Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Penjahit Sepatu

10 Januari 2019   16:55 Diperbarui: 10 Januari 2019   17:00 182
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kulihat Sulaiman berjalan bergegas memasuki lorong sempit. Kemudian dia tiba di depan sebuah masjid yang memang sangat jarang dikunjungi jamaah.

"Di manakah anda shalat berjamaah?" lanjut si orang menyeramkan.

"Saya shalat berjamaah di masjid yang terkenal di kota kami. Masjid yang selalu dihuni orang-orang alim, orang kaya dan pejabat. Masjid yang dipenuhi ac dan wangi."

"Sulaiman sengaja shalat di masjid yang sudah dilupakan orang, selain karena buruk, juga tak pernah didatangi orang-orang alim, kaya dan pejabat. Tak ada ac di situ. Kipas angin pun tak. Apalagi wangi. Sulaiman hanya ingin memakmurkannya. Dia menjadi imam dan yang mengajak orang-orang miskin di seputaran masjid agar shalat berjamaah. Meskipun banyak yang menolak, tapi Sulaiman bisa menghidupkan masjid itu minimal lima kali shalat fardhu dalam sehari. Dan supaya kau tahu, setiap hari Jum'at, Sulaiman menjadi penghotbah di sana."

Aku tersentak. Aku bagaikan dipukul sangat telak oleh Sulaiman. Rupanya selama di dunia, dia telah menipuku. Pura-pura enggan shalat, tahu-tahunya dia shalat berjamah di masjid. Tak hanya menjadi imam, juga penghotbah.

"Tapi itu hanya sedikit perbedaan yang membuatmu menjadi calon ahli neraka dan dia ahli sorga."

Aku gemetar. Aku ingin berteriak, tapi mulutku terkunci.

"Kau selalu mengoreksi ibadah orang lain, ibadahmu sendiri tak lurus. Satu lagi, kerjamu hanya mengghibah Sulaiman. Dengan ghibah itu kau tenggelam dalam kesesatan.Ghibah membuat ibadahmu hangus menjadi debu. Sekarang habis pulalah kamu. Pergilah menjadi penghuni neraka."

"Jangan! Jangan! Ampun!" Aku tersentak. Tubuhku gemetar. Sekujur badanku berkeringat. Saat aku membuka mata, kulihat Sulaiman berada di dekatku, di dekat istri dan beberapa tetangga mini marketku.

"Alhamdulillah, Pak Haji. Anda sudah siuman. Tadi Pak Haji pingsan di depan mini market." Sulaiman mengucapkan syukur Alhamdulillah berkali-kali.

Tanpa ragu-ragu, aku langsung memeluk erat Sulaiman. Aku meminta maaf berulang-ulang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun