Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Jangan Pernah Menangis Ketika Kenangan Meninggalkanmu

1 Mei 2017   19:54 Diperbarui: 1 Mei 2017   21:26 717
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

“Bagi dengan teman-teman, ya!” ucapku. Tapi dia langsung berlari. Anak-anak lain memanggilnya. Sayang, anak itu tak menoleh. Ketika mereka meminta langsung kepadaku, kujawab, “Minta saja sama anak itu. Lumayan banyak yang paman berikan.” Mobil kembali jalan perlahan meninggalkan anak-anak yang menunjukkan wajah kecewa. Ah, lupakan anak-anak itu, Igor!

Sampai juga akhirnya di depan rumah tempatku bernaung hingga dewasa. Hingga bisa melawan dan mengatakan ah kepada orangtua, lalu pergi melang-lang ke negeri orang. Seperti burung yang terbang jauh lupa pulang. Lama bersijingkat, melompat-lompat di negeri orang. Tak berkabar, apalagi memberi pengingat misalnya wessel; bahwa aku si anak hilang masih hidup.

Kuingat pertengkaran terakhir dengan ayah.

“Jadi kau ingin menjual sawah kita, Igor!” Mata ayah memicing. Sejak di kornea mata kanannya ada kerak putih melekat---kata Mantri Saitun katarak---ayah selalu memicing ketika melihat lawan bicaranya. Padahal dengan memicing belum tentu dia melihat lawan bicaranya itu lebih jelas.

“Iya, Pak! Kalau tidak aku tak bisa bekerja di kantor itu,” jawabku.

“Lho, aneh! Harusnya kau bekerja itu digaji oleh pihak perusahaan tempat rencanamu bekerja. Kenapa ini terbalik? Belum bekerja, kau sudah menggaji pihak perusahaan itu.”

“Tak aneh, Pak! Sekarang, itu yang berlaku. Pak Sul, orang dalam di perusahaan itu yang mengatakan.”

“Sawah kita itu harta warisan. Banyak pemiliknya.”

“Tapi cuma kita yang mengelolanya, kan? Yang lain sudah di negeri orang. Sudahlah, Yah! Kalau berhasil nanti, aku akan membeli sawah itu kembali.”

Ayah terpekur. Ibu menyokong rencanaku. Diam-diam aku mengambil surat sawah dan menjual sawah itu kepada Juragan Leman. Tak perlu neko-neko. Juragan Leman menganggap bahwa aku sudah berhak menjualnya. Yang penting, surat itu sudah berada di genggamannya. Perkara ayah, menurutnya dan kuamini, bisa diselesaikan dengan sangat mudah.

Ternyata ayah mengusirku. Aku tak bisa banyak berbicara. Sebelum diusir ayah, aku memang sudah siap-siap pergi. Aku diterima bekerja di perusahaan itu. Aku ditempatkan di ibukota negara. Aku berjibaku di sana. Membeli rumah. Menikah tanpa kabar ke kampung. Beranak-pinak. Ah, aku tak sanggup menjejak kampung sebelum bisa menumpuk uang demi membeli lagi sawah warisan itu dari Haji Leman.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun