Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Deru Debu (Cerber Bagian Ketujuh "Ke Jakarta")

4 Juli 2015   08:47 Diperbarui: 4 Juli 2015   08:47 323
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Fiksiana. Sumber ilustrasi: PEXELS/Dzenina Lukac

Berbeda dengan Kyai Ali. Sejak sejam lalu dia telah mengenakan sweater loreng-loreng seperti kepunyaan tentara. Di juga menelungkupkan topi wol yang hampir menyentuh kelopak matanya. Ditambah kain sarung kotak-kotak yang melingkari badannya. Tapi dingin teramat liar menggerayangi pori-pori.

Kaca jendela di sebelahnya, ditutup Lobe dengan memutar gagang fiber yang hampir patah. Kyai menuruti, menutup kaca jendela di samping Kecik. Suasana terasa agak nyaman. Tak ingin Kecik kedinginan sangat, dia memindahkan posisi anak itu ke tengah. Sementara dia pindah ke posisi Kecik. Sebentar dia mengambil kain sarung yang lain dari tas ranselnya, kemudian menutupi tubuh Kecik yang sudah dianggapnya anak kandung sendiri.

* * *

Cahaya matahari yang menerpa wajah, dan tepukan lembut seseorang di pundaknya, membuat Kecik tersentak. Dia membuka mata sambil menggeliat-geliat. Di sebelahnya Kyai Ali sedang tersenyum. Jok di belakang kemudi telah kosong. Begitu pula batang hidung Sujak, tak kelihatan lagi. Wangi masakan yang mengilik-ngilik lobang hidung, membuat perut Kecik berkeriuk. Dia melihat sebuah bangunan dengan orang yang duduk atau berlalu lalang di dalamnya.

“Kita istirahat dulu. Mandi bersih-bersih, makan kenyang-kenyang, dan mengaso. Apa kau ingin kenyang dengan tidur saja?” Kyai Ali bercanda.

“Jelas mau istirahat, Kyai. Badan sudah busuk begini, perut sudah melilit-lilit, ya…pilihanku turun saja kita.” Kecik tertawa.

Mereka turun dari kabin truk, kemudian menyusuri lorong samping bangunan itu. Kecik sempat membaca sebuah papan dengan tulisan “RM Selera Nikmat” di gapura depan rumah makan itu.

Entah datang dari mana, tiba-tiba dua orang perempuan sudah menjejeri langkah mereka. Kyai Ali kikuk. Dia menyambut sapa salah seorang perempuan itu dengan ramah, dan mengatakan bahwa mereka mau mandi dulu.

“Siapa mereka, Kyai! Kenalan, ya?” Kecik mencuci muka di bak yang berisi air berwarna sedikit kuning. Air itu berbau tak sedap, seperti bau karat. Awalnya Kecik enggan mandi. Namun melihat Kyai Ali santai saja mengguyur tubuhnya yang setengah telanjang, anak itu pun menuruti.

“Biasalah! Di mana-mana banyak perempuannya!” Lelaki yang sedang menyabuni tubuhnya itu menjawab dengan kata-kata yang tak betul-betul dipahami Kecik. Hmm, mungkin itu hanya cakap orang dewasa. Tak perlu diambil pusing.

Kecik bersiul-siul sambil berhanduk. Dia berkumur sebentar sambil menggosok-gosok giginya dengan jari telunjuk kanan. Kemudian dia bersalin pakain, lalu mengikuti langkah Kyai Ali. Berdua mereka duduk semeja dengan Lobe. Lobe telah menghabiskan santapannya dan sedang mencungkil-cungkil sela giginya. Sementara selisih beberapa meja dari meja mereka, Sujak tengah bercanda dengan seorang perempuan berhidung pesek dan berwajah bulat.

“Mau makan apa?” tanya Lobe. “Aku sudah kenyang dan mau mandi dulu.”

“Sama seperti yang Kak Lobe makanlah.” Kecik nyengir kuda.

Lobe beranjak mendekati pelayan di belakang etalase makanan. Kemudian dia pergi menuju kamar mandi. Beberapa saat lamanya, si pelayan datang menghidangkan juadah yang lezat-lezat. Kecik sampai tak sabaran, hingga harus menyantap juadah di depannya panas-panas. Lumayan pedas rasanya sehingga keringat berkejaran di kening anak itu.

“Itulah yang namanya penumpang haram untuk senang-senang itu,” bisik Kyai Ali ke telinga Kecik, saat keduanya mendekati truk. Kecik melihat perempuan berhidung pesek dan berwajah bulat tadi mengekori Sujak dengan manjanya. Ternyata perempuan itu ikut naik ke kabin truk. Masih tugas Lobe yang memegang kemudi. Sedangkan Sujak duduk di jok belakang sambil cekikikan. Perempuan itu duduk bersandar di lengannya.

“Namaku Entin. Bang sopir siapa namanya?” Dia mencolek bahu Lobe. Kecik membuang pandang ke arah jalan. Truk mulai merangkak perlahan.

“Lobe!”

“Nama yang lucu selucu orangnya.”

“Hmm.” Lobe membunyikan klakson. Truk melaju kencang meninggalkan rumah makan itu. Lima truk lain menyusul dengan masing-masing kabin diisi penumpang haram untuk senang-senang.

“Kalau yang ini?”

“Kecik!” Dia menggelinjing karena geli disentuh Entin.

“Sama seperti orangnya, Kecik. Baru kali ini aku melihat anak seumuranmu ikut truk. Mau jadi anak nakal, ya?”

Kyai Ali mendengus. Dia mulai tak senang melihat kehadiran Entin mengacau suasana kabin truk. Sungguh, dia berharap perempuan itu cepat-cepat minggat. Dia malu melihat gayanya yang kemanja-manjaan. Dia juga membayangkan sebentar lagi Sujak dan perempuan itu akan berbuat yang tak senonoh. Oh, ingin rasanya dia menyuruh Sujak mengusir Entin. Tapi bagaimana mungkin? Sujak penggila perempuan. Dia pasti marah besar bila kesenangannya yang satu itu diganggu. Lebih baik diam dan cuek bebek. Kecuali ketika pinggangnya dicolek Entin, Kyai mendelik.

“Namamu siapa?” tanya Entin setelah mencolek pinggang lelaki yang paling tampan dan berpostur paling proporsional di antara semua lelaki yang ada di kabin.

“Jangan colak-colek! Namaku Ali. Titik!”

Sujak  menarik  tubuh  Entin  yang  terlalu  mencondong  ke  jok  depan.

“Namanya Kyai Ali. Jadi, kau jangan berani-berani mengganggunya.” Sujak tertawa ngakak. Lobe memukul-mukul kemudi dengan tangan kanannya. Kecik menggeleng-geleng tak habis pikir. Kyai Ali hanya dapat tersipu memendam rasa kesal yang masih terasa di benaknya. Dia bukan benci kepada Entin. Dia hanya takut tergoda, dan melakukan dosa dengannya. Tak bisa! Wajah istrinya seketika menggerayangi ingatan, bersaling-silang dengan wajah anaknya.

“Oh, Kyai, toh! Ih, jadi ngeri…” Entin tertawa manja.

Kecik merasa tak nyaman manakala mendengar dengus demi dengus, juga cekakak-cekikik di belakangnya semakin kentara dan sering. Dia mencoba memejamkan mata. Sayang hatinya seolah bisa melihat pergelutan itu. Dia berusaha menutup telinga dengan jari tangannya. Toh hatinya seolah mendengar keluh-kesah yang nikmat itu. Untungnya Tuhan memberikannya kebaikan, rasa kantuk yang kentara. Dia rebah di pangkuan Kyai Ali, lalu tertidur lelap.

Lumayan lama dia tertidur, sampai-sampai tak menyadari Entin sudah minggat dari kabin truk. Sekarang mereka menunggu antrian menuju pelabuhan Bakauheni. Panas siang sangat menyengat. Sujak membeli teh cangkir dingin dari pedagang asongan. Lumayanlah meredakan haus yang mengganjal tenggorokan.

“Senangkah kau bekerja di truk?” tanya Sujak kepada Kecik.

“Senang, Pak!”

“Jangan panggil, Pak. Panggil saja abang.”

“Atau uwak saja,” timpal Lobe.

“Sundalmu.” Sujak memukul bahu lelaki itu. “Memangnya aku sudah kelihatan tua! Sampai sekarang aku masih bujangan, tahu!”

“Bujangan, tapi bukan perjaka. Itu tuh… si Entin.”

Sujak kembali memukul bahu Lobe. Kali ini lebih keras sehingga lelaki penggoda itu mengaduh. Tapi tak timbul amarah di dalam kabin. Semua akhirnya tertawa ngakak.

“Beginilah kelakuan orang truk, Kecik. Harus kau maklumi. Bercandanya sering kasar.” Truk di depan mereka berjalan cepat. “Ayo, jalan juga, Lobe!”

Sekian meter demi sekian meter truk berjalan, lalu ngetem puluhan menit. Hampir jam delapan malam, truk mendekati kapal ferry yang bersandar di dermaga. Tapi giliran belum tiba. Mereka harus menunggu kapal ferry berikutnya. Mungkin tengah malam ini. Atau bisa saja besok pagi.

Untuk mengganjal perut yang keroncongan, mereka membeli nasi goreng yang dijajakan keliling oleh seorang perempuan tua.

Hampir pukul sebelas malam, setelah lelah berkelakar, Kyai Ali, Kecik dan Lobe mendengkur di Kabin dengan kaca jendela terbuka lebar. Sujak ngeloyor entah ke mana. Dia melintasi truk demi truk sambil menyapa mereka yang dia kenal. Sebentar dia singgah di warung kopi, hampir lima ratusan meter dari posisi truk yang dikemudikannya. Banyak sekali orang bermain remi di situ demi membunuh waktu, penungguan yang mengesalkan. Dua orang perempuan penjaja jamu masih ikut meramaikan suasana, meski sesekali mereka menguap. Sujak kenal betul, keduanya penjual jamu plus-plus. Kalau di kota-kota besar, biasanya ada panti pijat plus-plus. Tapi di pelabuhan begini, adanya penjaja jamu plus-plus

 

(Bersambung).

 Bagian sebelumnya

http://www.kompasiana.com/rifannazhif/deru-debu-cerber-bagian-keenam-ke-jakarta_5595ead0d8937341090b0a71

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun