"Ayolah shalat berjamaah, Sulaiman," kataku kala itu. "Bukankah kau tahu,bagi lelaki, shalat berjemaah di masjid lebih baik daripada shalat sendirian? Atau, kau memang enggan shalat karena kesibukan dunia? Ingat akhirat, Man! Kalau shalatmu baik, maka baiklah semuanya. Bila shalatmu buruk, buruklah semuanya!"
"Pak Haji duluan saja. Biar saya menyusul."
Menyusul? Kapan pula dia tiba-tiba menyusulku shalat berjamaah di masjid?Setiap selesai shalat berjamaah, aku selalu mencari-cari batang hidung Sulaiman. Tapi tak ada sama sekali. Bahkan bau tubuhnya yang lengket dan tak sedap itu, mampir saja tak ada ke hidungku. Begitulah berulang-ulang sampai enam tahun kami bertetangga lapak usaha, dia seperti batu tak mau shalat berjamaah.
Hingga kemudian aku merasa najis melihatnya. Sering sekali di saat bersantai, aku mengeluhkan Sulaiman kepada istriku.
"Tak baik mengghibah orang, Pak!" Selalu itu yang disentilkan istriku setiap kali aku ingin mengabarkan keburukan orang kepadanya. Padahal itu kan kenyataan? Aku tak berniat mengghibah.
"Shalat itu lho, kapan dia lakukan? Apa Sulaiman memang tak pernah shalat seumur hidupnya? Jangankan shalat, menginjakkan kakinya ke masjid saja pun tak pernah."
"Tak baik menuduh sembarangan, Pak! Â Jangan mendikte ibadah orang lain. Lebih baik kita mengoreksi ibadah kita sendiri," kata istriku.
"Jadi, kau menuduh ibadahku tak benar?"
"Bukan begitu!"
"Ah, sudahlah!"
Aku kemudian malas membincangkan tentang seseorang kepada istriku. Aku menjadi lebih suka bergabung di kedai kopi yang mangkal selemparan batu dari mini marketku. Di situ aku bebas menceritakan tentang Sulaiman. Dan sepertinya orang-orang penunggu kedai kopi, mengamini kata-kataku. Maka semakin berbusalah mulut ini menceritakan Sulaiman. Semakin yakinlah hati ini bahwa Sulaiman akan menjadi ahli neraka.