Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Deru Debu (Cerber Bagian Ketujuh "Ke Jakarta")

4 Juli 2015   08:47 Diperbarui: 4 Juli 2015   08:47 323
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Fiksiana. Sumber ilustrasi: PEXELS/Dzenina Lukac

Kyai Ali mendengus. Dia mulai tak senang melihat kehadiran Entin mengacau suasana kabin truk. Sungguh, dia berharap perempuan itu cepat-cepat minggat. Dia malu melihat gayanya yang kemanja-manjaan. Dia juga membayangkan sebentar lagi Sujak dan perempuan itu akan berbuat yang tak senonoh. Oh, ingin rasanya dia menyuruh Sujak mengusir Entin. Tapi bagaimana mungkin? Sujak penggila perempuan. Dia pasti marah besar bila kesenangannya yang satu itu diganggu. Lebih baik diam dan cuek bebek. Kecuali ketika pinggangnya dicolek Entin, Kyai mendelik.

“Namamu siapa?” tanya Entin setelah mencolek pinggang lelaki yang paling tampan dan berpostur paling proporsional di antara semua lelaki yang ada di kabin.

“Jangan colak-colek! Namaku Ali. Titik!”

Sujak  menarik  tubuh  Entin  yang  terlalu  mencondong  ke  jok  depan.

“Namanya Kyai Ali. Jadi, kau jangan berani-berani mengganggunya.” Sujak tertawa ngakak. Lobe memukul-mukul kemudi dengan tangan kanannya. Kecik menggeleng-geleng tak habis pikir. Kyai Ali hanya dapat tersipu memendam rasa kesal yang masih terasa di benaknya. Dia bukan benci kepada Entin. Dia hanya takut tergoda, dan melakukan dosa dengannya. Tak bisa! Wajah istrinya seketika menggerayangi ingatan, bersaling-silang dengan wajah anaknya.

“Oh, Kyai, toh! Ih, jadi ngeri…” Entin tertawa manja.

Kecik merasa tak nyaman manakala mendengar dengus demi dengus, juga cekakak-cekikik di belakangnya semakin kentara dan sering. Dia mencoba memejamkan mata. Sayang hatinya seolah bisa melihat pergelutan itu. Dia berusaha menutup telinga dengan jari tangannya. Toh hatinya seolah mendengar keluh-kesah yang nikmat itu. Untungnya Tuhan memberikannya kebaikan, rasa kantuk yang kentara. Dia rebah di pangkuan Kyai Ali, lalu tertidur lelap.

Lumayan lama dia tertidur, sampai-sampai tak menyadari Entin sudah minggat dari kabin truk. Sekarang mereka menunggu antrian menuju pelabuhan Bakauheni. Panas siang sangat menyengat. Sujak membeli teh cangkir dingin dari pedagang asongan. Lumayanlah meredakan haus yang mengganjal tenggorokan.

“Senangkah kau bekerja di truk?” tanya Sujak kepada Kecik.

“Senang, Pak!”

“Jangan panggil, Pak. Panggil saja abang.”

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun