Dia menatap ke depan. Ternyata taksirannya melenceng. Tadi, dia berpikir rumah bercat kuning itu dekat-dekat saja. Ternyata sangat jauh. Butuh sekian menit dia baru sampai di sana, lalu menelan kecewa. Seorang lelaki seumuran Boy, duduk di bale-bale depan rumah bercat kuning itu. Tak ada warung di sebelahnya seperti yang diceritakan Sujak.
“Pak, warung makan yang di sebelah rumah ini pindah ke mana?”
Lelaki itu melongo. “Warung makan? Ah, lo ngada-ada! Gua kagak tau. Ada sih warung makan, tapi jauh dari sini.”
“Di mana, Pak?”
“Noh, di pinggir jalan kota.”
“Lewat mana?”
“Ikuti saja lorong di sebelah kiri ini. Nanti ketemu deh!”
“Terima kasih, Pak!”
Kecik hampir memutuskan balik arah menuju truk, dan mengatakan warung makan tak ada. Tapi itu artinya, dia tak memiliki kecakapan apa-apa. Tak ada sumbangsih yang berarti darinya sejak mereka berangkat dari kampung beberapa hari lalu. Kecuali sekadar mencari-cari dahan atau semak untuk menjadi penanda truk mereka ketika sedang pecah ban. Itu pun tak berhasil dia lakukan. Nanti apa tanggapan Sujak dan Lobe? Meskipun mereka tak marah, yang pasti suara sumbang akan memenuhi lobang telinganya sepanjang jalan, hingga dua lelaki itu bungkam sendirinya.
Kecik memutuskan melewati lorong itu. Semakin masuk ke dalam, semakin pula dia bingung melihat lorong yang mengular dan berliku. Ternyata begitu banyak persimpangan. Dia terpaksa mengikuti kata hati mau melangkah ke mana. Saat berhenti di dekat gardu hansip, dia kembali berniat balik arah menuju truk. Hanya saja dia tak tahu lagi, lorong mana yang harus dia tempuh. Seorang perempuan yang melintas dan sedang menggendong anaknya, menimbulkan harapan baru di hati Kecik.
“Bu, jalan besar di mana?”