"Mungkin jalan satu-satunya, Ibu membatalkan rencana membagi hasil panen ubi kepada anak-anak panti asuhan itu. Toh tak ada kesempatan Ibu untuk memanennya.."
Matanya menyala merah lagi. "Tapi aku sudah berjanji. Berjanji mesti ditepati."
Aku terdiam. Aku tak memiliki kekuasan demi menangguhkan pengusiran Ibu dari rumah yang sudah berbilang tahun dirawat dan dijaganya. Ah, dimanakah keadilan itu berada? Apakah keadilan itu diperuntukkan hanya untuk orang-orang berpunya? Makluk-makhluk berkerah putih?
* * *
Ibu sekarang tak ada. Rumahnya menggunduk batu. Sunyi. Kebun ubi pun tak bersisa. Tumbuh sekarang di situ, pondasi rumah atau entah ruko. Kabar terakhir yang kudengar, pondasi itu akan dibuat memanjang ke depan, sampai halaman rumah. Akan hal rumah, bernasib sama seperti Ibu dan Ubi. Hilang.
Tiga minggu lalu, Ibu melawan petugas berseragam yang berusaha mengusirnya dari rumah itu dengan senapan angin mendiang suaminya. Tak disangka, senapan angin meletus. Seorang petugas berseragam, menjadi sasaran peluru. Matanya sebelah kanan diterabas. Buta. Â Sekararang Ibu ada di bui. Entah sampai kapan.
---sekian---
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H