Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Sebatas Reklame

27 Januari 2019   23:22 Diperbarui: 28 Januari 2019   00:31 58
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: pixabay.com/masashiwakui-4385858

"Aku ingin sekali menjadi anak buah Bang Birin." Mimpiku sejak lama akhirnya pecah di mulut. Aku ingin seperti Prasetyo, menjadi raja sepetang yang dipelototi orang-orang di jalan. Terkadang ada yang berbaik hati, melemparkan makanan ke bak pick up.

"Tak boleh! Aku bukan tak ingin disaingi. Lebih baik kau sekolah saja," tolak Prasetyo. Aku menurutinya berkomat-kamit mengunyah kacang kulit. Satu lagi kesenangan berteman dengan Prasetyo, aku selalu ditraktir jajan.

"Kenapa kau boleh putus sekolah, sementara aku tidak?"

Prasetyo tertunduk. Katanya dengan mata berkaca-kaca, "Kau pikir aku senang menjadi begini? Pada awalnya aku sedih. Tapi Ayah mengatakan tak bisa lagi membiayai sekolahku. Itulah setamat sd, aku langsung ikut Bang Birin. Ya, memang sekarang aku merasa senang-senang saja. Tapi aku tak bisa lagi menjadi guru seperti yang diimpikan Umak."

Suatu petang setelah Prasetyo lelah keliling sebagian jalan kecamatan, kutemui dia di warung belakang bioskop. Kali itu dia untuk pertama kalinya merasakan nikmatnya air tape atau lebih sering disebut tuak. Baunya wangi menyengat. Rasanya getir, pahit dan kalau minum banyak bisa membuat mabuk. Prasetyo telah terjerumus pergaulan orang-orang bioskop. Tapi kelihatannya dia gagah dan lebih dewasa. Dia meneraktirku sebotol limun rasa raspberry.

"Ini mungkin pertemuan kita yang terakhir. Makanlah sepuasnya." Bau tuak menyebar dari mulutnya.

"Apa kau akan mati?" Tawaku berderai. Prasetyo mengguncang-guncang bahuku.

"Aku mau ikut Bang Lokot ke Tanah Deli."

"Bang Lokot? Yang pernah mengajar drama di SMP 1?"

Prasetyo mengangguk. "Bang Lokot ada keluarga di Tanah Deli. Di sana mereka ada perkumpulan drama. Kata Bang Lokot teater namanya. Siapa tahu dengan belajar dengan mereka, aku bisa seperti Amitabachan. Cita-citaku yang selalu kusimpan sejak dua tahun lalu, adalah menjadi bintang film, bukan terus-terusan menjadi orang reklame."

Seperti ada yang hilang dari hatiku. Perginya Prasetyo akan melenyapkan seorang pencerita yang baik, seorang raja sepetang yang riang. Aku tentu tak tahu-menahu lagi tentang film dan ceritanya. Tak ada pula yang sekali dua senang meneraktirku jajan. Tapi sebersit harapan membuatku tersenyum lepas.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun