Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen | Ibu, Ubi dan Bui

17 Januari 2019   10:10 Diperbarui: 17 Januari 2019   16:07 850
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber ilustrasi: venturebeat.com

Tahukah kau perempuan itu? Dialah yang kupanggil Ibu. Meski tak ada pertalian darah sama sekali denganku, tapi lidahku fasih memanggilnya demikian.

Dia adalah sosok ringkih berusia hampir tujuh puluhan tahun. Rambutnya memutih. Sudah banyak tanggal. Tapi jangan tanya matanya, sangat awas. Telinganya juga terang, sehingga tiada seorang yang berani membicarakan yang bukan-bukan di dekatnya. Dia pasti ikut berceloteh, bila pembicaraan itu mengena di hatinya. Sebaliknya amarahnya memuncak manakala pembicaraan itu menusuk harga dirinya.

Sudah hampir lima tahun kami bertetangga. Walau tua dan mesti diperhatikan orang muda seperti aku, nyatanya dialah yang sering membantuku pabila susah. Pernah suatu kali aku diare. 

Obat di warung telah kubeli biar mampet. Hasilnya tetap mengocor seperti air hujan yang mengalir di talang air rumah. Pun ketika dokter Sanusi menyuntik dan memberi obat paten, tetap saja aku harus hilir-mudik ke kakus dengan wajah meringis-ringis. Namun perantara tangan Ibu itu, meramu daun dan biji muda jambu klutuk, ajaib diareku sembuh.

Kataku kala itu, "Tangan Ibu memang tangan Tuhan. Seketika aku sembuh!"

"Husss! Tak baik begitu. Ibu hanya perantara. Tuhan jua yang menyembuhkan. Lagipula apa kau tahu Tuhan itu memiliki tangan seperti yang kau bayangkan?"

Biasanya aku hanya mesem-mesem lalu membelikannya sebungkus sate Padang sebagaimana kesukaannya sejak muda.

Terkadang aku malu kepadanya. Meski hanya sendirian di rumah pensiunan itu, tapi dia seolah tak merasa kesepian. Dia tiada merasa renta, kendati waktu telah meraut usianya sampai runcing. Pun dia masih senang berkebun. Hingga kau pasti membelalak begitu melongok ke halaman belakang rumahnya, rimbunan ubi jalar menggelora. Bagaimana mungkin tangan gigihnya menanam bibit ubi, menjaganya sampai besar dan terhindar dari gulma, bahkan memanennya?

"Tuhan telah memberikanku usia dan kekuatan jasmani. Kenapa aku harus merasa lemah dan berleha-leha?" tekannya ketika aku meminta agar dia mempekerjakan satu atau dua orang buruh kebun.

Semangat tinggi dari seorang ibu yang selalu kuacungi jempol. Perempuan bermata cemerlang dengat tatap nyala, seperti mendiang suaminya yang pejuang. Dia bergelora, dan selalu menganggapku anak bawang. Karena aku hanyalah pekerja kantoran yang kerap mengeluh sebab pihak perusahaan tak memahami kondisi karyawan. Bekerja serupa mesin. Pulang-pulang letih ketika malam menjelang. Tentu tanpa ada hitung-hitungan lembur, atau kompensasi apapun.

"Itulah salahmu! Senang mengeluh. Tak kau bayangkan bagaimana dulu pejuang mencoba memerdekakan negeri ini? Tak ada pembayaran, selain kelaparan mencekik, dan harus bertarung dengan dua tujuan; hidup atau mati. Ini, kau hanya duduk di kantor sambil memegang pena, sudah banyak mengeluh. Terpakai sedikit waktu bersantai malammu, merutuk tak ketulungan. Sudahlah, bekerja jangan mengeluh-ngeluh. Bila sudah bosan, berhenti sajalah. Bersantai di rumah sambil melihatku memanen ubi jalar. Jadilah bersantap sepuasmu sampai perut kembung dan kentutmu besar." Ibu  tertawa ngekeh sampai gigi-giginya yang tak utuh lagi kelihatan jelas. Aku biasanya hanya membuang napas lega.

"Ada lagi salahmu!" Kalimat ini sering sekali dilontarkannya.

"Apalagi, Bu?"

"Kau belum menikah. Itu artinya kau masih lembek seperti agar-agar. Tak memiliki tanggung-jawab. Tak mempunyai tujuan pasti ke depan. Maka menikahlah. Biarlah aku senang melihatmu ada yang mengurus. Lagipula ingin juga aku memperoleh cucu darimu. Cucu-cucuku jauh di rantau."

Kalau dia sudah mengoceh demikian, biasanya kuhentikan pembicaraan. Ujung-ujungnya hanya membuatku tersipu dan salah tingkah. Ibu pasti mengejar-ngejar kapan rencanaku melamar Maimunah, guru esde yang berjilbab dan kaya lesung pipit itu. Ah, aku memang bukan pejantan tangguh!

* * *

Beberapa hari belakangan ini kulihat ada yang aneh pada Ibu. Biasanya semangatnya menyala-nyala. Suaranya lantang dan membara. Namun dia mendadak kuyu seperti pasukan bergajah yang hendak merubuhkan kabbah dihajar burung-burung ababil dengan batu sijjil. Gerangan apa yang menimpanya? Mengapa kelihatan dia susah sangat?

"Apa yang membuat Ibu sedemikian susah hati?" kejarku saat Minggu pagi memilih bersantai di teras depan rumahnya.

"Aku teringat Kamaluddin." Matanya berair, kemudian melimpah menjalari pipinya yang keriput. Pertama kali dia kulihat menangis sedih. Pertama kali dia menunjukkan diri sebagai pecundang yang kalah menarung hidup.

"Teringat Kamaluddin?" tanyaku. Kamaluddin itu adalah nama mendiang suaminya. Beberapa hari lalu lukisan dirinya masih terpampang gagah di dinding, lengkap dengan atribut-atributnya. Tapi saat aku melongok dari teras ke ruang tamu, tak ada lagi benda itu mencantol di paku. "Kenapa harus diingat-ingat, Bu. Kirimi saja doa agar dia sejahtera di alam barzah."

"Aku bukan rindu kepadanya! Aku hanya sedih, setelah apa yang diperjuangkannya untuk negara, ternyata negara tak memberinya apa-apa. Jadi wajar lukisan dirinya kuturunkan dan kusimpan di gudang. Untuk apa memajang lukisannya sementara orang-orang hanya menganggapnya sampah."

"Kenapa bisa begitu?" kejarku.

"Kau tak ingat orang-orang berseragam yang datang ke rumahku beberapa hari lalu?"

Aku mengernyit. Sekilas kuingat orang-orang berseragam mendatangi Ibu. Tapi aku tak mau ikut campur. Selain karena lelah sepulang kerja lembur, aku juga tak ingin mencampuri urusan orang. Siapa tahu itu salah seorang teman anak-mantu Ibu atau keluarga bekas pejuang kemerdekaan. Mungkin kehadiranku meramaikan suasana, hanya menambah rikuh, sehingga ramah-tamah di antara mereka menjadi kaku.

"Aku ingat, Bu!"

"Nah, orang-orang itulah yang menganggap mendiang suamiku sampah. Bagaimana mungkin tak menganggap sampah. Bila seketika mereka hanya memberikanku kesempatan selama sebulan untuk pindah dari rumah ini. Kata mereka ini rumah dinas, jadi harus diserahkan kepada yang masih berdinas. Sementara aku hanya istri mantan pejuang. Jadi, siap atau tidak, harus angkat kaki segera."

"Ibu tak mencoba melapor ke pak lurah?"

"Mungkin sama saja hasilnya." Dia menarik napas dengan berat, seolah dadanya diikat rantai kapal. "Padahal semasa suamiku masih hidup, sudah kami sarankan kepada pemerintah agar rumah ini kami beli saja Tapi kata pemerintah, rumah dinas tak boleh dijual. Rumah dinas dibangun untuk kelancaran operasional yang berdinas. Menjualnya sama saja melakukan pekerjaan haram. Lalu, apakah mengusirku tanpa perikemanusiaan dari sini bukan termasuk pekerjaan haram?"

Hatiku mendidih. Tanganku terkepal. Betapa teganya orang-orang itu. Betapa mereka adalah manusia yang melupakan ampas dari tebu, dari manis-legitnya

 "Tinggal saja bersamaku, Bu!"

"Aku tak ingin menyusahkanmu. Aku bisa tinggal bersama anakku. Yang kupertahankan sekarang bukanlah rumah untuk bernaung, melainkan kebun ubi yang hampir  panen itu. Aku telah berjanji kepada anak-anak panti asuhan akan membagi sebagian besar panen ubi itu kepada mereka. Dapat kau bayangkan rasa gembira yang terpancar dari mata-mata suci itu. Tapi bagaimana bila aku ingkar janji karena pemerintah tak sabar menunggu panen ubi tiba?"

"Ya, Ibu bisa mengajukan niat tulus kepada orang-orang itu, tentang rencana membagi hasil panen ubi kepada anak-anak panti asuhan. Pasti mereka mau mendengar, dan menyetujui penangguhan pengusiran Ibu dari rumah ini."

"Sudah kukatakan. Tapi mereka tak mau tahu!" Matanya menyala merah.

"Mungkin jalan satu-satunya, Ibu membatalkan rencana membagi hasil panen ubi kepada anak-anak panti asuhan itu. Toh tak ada kesempatan Ibu untuk memanennya.."

Matanya menyala merah lagi. "Tapi aku sudah berjanji. Berjanji mesti ditepati."

Aku terdiam. Aku tak memiliki kekuasan demi menangguhkan pengusiran Ibu dari rumah yang sudah berbilang tahun dirawat dan dijaganya. Ah, dimanakah keadilan itu berada? Apakah keadilan itu diperuntukkan hanya untuk orang-orang berpunya? Makluk-makhluk berkerah putih?

* * *

Ibu sekarang tak ada. Rumahnya menggunduk batu. Sunyi. Kebun ubi pun tak bersisa. Tumbuh sekarang di situ, pondasi rumah atau entah ruko. Kabar terakhir yang kudengar, pondasi itu akan dibuat memanjang ke depan, sampai halaman rumah. Akan hal rumah, bernasib sama seperti Ibu dan Ubi. Hilang.

Tiga minggu lalu, Ibu melawan petugas berseragam yang berusaha mengusirnya dari rumah itu dengan senapan angin mendiang suaminya. Tak disangka, senapan angin meletus. Seorang petugas berseragam, menjadi sasaran peluru. Matanya sebelah kanan diterabas. Buta.  Sekararang Ibu ada di bui. Entah sampai kapan.

---sekian---

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun