Bau anyir sungai membuar. Cahaya matahari pagi pecah di arus yang lambat. Sebuah perahu teronggok, tertambat di tunggul kayu. Terbaca olehku huruf suram di lambungnya yang lapuk; Arung Musi.
Begitulah! Semenjak mantri memvonis Bapak mengidap penyakit paru-paru basah, perahu itu hanya bisa membisu. Padahal telah berbilang tahun dia menarung arus Sungai Musi bersama Bapak. Telah berbilang lubuk dirambahinya. Sekarang, taklah!
"Pokoknya, kau tak boleh pergi menyelam, Min! Titik!" Itu sentakan Mak tadi malam. Sambil meniup bara di panggangan ikan, Mak mengoceh terus. Mak tak setuju aku pergi bersama si Arung---begitulah aku menyebut perahu itu---juga bersama teman-teman Bapak ke lubuk, mencari harta karun. Mak tak ingin aku senasib dengan Bapak. Hanya tubuh luarnya saja yang liat, hitam dan berotot. Tapi isi dalamnya keropos. Buktinya Bapak mengidap paru-paru basah.Â
Batuknya kerap meraung meninju malam yang sepi. Kasihan, hilang sudah kegagahan dan kampuin penyelam yang kukenal selama ini.
Bapak lahir dan besar di Pemulutan---salah satu nama daerah di Palembang. Entah muasal dari mana, dia paling jago menyelam. Pernah orang bilang, dia masih keturunan buaya siluman. Atau, dia dikatakan berteman dan berguru kepada buaya siluman.
Tapi Bapak menanggapinya dengan tawa renyah. Bapak telah ditakdirkan memiliki napas berangkap, tahan menyelam di sungai berbilang menit. Bahkan pernah hampir setengah jam. Perkara orang tenggelam di sungai, pun dia yang dipanggil mencari jasadnya. Apalagi sekadar mengurusi buaya-buaya yang konon sesekali naik ke darat.
Pernah juga orang mengatakan, Bapak mempunyai sisik dan insang. Sela jemarinya ditautkan gelambir seperti jemari buaya. Toh, tak pernah aku menemukan kebenaran cerita itu.
Sekali waktu aku memerhatikan sekujur tubuh Bapak ketika tidur. Tak ada yang aneh. Bapak tetap seperti orang kebanyakan. Jadi, kumafhumi saja dia ditakdirkan menjadi kampiun penyelam. Sama mafhumnya aku ketika Bapak beralih profesi dari peladang menjadi pencari harta karun di Sungai Musi.Â
Dia memilih pindah dari Pemulutan dan menetap di bantaran sungai yang kerap ditimbun eceng gondok ketika musim hujan, dan bau anyir bertimbun sampah ketika kemarau seperti kali ini.
Ach, memang tak ada yang bisa menggantikan Bapak. Lima orang temannya yang biasa bertaruh mimpi, pun memilih menambatkan si Arung. Mereka kembali ke profesi lama, menjadi pembecak, buruh bangunan, dan kernet bis kota.Â
Bapak memang mewantikan agar mereka tetap mencari harta karun seperti biasa, kendati tanpa dirinya. Tapi kelima orang itu memilih bekerja di darat saja. Mereka tak yakin berhasil di sungai tanpa sosok Bapak.
"Pokoknya kau harus sekolah yang rajin!"Mak menyentakku dari lamunan panjang. Segera kukemas seragam sekolah yang masih lembab dari jemuran. Matahari semakin tinggi mencakar Jembatan Ampera.
"Sekolah yang rajin, kalau kekurangan biaya, bagaimana, Mak?" Aku melangkah ke arah bangku panjang. Sepotong pisang goreng kucomot dari atas piring. Suara batuk Bapak bertarung lagi. Kasihan dia. Seharusnya Bapak dirawat di rumah sakit seperti saran mantri. Tapi perkara uang, membuatnya harus menderita di atas lapik tipis itu.
"Maksudmu, kau masih mau pergi menyelam?" Mak mengekoriku.
"Kita butuh uang untuk sekolahku dan berobat Bapak," jawabku menatap tajam mata Mak. Mak mengeluh. Tak kudengar apa yang dikeluhkannya.
"Aku anak Bapak. Aku juga bisa menyelam di sungai sekuat Bapak. Lagi pula, menyelam mencari harta karun itu, kan masih dibantu selang. Jadi, sejam pun di dasar sungai, aku masih bisa bernapas." Aku mencoba meluluhkan hati Mak.
"Tak!"
Tertutup cerita tentang selam-menyelam. Bapak menambahi dengan batuk yang semakin seru.
* * *
Pagi merambat pelan. Hujan yang mengguyur Palembang berbilang jam tadi malam, membuat Sungai Musi pasang. Perlahan kudorong Arung menuju sungai bersama Saut, Ruhul, Misnan dan Kuyung.Â
Ada degupan kencang di dadaku. Untuk pertama kalinya aku berperahu tanpa kawalan Bapak. Untuk pertama kali pula aku menelikung perintah Mak. Seharusnya sekarang hingga petang, aku menemani Bapak. Mak sedang ke Pemulutan, menghadiri acara kenduri. Kulupakan segala wanti-wantinya agar aku jangan pergi menyelam.
"Apa makmu tak marah nanti, Min? Kau kan tak boleh menyelam!" Wajah Saut cemas. Dia paling ngeri setiap kali Mak marah kepadaku. Apa saja bisa melayang. Tak hanya sumpah-serapah, juga beberapa barang tiba-tiba bisa terbang.
"Santai saja! Aku sudah tujuh belas tahun, Ut. Perkara menyelam, aku sehebat Bapak." Aku menyeringai. Perahu terangguk-angguk mengikuti arus.Â
Sengaja mesin perahu tak dihidupkan. Takut kedengaran Bapak. Ketika rumahku terlihat semakin kecil, barulah Ruhul dan Misnan mati-matian membetot mesin perahu. Seolah mereka bertarung dengan kambing bandot yang mengamuk. Tapi mesin bergeming. Aku harus turun tangan membujuk mesin itu. Perahu pun melaju kencang.
Aku teringat kembali mimpi tadi malam. Kalau bukan karena mimpi itu, aku tak senekad ini. Melanggar perintah Mak, dan membiarkan Bapak meradang dengan batuknya.Â
Bagaimanapun dalam mimpi itu aku beroleh emas segenggam dalam penyelamanku di dasar Sungai Musi. Mimpi memang bunga tidur. Tapi berharap sedikit karenanya, mungkin tak apa-apa.
"Apakah kita sanggup mengoperasikan semua ini?" Saut ragu-ragu melihat segala perlengkapan di atas perahu; ayakan, tali-temali, karung, selang dan beberapa pernak-pernik lainnya.
"Perkara di atas perahu, anak SD juga bisa mengoperasikannya. Kuyung dan Misnan pernah ikut juga mencari harta karun. Yang berat adalah tugasku, menyelam. Tapi tenang saja. Yakinlah, hari ini kita pulang membawa emas," sumbarku. Semoga saja dengan emas itu bisa membawa Bapak ke rumah sakit.
Kendati harapku menggelora, hasilnya taklah semudah membalikkan telapak tangan. Berbilang jam kami merambahi lokasi-lokasi terdalam Sungai Musi, tapi yang didapat hanya lumpur dan sampah. Keempat temanku pun sudah berpayah-payah wajahnya. Perbekalan makan telah pula kandas. Tinggal sepertiga air di galon yang tak bisa mengenyangkan kecuali membuat perut kembung.
Patah arang sudah harapan mereka. Tak demikian denganku. Malu rasanya telah melanggar perintah Mak dan membiarkan Bapak sendirian di rumah, pulang-pulang tak membawa buah tangan. Habislah direpet Mak. Puaslah mendengar Bapak mengeluh dengan batuk berdehak-dehak.
Ketika senja merapati malam, keempat temanku mengajak pulang. Lapar sudah tak tertahankan. Lunglai tak pula terlerai. Tapi masih ada nyala di hatiku, seperti kerdip lampu perahu yang berlayar di tengah lautan luas.
Kuputar kemudi hingga perahu berbalik seratus delapan puluh derajat. Teman-temanku menjerit kesenangan. Akhirnya aku mau juga memutus harap dan pulang. Kendati sebenarnya mereka salah besar.Â
Karena perahu tetap melaju kencang, meskipun perahu sudah sejajar dengan perkampungan kami. Jerit kesenangan berubah menjadi jerit kesetanan menyuruhku menepi.
"Kita harus mengambil kesempatan terakhir di sini!" sentakku. Pemberat seperti jangkar dijatuhkan. Perahu berhenti. Diam. Terdengar kecipak air sesekali.
"Gila! Ini sudah malam, Min! Lagi pula ini daerah Pulokerto!" Mata Misnan jelalatan.
"Kenapa rupanya?" kejarku.
"Antu banyu, Min!" Ucapan Misnan membuat Saut, Ruhul dan Kuyung menggigil ketakutan.
"Sudah, aku turun sekarang. Sekali ini saja. Habis itu kita pulang." Aku ngotot. Kukenakan perlengkapan menyelam. Mereka menggerutu, merutuk tak karuan. Tapi demi melihatku mencebur ke sungai, tak pula mereka berleha-leha. Pekerjaan ini harus tuntas dan berhasil.
Samar kulihat suasana dasar sungai dengan lampu senter kedap air. Kusela-sela lumpur dengan jemariku. Kumasukkan bergenggam-genggam lumpur ke dalam karung goni yang kubawa. Hingga tak sengaja aku menyentuh sesuatu yang ganjil.Â
Bukan emas. Seperti sejumput temali.
Ketika aku mendongak, taklah dapat aku percaya. Sesosok berambut panjang telah berada di hadapanku. An, ant...Â
Aku mencoba menarik-narik selang di mulutku dengan kencang, agar teman-teman di atas segera menarikku. Tapi selang itu terlepas. Penglihatanku samar. Napasku megap-megap. Selanjutnya semua gelap!
* * *
Yang pertama kulihat adalah derai air mata Mak, kemudian orang-orang yang mengelilingiku. Sekujur tubuh lunglai. Napasku masih berat dan satu-satu. Dari sedu-sedan yang memilukan, Mak berubah merepet.
Apa Saut mungkin berpikir akan ada barang-barang yang terbang. Tapi tak untuk kali ini. Puas merepet, Mak terseok ke dapur. Dia datang kembali dengan membawa cangkir kaleng.
"Nah, minum dulu teh panas ini biar badanmu segar. Itulah akibatnya kalau melawan perintah Mak. Untung saja kau tak mati!" Masih seperti biasa, Mak tak bisa mengerem mulutnya kalau sedang marah.
"Leha, tak baik bicara begitu. Syukur anakmu bisa selamat," nasihat Pak Lubai, imam masjid dan tetangga sebelah rumah kami.
Mak terdiam malu-malu. Dia tak lagi merepet. Satu per satu orang yang menungguiku pun pulang.
---sekian---
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI