Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Jangan Pernah Menangis Ketika Kenangan Meninggalkanmu

1 Mei 2017   19:54 Diperbarui: 1 Mei 2017   21:26 717
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Masa lalu adalah kenangan yang terlipat dalam almanak waktu. Terkadang sangat indah diingat, meski tak jarang perih serupa lindasan silet dan menjadi pelajaran ke depan. Bahkan menjadi dendam, aib, atau apalah! Tapi bagiku, kenangan merupakan sorga masa kecil. Bermain layang-layang di sawah usai padi diketam. Menjerat burung pipit dengan getah nangka yang dijalin antara dua lidi. Disembunyikan di antara rerimbun bebatang padi. Atau membuat puput bersuara besar dari batang padi, dengan balutan daun kelapa, dibentuk corong. Ah, rasanya masa kecil tak boleh berakhir! Masa kecil hanya tertawa. Berkejar-kejaran dengan kekanak lain. Jatuh. Kaki terluka. Menangis. Tapi tertawa lagi. Indahnya menjadi kecil! Meski akhirnya waktu yang ganas menerjang. Tubuh membesar. Jakun meninju di leher bagian depan.

Aku dewasa. Aku harus mencari penghidupan di negeri-negeri lain seperti buyut, kakek, ayah dan paman-paman lain. Menjadi perantau, sebab sudah tradisi, para lelaki menempa hidupnya di negeri orang.  Menjadi kaya, atau kere. Menikah, melanjutkan generasi. Lalu kembali  ketika sudah lelah, bungkuk, ubanan dan terbatuk-batuk. Sementara perempuan menjaga kampung. Mengurus sawah-ladang serta hewan ternak. Mereka banyak yang menjadi perawan tua. Sebagian ada juga yang menikah dengan pendatang dari Jawa.

Kenangan itulah yang menarik-narikku sehingga harus kembali ke tempat ini. Istri, yang memiliki alasan bertimpa-timpa, menolak ikut. Dua anakku, dengan kesibukannya di sekolah dan ekstra kurikuler, bernasib sama. Merasa tak ada waktu menemaniku sekedar membuka album lama.  Ah, terkadang bagi sebagian orang, membuka kembali kenangan itu, hanyalah wujud kecengengan. Membuang-buang waktu! Padahal kenangan adalah awal terjadi cerita masa depan. Mustahil manusia muncul tiba-tiba di muka bumi ini bila dia tidak melalui fase kenangan.

Setiba di perbatasan kampung dengan jalan provinsi, sejenak aku tertegun. Aku ragu-ragu menyuruh Robert, sopir pribadiku, membelok ke jalan yang dicor beton. Inikah kampungku? Aku setengah tak percaya. Dari pangkal jalan menuju kampungku, begitu banyak perubahan yang terjadi. Aku ingat jalan itu dulu terbuat dari tanah yang sekali setahun ditimbun sirtu oleh warga kampung. Aku sering menumpang pedati Labiah hanya sekadar ingin menampangdi pangkal jalan itu. Suara roda pedati yang ditarik Kecak, sapi Labiah, berkletak-kletuk serupa orang mengunyah jagung goreng. Sekali-sekali lecut menghantam pantat Kecak. Berulang-ulang Labiah mendecak agar sapi itu tak malas-malasan melangkah. Dan waktu itu aku ingat betul, jalanan tak rata. Berundak-undak. Turunan, tanjakan, turunan, kemudian tanjakan lagi. Hmm, masa sepuluh tahun memang telah merubah segalanya. Bayanganku, pasti orang-orang sedemikian kaya. Terbukti dari jauh kulihat rumah-rumah penduduk rata-rata beratap genteng. Tak ditemukan lagi atap ijuk, atau daun rumbia. Seingatku, dulu hanya atap rumah Haji Senen-lah yang terbuat dari seng bercat coklat gelap.

Mobil berjalan sangat pelan. Selain aku ingin menikmati setiap inchi perubahan di kampung ini, rambu-rambu di pangkal jalan kami sudah memberi peringatan; Awas Banyak Anak-anak! Ngebut…. Benjol! Aku tertawa geli dalam hati. Ada-ada saja. Betapa orang-orang tak memiliki tatakrama seperti dulu. Semua serba kasar. Semua seakan memuja hukum rimba. Bukankah lebih baik kata-kata itu diganti misalnya; Mohon Jangan Ngebut! Banyak Anak-anak!

“Apakah ini benar jalan ke kampung bapak?” Robert mengejutkanku. Mungkin dia bingung sebab sedari tadi aku celingak-celinguk seperti orang tersasar.

“Benar! Aku hanya ingin melihat setiap perubahan di kampung ini.”

“Bukankah cerita bapak kepadaku, di kampung ini banyak sawah? Tapi mana? Bukankah rumah-rumahnya beratap rumbia atau ijuk? Saya takut kita salah jalan, Pak!”

“Sepuluh tahun berlalu, Bert! Masa yang lumayan lama. Mustahil sesuatu itu tak berubah, misalnya ke arah lebih baik, atau sebaliknya, lebih buruk.” Aku menyuruhnya berhenti di depan sebuah rumah makan. Tak lumayan besar seperti yang di pinggir-pinggir jalan provinsi. Tapi dibandingkan sepuluh tahun lalu, rumah makan itu sangat hebat. Seingatku dulu di situ Wak Kalahar berjualan kopi dan makanan kampung. Selepas orang-orang meladang dan menyawah, biasanya mangkal di warungnya yang terlihat hampir rubuh itu. Berkelakar sambil sebelah kaki naik ke atas kursi. Atau sekali-sekali bermain kartu remi, bermain catur. Aku paling senang diajak ayah singgah di situ setelah membawaku melihat buah manggis di ladang apakah sudah bisa dipanen atau belum. Atau saat pulang memanen bayam, cabai dan ubi kayu. Wak Kalahar dengan senyuman ramah, segera mengelus-elus rambutku. “Sudah besar kau sekarang!” katanya berbasa-basi. Padahal kemarinnya, kemarinnya lagi, aku selalu singgah di situ. Kami kerap bersua. Tapi sudahlah! Itu tak perlu dipersoalkan. Yang penting dia segera mejumput gula-gula di toples. Kemudian memasukkannya ke kantongku. Wah, permata-permata yang menawan!

“Jangan terlalu banyak, Wak!” Biasanya ayah mencoba mengingatkan Wak Kalahar.

“Tak apa-apa! Aku tak mungkin bangkrut dibuatnya.”

Biasanya saat kami pulang, ayah mulai mengingatkanku sambil kakinya tetap mengayuh sepeda. “Jangan dihabiskan permen itu, nanti gigimu ompong! Jangan memakannya sambil tiduran, bisa tersedak! Nanti sesampai di rumah, kau berikanlah sebuah-dua kepada Sanif!” Aku memberengut kesal. Tapi aku tetap mengangguk, meski aku tahu ayah tak melihat ke arahku. Huh, Sanif! Tak bakalan aku membagi permen kepadanya. Dia pelit! Kemarin, ketika aku meminta sebiji saja salak yang dibeli ayahnya di ibukota kabupaten, banyak pula alasannya agar tak jadi memberi. Sekarang biar kubalas!

Tiba-tiba terdengar suara ribut-ribut. Robert sedang mengusir anak-anak yang sedang mengelus-elus mobilku. Maklum, mungkin di kampung ini belum ada mobil semewah ini. Aku baru saja mengkreditnya di sebuah showroom besar. Harga cashnya lumayan. Hampir satu milyar. Dulu ketika aku masih si dekil di kampung ini, mendengar milyar saja aku bingung. Berapa banyak sih nolnya? Bahkan ketika dulu Wak Kalahar memperoleh hadiah utama satu juta rupiah dari sebuah produk mie, aku pikir dia kaya mendadak. Tapi kata ayah, itu nominal yang kecil. Apalagi dibandingkan dengan sekarang. Biaya senang-senang anakku saja satu juta rupiah sebulan. Apalagi biaya istri, hampir limajutaan.

“Sudahlah! Biarkan mereka mengelus mobil ini!” kataku. Seorang anak mencium persis di samping kap mobil. Ada bekas napasnya di situ. Mengembun. Dan dia tertawa.

“Nanti lecet, Pak!” protes Robert. Dia mendelik ke arah anak itu. Belum pernah aku melihat Robert marah-marah begini. Karena kalau bersamaku dia selalu takzim, terlalu hormat malah! Nyaris seperti penjilat. “Dasar anak nakal!” bentaknya. Anak-anak itu tertawa berderai. Seorang anak yang berbadan bongsor, mengenakan sandal bergambar miniatur buaya mendekat.

“Paman, minta duit!” katanya. Aku tercekat. Berani betul anak ini. Berbeda dengan anak-anak di jamanku. Dulu, kami paling tak berani meminta-minta duit kepada orang yang bukan keluarga dekat kami. Ayah pernah mengingatkan bahwa aku tak boleh meminta-minta kepada orang lain. Meminta itu adalah pertanda miskin. Orang yang senang meminta, pada akhirnya terus meminta-minta. Karena meminta itu menjadi budaya dan doa baginya.

Aku menjadikan petuah itu pegangan. Hingga sebab terlalu kuat memegang, aku menjadi masuk angin. Kejadiannya begini. Waktu itu aku dan ibu menghadiri hajatan di rumah Haji Senen. Sebelum acara makan-makan dimulai, aku asyik bermain bersama anak sebayaku di tanah lapang, tak jauh dari rumah Haji Senen. Tiba acara makan, aku tak menemukan ibu. Anak-anak lain mengambil daun pisang dan meminta nasi dan sedikit lauk kepada ibu-ibu bersuara ramai di tempat permasakan. Aku ingat petuah ayah. Aku tak boleh meminta. Jikalau ada yang menyuruh makan dan memberiku nasi dan sedikit lauk, barulah petuah itu tak berlaku. Nyatanya, ramainya anak-anak, membuat ibu-ibu tak memerdulikanku. Akibatnya, aku pulang ke rumah karena lapar. Tapi di rumah tak ada nasi dan lauk. Paginya ibu memang tak berniat memasak. Ibu memastikan dapat titipan makanan dari hajatan Haji Senen.

Akhirnya aku masuk angin. Ketika ibu pulang dan memarahi aku kenapa menghilang, barulah kukatakan, “Aku belum makan, Bu.!”

“Kenapa?” ketus ibu. Ayah masuk membawa setandan pisang. Pisang di ladang sudah masak.

“Aku tak berani, Bu. Ayah kan mengatakan jangan sekali-sekali meminta kepada orang lain. Itu pertanda miskin! Jadi aku tak berani meminta nasi dan lauk kepada ibu-ibu di permasakan” tandasku. Ayah mendekat sambil tersenyum.

“Ya, kalau di tempat hajatan berbeda, Igor! Kau harus meminta nasi dan lauk. Kalau tidak, orang tak perduli, lalu kau kelaparan dan masuk angin seperti sekarang.”

“Duit, Paman!” Anak itu mengejutkanku. Sambil menyungging senyum, aku menggenggamkannya uang sepuluh ribuan.

“Bagi dengan teman-teman, ya!” ucapku. Tapi dia langsung berlari. Anak-anak lain memanggilnya. Sayang, anak itu tak menoleh. Ketika mereka meminta langsung kepadaku, kujawab, “Minta saja sama anak itu. Lumayan banyak yang paman berikan.” Mobil kembali jalan perlahan meninggalkan anak-anak yang menunjukkan wajah kecewa. Ah, lupakan anak-anak itu, Igor!

Sampai juga akhirnya di depan rumah tempatku bernaung hingga dewasa. Hingga bisa melawan dan mengatakan ah kepada orangtua, lalu pergi melang-lang ke negeri orang. Seperti burung yang terbang jauh lupa pulang. Lama bersijingkat, melompat-lompat di negeri orang. Tak berkabar, apalagi memberi pengingat misalnya wessel; bahwa aku si anak hilang masih hidup.

Kuingat pertengkaran terakhir dengan ayah.

“Jadi kau ingin menjual sawah kita, Igor!” Mata ayah memicing. Sejak di kornea mata kanannya ada kerak putih melekat---kata Mantri Saitun katarak---ayah selalu memicing ketika melihat lawan bicaranya. Padahal dengan memicing belum tentu dia melihat lawan bicaranya itu lebih jelas.

“Iya, Pak! Kalau tidak aku tak bisa bekerja di kantor itu,” jawabku.

“Lho, aneh! Harusnya kau bekerja itu digaji oleh pihak perusahaan tempat rencanamu bekerja. Kenapa ini terbalik? Belum bekerja, kau sudah menggaji pihak perusahaan itu.”

“Tak aneh, Pak! Sekarang, itu yang berlaku. Pak Sul, orang dalam di perusahaan itu yang mengatakan.”

“Sawah kita itu harta warisan. Banyak pemiliknya.”

“Tapi cuma kita yang mengelolanya, kan? Yang lain sudah di negeri orang. Sudahlah, Yah! Kalau berhasil nanti, aku akan membeli sawah itu kembali.”

Ayah terpekur. Ibu menyokong rencanaku. Diam-diam aku mengambil surat sawah dan menjual sawah itu kepada Juragan Leman. Tak perlu neko-neko. Juragan Leman menganggap bahwa aku sudah berhak menjualnya. Yang penting, surat itu sudah berada di genggamannya. Perkara ayah, menurutnya dan kuamini, bisa diselesaikan dengan sangat mudah.

Ternyata ayah mengusirku. Aku tak bisa banyak berbicara. Sebelum diusir ayah, aku memang sudah siap-siap pergi. Aku diterima bekerja di perusahaan itu. Aku ditempatkan di ibukota negara. Aku berjibaku di sana. Membeli rumah. Menikah tanpa kabar ke kampung. Beranak-pinak. Ah, aku tak sanggup menjejak kampung sebelum bisa menumpuk uang demi membeli lagi sawah warisan itu dari Haji Leman.

Dan ketika uang sudah bertumpuk-tumpuk, aku sayang membelanjakannya untuk membeli sawah warisan itu. Bertahun terlewat. Hingga sekarang aku nekad pulang, demi sejumput kenangan. Demi petak-petak tanah yang mungkin telah dibangun orang pabrik, jalan atau rumah-rumah. Ah, bisakah aku mengembalikan sawah itu kepada ayah seandainya sawah telah menjadi pemukiman?

Akhirnya kami tiba di depan rumahku.

“Wah, rumah bapak lumayan besar!” kata Robert jujur. Seorang perempuan berwajah manis ke luar dari dalam rumah itu. Pasti perempuan itu sebenarnya yang membuat Robert kagum.

Aku turun menjejak kaki di atas rumput-rumput yang tengah berbunga. Sepatuku yang mengilat, basah oleh embun. Perempuan manis itu menoleh. Dia menatapku asing. Robert kurasakan mendengus di leherku. Aku menoleh. Robert meminta maaf. Memundurkan pantat dari jok tempatku duduk, kembali ke belakang kemudi. Dia menggaruk-garuk tangannya yang gempal. Matanya nakal seperti mengatakan; Mari, Dek! Naik mobil abang. Kita jalan-jalan ke kota!Duda penggatal! Batinku.

“Maaf, Dek! Ini rumah Pak Hanafiah?” tanyaku. Perempuan itu mundur selangkah. Dia menyungging senyum. Kepalanya melongok ke balik pintu. Dia meneriakkan bahwa ada tamu. Selanjutnya dia melintasiku. Melangkah menuju utara.

Seorang perempuan tua muncul. Diakah ibu? Lalu perempuan manis barusan, siapa? Apakah dia salah seorang  cucu ibu? Cucu darimana? Kepalaku berpusing. Oh, ibu! Betapa asingnya kau kini. Betapa tua wajahmu dipahat sedih ditinggal anak yang tak tahu diuntung ini. Oh, bukan, bukan! Pasti dia bukan ibuku.

“Mencari siapa, Nak?” Dia mendekatiku. Dia tak ramah, misalnya mengajakku masuk ke dalam rumahnya. Apakah dia takut aku menghabisi panganan di rumahnya?

Aku ragu-ragu bertanya, “Apakah ini rumah Pak Hanafiah, Bu?”

“Hanafiah? Nama yang asing! Aku tak tahu, Nak. Kami baru sebulan mengontrak di rumah ini. Kalau mau penjelasan lebih lanjut, tanya saja ke pemilik rumah, Bu Salamah namanya.”

Aku mengernyit. Aku salah besar telah menganggap dia sebagai ibuku. “Bu Salamah tinggal di mana?”

“Tuh!” Dia menunjuk dengan bibir mancung. Tak sopan! Terlebih-lebih dia langsung masuk ke rumah itu dan membanting pintu. Kepada Robert aku meminta dia menunggu. Aku berjalan kaki saja ke rumah Bu Salamah.

Aku ingat, rumah Bu Salamah itu dulunya adalah kolam Haji Senen. Luasnya sekian ratus meter persegi. Sekarang di atasnya ada rumah Bu Salamah. Di belakang rumah Bu Salamah ada rumah lain. Di belakangnya lagi, di belakangnya lagi. Sungguh ramai dan padat perumahan di tempat ini. Banyak perubahan, meski belum tentu ke arah lebih baik.

Seorang perempuan berusia sekitar dua puluhan tahun menyambutku setelah bel di samping pintu kupencet lima kali. Dia tak menyuruhku masuk. Tubuhnya menggalang pintu, seolah aku maling yang haram menginjak ruang dalam rumah.

“Bu Salamah ada?” Aku ragu-ragu bertanya.

“Ibu lagi ke kota. Ada apa, Pak?”

“Saya mau menanyakan rumah yang di ujung itu. Kata ibu yang tinggal di situ, rumah itu milik Bu Salamah.”

“Memang benar, Pak!”

“Kalau boleh tahu, pemiliknya yang lama, bernama Bapak Hanafiah, tinggal di mana sekarang?”

“Aku tak tahu, Pak. Kami membeli rumah itu dari Pak Suntar lima tahun lalu. Kami pindah ke rumah ini, setahun kemudian, ketika ibu mempunyai uang berlebih dan membangun rumah ini.”

“Pak Suntar, siapa itu? Darimana asalnya?” kejarku.

Perempuan itu menggeleng. Seorang lelaki mengeluarkan kepalanya dari balik pintu. Perempuan itu bergegas masuk.

“Cari siapa, Pak?”

“Rumah Bapak Hanafiah,” jawabku.

Dia mengernyit. “Pak Hanafiah?” Wajahnya berubah cerah. Demikian pula aku. “Oya, dia pemilik rumah yang dulu, sebelum rumah itu direnovasi dan dibangun permanen seperti sekarang.”

“Iya, Pak! Ke mana dia sekarang?”

“Entah! Cuma aku pernah juga mendengar cerita bahwa seluruh penghuni pertama kampung ini hengkang entah ke mana. Dulu kabarnya tempat ini dibeli sebuah perusahaan perkebunan. Katanya mau dijadikan kebun karet. Sayang, tak jadi. Sekarang sudah dijadikan perumahan oleh pendatang.”

“Jadi?” Tubuhku lemas. Aku lunglai di depan lelaki itu. Lelaki itu permisi masuk. Pintu ditutup. Dibanting!

---sekian---

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun