Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Sebatas Reklame

27 Januari 2019   23:22 Diperbarui: 28 Januari 2019   00:31 58
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: pixabay.com/masashiwakui-4385858

"Hei, si Udin!" jerit anak sebayaku yang berbadan bongsor. Dia biasa kupanggil Mamat, meski nama sebenarnya Rohmad. Beberapa anak di sebelahnya pun menatapku. Mereka juga meneriakkan namaku. Mereka mengejar pick up yang berjalan terangguk-angguk.

"Udin, Udin, Udin!" 

Aduh, kurasakan wajah ini panas. Apalagi ketika pick up melintasi depan rumahku. Aku takut Ayah dan Umak sedang duduk di tangga, atau sedang menatap dari jendela. Ingin rasanya mengusir anak-anak itu. Atau setidak-tidaknya membuat mereka tak meneriakkan namaku. Namun jangankan diam, suara itu semakin nyaring mengalahkan toa.

Alhasil selepas Maghrib, pantatku dicium lidi. Pulesan tangan Umak, membuat kulit lenganku birem. Aku tak percaya Ayah dan Umak sedemikian mengamuk. Segala kata penyesalan dan kekesalan membuncah dari mulut mereka. Hampir pukul sebelas malam barulah sidang atasku dihentikan. Tapi besok petangnya, Ayah kembali mengamuk. Bukan kepadaku. Tapi kepada Bang Birin yang mengajakku bekerja. Bang Birin pergi terbirit-birit sambil meminta maaf. Ketika pick up reklame film lewat di depan rumah, kulihat posisiku digantikan Mamat.

Hancurlah jiwaku. Lebih hancur lagi setelah menerima ijasah sd, Bang Ramona berkunjung dari Tanah Deli. Dia sepupuku dari Ayah. Meskipun awalnya aku girang melihatnya duduk di ruang tamu, tapi sesudahnya hatiku pedih. Sesuai permintaan Ayah, Bang Ramona akan mengajakku ke Tanah Deli. Bukan sekadar bertamasya, tapi melanjutkan sekolah. Menurut Ayah aku tak mungkin menjadi guru kalau terus-terusan di kampung

Tinggallah pula kampung kelahiran. Di dalam bus yang pengap, aku sempat melihat pick up reklame film melintas. Mamat mengetahui aku menjadi salah seorang penumpang bus. Dia terpana. Dia melambai. Aku meneteskan air mata. Kepada teman-teman saja aku lupa berpamit karena masygulnya. Sementara Bang Ramona nyaris seperti radio buruk yang memberi nasihat terus-menerus.

Lima kali aku muntah, akhirnya dengan tubuh letih tiba juga di Tanah Deli. Harapku letih bisa berubah sakit yang tiada terkira, hingga keluarga Ramona gelagapan dan memulangkanku ke kampung. Tapi setelah bersantap makanan yang hangat dan diolesi minyak angin oleh Tante Imah---Umak Bang Ramona---tubuhku segar kembali. Tak ada lagi senjata bagiku agar dipulangkan kembali ke kampung.

Tak lebih tiga hari berselang, aku seperti terbangun dari mimpi. Kenapa aku sampai lupa kepada Prasetyo? Bukankah dia juga merantau ke Tanah Deli? Girang rasanya. Kutanyakan kepada Bang Ramonta tentang Prasetyo. Tapi abangku itu menggeleng, meskipun kutambahi bahwa Prasetyo sangat terkenal dengan profesinya sebagai anak buah Bang Birin. Tante Imah juga menggeleng tak tahu. Bahkan dia mengatakan Tanah Deli begitu luas. Tak mudah mencari seseorang bila tak lengkap alamat tempat tinggalnya.

Terlupalah pula cerita tentang Prasetyo karena aku kemudian disibukkan urusan sekolah. Ternyata sekolah di Tanah Deli berbeda dengan di kampungku nun di kecamatan udik sana. Semua tak ada yang berleha-leha. Semua sibuk dengan kegiatan belajar dan apa itu namanya? Oh, iya, ekstra kurikuler! Hingga sepintas dua saja aku merindukan Ayah dan Umak. Merindukan kampung halaman. Kabar terakhir dari surat Ayah, bioskop ditutup sementara karena polisi memergoki di situ diputar film biru. Ayah bersyukur telah mengirimku ke Tanah Deli. Kalau tak, betapa tak tertanggungkan malu jika anak sibiran tulangnya kait-mengait dengan bioskop memalukan itu.

* * *

Petang yang ranum. Matahari malas-malasan menuju peraduan. Om, Tante Imah, Bang Ramona, Kak Lifah dan aku duduk bersantai di teras rumah. Tiba-tiba terdengar suara ribut-ribut di gerbang halaman yang berpagar tinggi. Bang Kusnen, tukang kebun Om, sedang bertengkar dengan orang-orang di luar gerbang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun