"Kita harus mengambil kesempatan terakhir di sini!" sentakku. Pemberat seperti jangkar dijatuhkan. Perahu berhenti. Diam. Terdengar kecipak air sesekali.
"Gila! Ini sudah malam, Min! Lagi pula ini daerah Pulokerto!" Mata Misnan jelalatan.
"Kenapa rupanya?" kejarku.
"Antu banyu, Min!" Ucapan Misnan membuat Saut, Ruhul dan Kuyung menggigil ketakutan.
"Sudah, aku turun sekarang. Sekali ini saja. Habis itu kita pulang." Aku ngotot. Kukenakan perlengkapan menyelam. Mereka menggerutu, merutuk tak karuan. Tapi demi melihatku mencebur ke sungai, tak pula mereka berleha-leha. Pekerjaan ini harus tuntas dan berhasil.
Samar kulihat suasana dasar sungai dengan lampu senter kedap air. Kusela-sela lumpur dengan jemariku. Kumasukkan bergenggam-genggam lumpur ke dalam karung goni yang kubawa. Hingga tak sengaja aku menyentuh sesuatu yang ganjil.Â
Bukan emas. Seperti sejumput temali.
Ketika aku mendongak, taklah dapat aku percaya. Sesosok berambut panjang telah berada di hadapanku. An, ant...Â
Aku mencoba menarik-narik selang di mulutku dengan kencang, agar teman-teman di atas segera menarikku. Tapi selang itu terlepas. Penglihatanku samar. Napasku megap-megap. Selanjutnya semua gelap!
* * *
Yang pertama kulihat adalah derai air mata Mak, kemudian orang-orang yang mengelilingiku. Sekujur tubuh lunglai. Napasku masih berat dan satu-satu. Dari sedu-sedan yang memilukan, Mak berubah merepet.
Apa Saut mungkin berpikir akan ada barang-barang yang terbang. Tapi tak untuk kali ini. Puas merepet, Mak terseok ke dapur. Dia datang kembali dengan membawa cangkir kaleng.