Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Jangan Pernah Menangis Ketika Kenangan Meninggalkanmu

1 Mei 2017   19:54 Diperbarui: 1 Mei 2017   21:26 717
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Biasanya saat kami pulang, ayah mulai mengingatkanku sambil kakinya tetap mengayuh sepeda. “Jangan dihabiskan permen itu, nanti gigimu ompong! Jangan memakannya sambil tiduran, bisa tersedak! Nanti sesampai di rumah, kau berikanlah sebuah-dua kepada Sanif!” Aku memberengut kesal. Tapi aku tetap mengangguk, meski aku tahu ayah tak melihat ke arahku. Huh, Sanif! Tak bakalan aku membagi permen kepadanya. Dia pelit! Kemarin, ketika aku meminta sebiji saja salak yang dibeli ayahnya di ibukota kabupaten, banyak pula alasannya agar tak jadi memberi. Sekarang biar kubalas!

Tiba-tiba terdengar suara ribut-ribut. Robert sedang mengusir anak-anak yang sedang mengelus-elus mobilku. Maklum, mungkin di kampung ini belum ada mobil semewah ini. Aku baru saja mengkreditnya di sebuah showroom besar. Harga cashnya lumayan. Hampir satu milyar. Dulu ketika aku masih si dekil di kampung ini, mendengar milyar saja aku bingung. Berapa banyak sih nolnya? Bahkan ketika dulu Wak Kalahar memperoleh hadiah utama satu juta rupiah dari sebuah produk mie, aku pikir dia kaya mendadak. Tapi kata ayah, itu nominal yang kecil. Apalagi dibandingkan dengan sekarang. Biaya senang-senang anakku saja satu juta rupiah sebulan. Apalagi biaya istri, hampir limajutaan.

“Sudahlah! Biarkan mereka mengelus mobil ini!” kataku. Seorang anak mencium persis di samping kap mobil. Ada bekas napasnya di situ. Mengembun. Dan dia tertawa.

“Nanti lecet, Pak!” protes Robert. Dia mendelik ke arah anak itu. Belum pernah aku melihat Robert marah-marah begini. Karena kalau bersamaku dia selalu takzim, terlalu hormat malah! Nyaris seperti penjilat. “Dasar anak nakal!” bentaknya. Anak-anak itu tertawa berderai. Seorang anak yang berbadan bongsor, mengenakan sandal bergambar miniatur buaya mendekat.

“Paman, minta duit!” katanya. Aku tercekat. Berani betul anak ini. Berbeda dengan anak-anak di jamanku. Dulu, kami paling tak berani meminta-minta duit kepada orang yang bukan keluarga dekat kami. Ayah pernah mengingatkan bahwa aku tak boleh meminta-minta kepada orang lain. Meminta itu adalah pertanda miskin. Orang yang senang meminta, pada akhirnya terus meminta-minta. Karena meminta itu menjadi budaya dan doa baginya.

Aku menjadikan petuah itu pegangan. Hingga sebab terlalu kuat memegang, aku menjadi masuk angin. Kejadiannya begini. Waktu itu aku dan ibu menghadiri hajatan di rumah Haji Senen. Sebelum acara makan-makan dimulai, aku asyik bermain bersama anak sebayaku di tanah lapang, tak jauh dari rumah Haji Senen. Tiba acara makan, aku tak menemukan ibu. Anak-anak lain mengambil daun pisang dan meminta nasi dan sedikit lauk kepada ibu-ibu bersuara ramai di tempat permasakan. Aku ingat petuah ayah. Aku tak boleh meminta. Jikalau ada yang menyuruh makan dan memberiku nasi dan sedikit lauk, barulah petuah itu tak berlaku. Nyatanya, ramainya anak-anak, membuat ibu-ibu tak memerdulikanku. Akibatnya, aku pulang ke rumah karena lapar. Tapi di rumah tak ada nasi dan lauk. Paginya ibu memang tak berniat memasak. Ibu memastikan dapat titipan makanan dari hajatan Haji Senen.

Akhirnya aku masuk angin. Ketika ibu pulang dan memarahi aku kenapa menghilang, barulah kukatakan, “Aku belum makan, Bu.!”

“Kenapa?” ketus ibu. Ayah masuk membawa setandan pisang. Pisang di ladang sudah masak.

“Aku tak berani, Bu. Ayah kan mengatakan jangan sekali-sekali meminta kepada orang lain. Itu pertanda miskin! Jadi aku tak berani meminta nasi dan lauk kepada ibu-ibu di permasakan” tandasku. Ayah mendekat sambil tersenyum.

“Ya, kalau di tempat hajatan berbeda, Igor! Kau harus meminta nasi dan lauk. Kalau tidak, orang tak perduli, lalu kau kelaparan dan masuk angin seperti sekarang.”

“Duit, Paman!” Anak itu mengejutkanku. Sambil menyungging senyum, aku menggenggamkannya uang sepuluh ribuan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun