Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen | Ibu, Ubi dan Bui

17 Januari 2019   10:10 Diperbarui: 17 Januari 2019   16:07 850
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Ada lagi salahmu!" Kalimat ini sering sekali dilontarkannya.

"Apalagi, Bu?"

"Kau belum menikah. Itu artinya kau masih lembek seperti agar-agar. Tak memiliki tanggung-jawab. Tak mempunyai tujuan pasti ke depan. Maka menikahlah. Biarlah aku senang melihatmu ada yang mengurus. Lagipula ingin juga aku memperoleh cucu darimu. Cucu-cucuku jauh di rantau."

Kalau dia sudah mengoceh demikian, biasanya kuhentikan pembicaraan. Ujung-ujungnya hanya membuatku tersipu dan salah tingkah. Ibu pasti mengejar-ngejar kapan rencanaku melamar Maimunah, guru esde yang berjilbab dan kaya lesung pipit itu. Ah, aku memang bukan pejantan tangguh!

* * *

Beberapa hari belakangan ini kulihat ada yang aneh pada Ibu. Biasanya semangatnya menyala-nyala. Suaranya lantang dan membara. Namun dia mendadak kuyu seperti pasukan bergajah yang hendak merubuhkan kabbah dihajar burung-burung ababil dengan batu sijjil. Gerangan apa yang menimpanya? Mengapa kelihatan dia susah sangat?

"Apa yang membuat Ibu sedemikian susah hati?" kejarku saat Minggu pagi memilih bersantai di teras depan rumahnya.

"Aku teringat Kamaluddin." Matanya berair, kemudian melimpah menjalari pipinya yang keriput. Pertama kali dia kulihat menangis sedih. Pertama kali dia menunjukkan diri sebagai pecundang yang kalah menarung hidup.

"Teringat Kamaluddin?" tanyaku. Kamaluddin itu adalah nama mendiang suaminya. Beberapa hari lalu lukisan dirinya masih terpampang gagah di dinding, lengkap dengan atribut-atributnya. Tapi saat aku melongok dari teras ke ruang tamu, tak ada lagi benda itu mencantol di paku. "Kenapa harus diingat-ingat, Bu. Kirimi saja doa agar dia sejahtera di alam barzah."

"Aku bukan rindu kepadanya! Aku hanya sedih, setelah apa yang diperjuangkannya untuk negara, ternyata negara tak memberinya apa-apa. Jadi wajar lukisan dirinya kuturunkan dan kusimpan di gudang. Untuk apa memajang lukisannya sementara orang-orang hanya menganggapnya sampah."

"Kenapa bisa begitu?" kejarku.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun