“Atau uwak saja,” timpal Lobe.
“Sundalmu.” Sujak memukul bahu lelaki itu. “Memangnya aku sudah kelihatan tua! Sampai sekarang aku masih bujangan, tahu!”
“Bujangan, tapi bukan perjaka. Itu tuh… si Entin.”
Sujak kembali memukul bahu Lobe. Kali ini lebih keras sehingga lelaki penggoda itu mengaduh. Tapi tak timbul amarah di dalam kabin. Semua akhirnya tertawa ngakak.
“Beginilah kelakuan orang truk, Kecik. Harus kau maklumi. Bercandanya sering kasar.” Truk di depan mereka berjalan cepat. “Ayo, jalan juga, Lobe!”
Sekian meter demi sekian meter truk berjalan, lalu ngetem puluhan menit. Hampir jam delapan malam, truk mendekati kapal ferry yang bersandar di dermaga. Tapi giliran belum tiba. Mereka harus menunggu kapal ferry berikutnya. Mungkin tengah malam ini. Atau bisa saja besok pagi.
Untuk mengganjal perut yang keroncongan, mereka membeli nasi goreng yang dijajakan keliling oleh seorang perempuan tua.
Hampir pukul sebelas malam, setelah lelah berkelakar, Kyai Ali, Kecik dan Lobe mendengkur di Kabin dengan kaca jendela terbuka lebar. Sujak ngeloyor entah ke mana. Dia melintasi truk demi truk sambil menyapa mereka yang dia kenal. Sebentar dia singgah di warung kopi, hampir lima ratusan meter dari posisi truk yang dikemudikannya. Banyak sekali orang bermain remi di situ demi membunuh waktu, penungguan yang mengesalkan. Dua orang perempuan penjaja jamu masih ikut meramaikan suasana, meski sesekali mereka menguap. Sujak kenal betul, keduanya penjual jamu plus-plus. Kalau di kota-kota besar, biasanya ada panti pijat plus-plus. Tapi di pelabuhan begini, adanya penjaja jamu plus-plus
(Bersambung).
Bagian sebelumnya