Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Perahu Bapak

22 Januari 2019   22:50 Diperbarui: 22 Januari 2019   23:02 84
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Pokoknya kau harus sekolah yang rajin!"Mak menyentakku dari lamunan panjang. Segera kukemas seragam sekolah yang masih lembab dari jemuran. Matahari semakin tinggi mencakar Jembatan Ampera.

"Sekolah yang rajin, kalau kekurangan biaya, bagaimana, Mak?" Aku melangkah ke arah bangku panjang. Sepotong pisang goreng kucomot dari atas piring. Suara batuk Bapak bertarung lagi. Kasihan dia. Seharusnya Bapak dirawat di rumah sakit seperti saran mantri. Tapi perkara uang, membuatnya harus menderita di atas lapik tipis itu.

"Maksudmu, kau masih mau pergi menyelam?" Mak mengekoriku.

"Kita butuh uang untuk sekolahku dan berobat Bapak," jawabku menatap tajam mata Mak. Mak mengeluh. Tak kudengar apa yang dikeluhkannya.

"Aku anak Bapak. Aku juga bisa menyelam di sungai sekuat Bapak. Lagi pula, menyelam mencari harta karun itu, kan masih dibantu selang. Jadi, sejam pun di dasar sungai, aku masih bisa bernapas." Aku mencoba meluluhkan hati Mak.

"Tak!"

Tertutup cerita tentang selam-menyelam. Bapak menambahi dengan batuk yang semakin seru.

* * *

Pagi merambat pelan. Hujan yang mengguyur Palembang berbilang jam tadi malam, membuat Sungai Musi pasang. Perlahan kudorong Arung menuju sungai bersama Saut, Ruhul, Misnan dan Kuyung. 

Ada degupan kencang di dadaku. Untuk pertama kalinya aku berperahu tanpa kawalan Bapak. Untuk pertama kali pula aku menelikung perintah Mak. Seharusnya sekarang hingga petang, aku menemani Bapak. Mak sedang ke Pemulutan, menghadiri acara kenduri. Kulupakan segala wanti-wantinya agar aku jangan pergi menyelam.

"Apa makmu tak marah nanti, Min? Kau kan tak boleh menyelam!" Wajah Saut cemas. Dia paling ngeri setiap kali Mak marah kepadaku. Apa saja bisa melayang. Tak hanya sumpah-serapah, juga beberapa barang tiba-tiba bisa terbang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun