“Jangan risau bagaimana, Bang? Sudah lebih sejam ini.”
“Iyakah?” Sujak melihat ke arah rumah bercat kuning itu. Dia tiba-tiba risau juga. “Kau susul saja dia, Be! Kalau makanan tak ada di warung itu, balik saja ke mari. Biarlah puasa dulu sebentar.”
Lobe keluar menerabas panas yang menyengat. Kyai hendak menyusul, tapi tangan gempal Sujak menahan tubuhnya.
“Aku takut ada apa-apa dengan anak itu. Bagaimana aku menjelaskannya kepada kedua orangtuanya?”
Sujak menenangkan lelaki di sebelahnya dengan tatap mata teduh. “Sekali lagi jangan risau. Lagi pula untuk anak seukurannya, dia sudah cukup cerdas untuk pulang ke mari. Termasuk cukup cerdas bila dia tersesat.”
Kyai meraup rambut dan mengacak-acaknya.
Kecik tak tahu harus berbuat apa lagi. Orang-orang yang berada di sekelilingya seolah tak melihat keberadaan si malang ini. Mereka berjalan dengan tatap lurus ke depan. Mereka duduk atau berdiri di depan rumah masing-masing, sama-sama sibuk dengan urusan atau pikiran sendiri.
Kecik memberanikan diri kembali menemui kawan-kawannya di truk. Tak perduli meski lorong di depan itu penuh simpangan. Yang pasti dia hanya berharap bantuan Tuhan. Dia melangkah, dan Tuhan yang mengarahkan kakinya.
Dia berjalan bergegas. Semakin bergegas, dia merasakan jarak yang ditempuh lebih jauh dari jarak yang dilaluinya ketika memasuki lorong itu. Bahkan dia merasa aneh ketika sekali-dua menemui jalan buntu. Dia memilih berbelok arah sambil sesekali tersenyum kepada orang-orang yang menatapnya curiga.
Tuhan ternyata berbaik hati kepadanya. Setelah lebih seperempat jam, dia berhasil menemukan jalan besar. Sayang sekali, jalan besar itu lebih lebar dan padat dari jalan besar tempat truk tadi terjebak macet.
Kecik duduk di sebuah halte bis sekadar membuang capek. Ada beberapa anak yang lebih kecil darinya sedang bermain di situ. Seorang berambut pirang, berkaos
bolong-bolong, tak bersendal jepit dan ingusan. Kondisi anak itu sama seperti ketiga temannya. Bedanya mereka tak ingusan.