo? Bukankah dia juga merantau ke Tanah Deli? Girang rasanya. Kutanyakan kepada Bang Ramonta tentang Prasetyo. Tapi abangku itu menggeleng, meskipun kutambahi bahwa Prasetyo sangat terkenal dengan profesinya sebagai anak buah Bang Birin. Tante Imah juga menggeleng tak tahu. Bahkan dia mengatakan Tanah Deli begitu luas. Tak mudah mencari seseorang bila tak lengkap alamat tempat tinggalnya.

Terlupalah pula cerita tentang Prasetyo karena aku kemudian disibukkan urusan sekolah. Ternyata sekolah di Tanah Deli berbeda dengan di kampungku nun di kecamatan udik sana. Semua tak ada yang berleha-leha. Semua sibuk dengan kegiatan belajar dan apa itu namanya? Oh, iya, ekstra kurikuler! Hingga sepintas dua saja aku merindukan Ayah dan Umak. Merindukan kampung halaman. Kabar terakhir dari surat Ayah, bioskop ditutup sementara karena polisi memergoki di situ diputar film biru. Ayah bersyukur telah mengirimku ke Tanah Deli. Kalau tak, betapa tak tertanggungkan malu jika anak sibiran tulangnya kait-mengait dengan bioskop memalukan itu.

* * *

Petang yang ranum. Matahari malas-malasan menuju peraduan. Om, Tante Imah, Bang Ramona, Kak Lifah dan aku duduk bersantai di teras rumah. Tiba-tiba terdengar suara ribut-ribut di gerbang halaman yang berpagar tinggi. Bang Kusnen, tukang kebun Om, sedang bertengkar dengan orang-orang di luar gerbang.

Om memanggil Pak Kusnen. "Ada apa ribut-ribut, Pak?" tanya Om setelah lelaki yang telah mengabdi di rumah ini hampir lima tahun, tiba di ujung teras.

"Itu, Pak. Anak-anak  nekad mau mengamen di sini."

"Mengamen?" Raut wajah Tante Imah kelihatan tak senang.

"Biarlah! Suruh mereka masuk." Om cepat menyela ketaksetujuan Tante Imah. Sepertinya Kak Lifah dan Bang Ramona seide dengan Om.

Aku masih tenggelam dalam buku cerita yang tadi pagi kupinjam di perpustakaan sekolah. Ketika para pengamen itu tiba di ujung terus dengan ucapan basa-basi sebelum bernyanyi, barulah aku mengalihkan pandangan dari buku itu.

Tiba-tiba ada yang berdesir hebat di dadaku. Aku tegak, dan bergegas mendekati para pengamen yang dua orang di antaranya terperangah melihatku. Keluarga Om juga terheran-heran melihatku.

"Prasetyo, Bang Lokot!" Aku menyalami kedua orang itu.

"Udin!!!"

---sekian---

Ref. Foto : pixab

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun