Lengang. Los daging yang memanjang dari timur ke barat itu tanpa gairah. Bau anyir darah menyeruak. Lalat berpesta-pora. Di seberang los, beberapa mobil melaju malas, enggan menyalak. Membiarkan suara tukang parkir menguasai pagi. Namun suasana lengang di Pasar Turi tersentak oleh teriakan lelaki gempal hitam yang berlari tidak tentu arah. Terbit keringat sebesar biji jagung di keningnya.
Lelaki itu menabrak apa saja. Seekor tikus sebesar kepalan tangan, lari tunggang-langgang setelah dia tendang tidak sengaja. Dia menabrak siapa saja. Ibu muda sedang hamil besar, terhumbalang barang belanjaannya. Ibu itu mutung, menyumpah serapah. Dia baru bungkam setelah seorang perempuan menegurnya. Tak baik sedang hamil tua marah-marah. Kalau --kalau kelak anaknya menjadi pemarah.
Di lorong buntu, lelaki yang biasa dipanggil Rojaki itu menemui nasib sialnya. Dia bersembunyi di balik tumpukan terpal biru di sebelah kakus yang amat pesing.
Rojaki teringat kejadian di toko Ko Acen kemarin sore. Saat itu suasana cukup genting. Ko Acen tidak senang ditagih upeti melebihi biasanya. Sebuah cermin pun pecah karena dipukul Rojaki sebagai ungkapan kemarahan. Ko Acen terbirit ke belakang meja kasir, lalu menenangkan lelaki di depannya dengan segumpal duit lusuh. Apakah karena itu maka dua orang berseragam loreng mengejar Rojaki?
Sudah sepuluh tahun dia menjadi preman paling ditakuti di seantero Pasar Turi. Lelaki kasar, tukang kompas, sering mabuk dan keluar-masuk penjara. Tapi dia sudah bertekad, setelah mengompas Ko Acen, dia akan meninggalkan dunia preman serta hal buruk yang menyertainya.
Dia akan pulang kampung. Menjadi petani yang akan mengolah sepetak tanah sempit yang sebelumnya dikelola paman As. Dia akan memboyong Titis dan Ato. Mengajaknya mengarung dunia beda. Menghilang dari carut-marut kota menuju---mudah-mudahan tidak---intrik rumah tangga.
"Aku berjanji. Kali ini pasti kutepati," ucapnya kala itu di perempatan jalan, di bawah pokok randu meranggas. Titis menggulung ujung gaun. Mengigit bibirnya yang bergincu tebal. Malam itu dia belum mendapat seorang pun pelanggan, kecuali Rojak yang menyebalkan sekaligus menimbulkan kangen.
"Aku juga berjanji akan berhenti menjaja badan. Kali ini pasti kutepati." Titis membuang pandang, mencoba menyembunyikan bola mata yang penuh harapan.
Apakah Rojaki tega meredupkan harapan itu? Dua lelaki berseragam loreng semakin dekat. Bayang-bayang wajah Titis bersimbah air mata semakin tegas.
***
Di depan cermin oval, perempuan berkulit hitam manis itu mematut gaun. Memutar ke kiri dan ke kanan. Membetulkan gincu yang ketebalan. Menebalkan bedak agar kulit hitam manisnya tersamar. Sementara sebentuk mata mungil, mengintip di balik tirai pintu. Bocah kecil menghapus ingus. Dia tertawa lirih.
"Mak cantik amat!" ucapnya bangga.
"Emak siapa dulu!" sambut perempuan itu sambil tersenyum lebar. Terbayang di matanya, Rojaki perlahan memasukkan selingkar cincin emas belah rotan ke jemarinya. Seorang Titis akhirnya akan melepaskan pekerjaan kotor yang dari dulu ingin dia tinggalkan. Dia tidak mau Ato, bocah kecil itu, merasa malu memiliki emak seperti dia. Emak yang setiap hari memasukkan lelaki beragam ke kamar busuk berlapik tipis. Apa kata orang : emakmu p-e-*-e-k! Bajingan!
"Mak jadi bertemu dengan Bang Rojaki? Asyik, akhirnya Ato punya bapak seperti teman-teman."
Perempuan berkulit hitam manis itu mengecup ubun-ubun Ato. "Doakan Emak ya, Nak!"
Senja itu Titis akan sumringah melebihi biasanya. Kalau sebelumnya ada lelaki yang mendekatinya, lalu berbincang sejenak, lalu masuk rumah, melihat mata kecewa Ato, melunaskan pertarungan di lapik tipis. Tapi senja itu dia akan memperoleh suami yang akan menemaninya mengayuh bahtera rumah tangga. Dia akan mempersembahkan kepada Ato seorang bapak yang tidak akan berganti-ganti. Dia pasti bangga meneriakkan : emakku bukan lagi p-e-*-e-k!
***
Di bawah pohon randu meranggas, Titis menikmati malam yang mulai jatuh. Dia takjub melihat langit, alangkah indahnya. Ke mana saja Titis selama ini sehingga tidak menyadari panorama itu?
Sebentar lagi dia akan memiliki suami. Ya, dia memang sudah sering memilikinya, suami paruh waktu, yang salah seorang kebablasan membubuhkan tanda tangan di rahimnya, lalu lahirlah Ato tanpa seorang bapak. Namun ke manakah lelaki yang dijanjikan itu? Apakah dia tetap pembohong seperti yang sudah? Menelepon pun tidak!
"Hai, cantik amat, Tis!" Seorang lelaki berambut gondrong menyapanya. Titis dapat menebak arti dari kata "cantik amat", pasti dia ada maunya. Pasti lelaki gondrong itu sedang banyak duit.
"Cantik amat? Tapi aku mulai bosan!"
"Bosan kenapa? Di sini mulai banyak nyamuk, lho!"
"Bosan dengan kehidupan begini!"
"Berarti kau tidak mau, ya!" Lelaki gondrong itu memanggil perempuan lain, bergaun merah darah bergincu ungu. Perempuan itu mendekat, menggeliat seperti cacing kepanasan. Tangan si gondrong melingkar di pinggang yang penuh gelambir. Mereka berlalu meninggalkan Titis. Dan Rojaki tetap tidak muncul.
Dia tidak muncul hingga malam gelap. Hingga nyamuk semakin banyak. Trotoar pun sepi. Masing-masing perempuan sudah mendapat pasangan. Seorang pengamen melintas, melagukan kisah patah hati. Ah, Titis juga sedang patah hati.
Dia pulang, terseok menuju lorong. Beberapa lelaki menyapanya genit. Dia memjawab dengan tersenyum masam. Bertambah masam ketika melihat Ato tertidur di depan tivi yang masih menyala. Kasihan anak itu, harapannya ingin memiliki sosok bapak, punah sudah.
Titis menggendongnya menuju kamar tidur sembari bersenandung meski terdengar sumbang. Setelah bersalin pakaian, dia rebahan di samping Ato. Menatap langit-langit kamar tidur. Apakah memang di harus tetap menjadi kupu-kupu malam? Dia memiringkan tubuh ke sebelah kiri. Air matanya menetes. Dia amat suka kupu-kupu, tapi tidak pernah bermimpi menjadi kupu-kupu malam. Dia memiringkan tubuh ke sebelah kanan, melihat senyum Ato mengambang. Mungkin dia bermimpi sedang diangkat tinggi-tinggi oleh seorang bapak gempal hitam.
Titis beranjak duduk, meraup rambut. Mengacak-acaknya. Dia berjalan menuju teras. Duduk di bangku panjang, merebahkan kepala di atas meja. Bayang-bayang wajah Rojaki mengabur, semakin kabur.
"Tidak bisa tidur ya, Mbak Tis." Mijan melongok dari jendela rumahnya. Dia perlahan mendekat. Duduk di sebelah Titis. Mengusap air mata perempuan itu. "Sabar saja, Mbak. Ini hanya cobaan."
"Cobaan apa? Maksudmu?"
"Masalah Bang Rojaki. Apakah Mbak tidak tahu dia ditangkap lagi?"
"Kapan? Dimana? Pasal apa?" Pertanyaannya bagai rentetan peluru.
"Tadi siang, di Pasar Turi. Mengompas Ko Ahen."
***
Hampir empat belas hari. Harapan telah punah. Titis kembali menjadi langganan perempatan di bawah pohon randu meranggas. Di sekitar situ banyak kupu-kupu baru yang baru lepas dari kepompong. Titis tidak lagi tenar. Sedikit yang menawar, meski sudah banting harga. Dia kembali ke rutinitas awal, mempersembahkan bapak paruh waktu untuk Ato.
Pertanyaan-pertanyaan bocah mungil itu bagai memecahkan gendang telinganya. Selalu tidak jauh-jauh dari Rojaki. Rojaki dan Rojaki. Alam pun turut mengejek : mana suami pujaanmu? Nikahnya batal, ya?
Rojaki sudah meneleponnya. Rencana pernikahan mereka ditunda. Dia kembali harus mendekam di penjara karena kompas-mengompas.
"Mana janjimu, Bang? Bukankah kau tidak akan mengompas lagi?"
"Maafkan abang, Dek. Abang mengompas karena ingin melingkarkan cincin emas belah rotan di jari manismu."
Sial!
Di rusuk rumah Titis menggeram mengingat itu. Dia banting sekuatnya celana Ato. Buih sabun berhamburan Dia bagaikan singa betina. Tapi perlahan dia luluh. Pelan-pelan menyikat celana itu. Memasukkannya ke ember cucian, bergabung dengan pakaian lain.
Dia bertopang dagu. Kenapa harus ada cerita cincin emas belah rotan? Kenapa mesti kompas-mengompas? Kalau tidak tidak karena itu, dia sudah memiliki suami penuh waktu. Gendang telinganya pun tidak perlu mendengar pertanyaan dari mulut mungil Ato tentang Rojaki.
Dia seketika menjerit manakala ada sesuatu yang melingkar di pinggangnya. Ular! Ular! Namun dia akhirnya terkejut senang karena melihat lelaki gempal hitam yang telah memeluk pinggangnya. Apakah dia bermimpi? Bagaimana Rojaki bisa bebas?
Lelaki itu pindah ke samping titis, membantu menyikat pakaian yang masih kotor. Buih sabun berhamburan. Sesekali Titis memercikkan buih sabun ke wajah Rojaki. "Kenapa bisa kau bebas, Bang?"
"Kenapa bisa bebas? Kau tidak senang? Ada lelaki lain?" Rojaki memercikkan buih sabun ke wajah Titis.
"Bukan tidak senang, hanya kaget saja, kok kau bisa bebas secepat ini?"
Cerita itu pun meluncur. Beberapa hari setelah Rojaki di kantor polisi, gantian Ko Ahen ditangkap. Bedanya si koko ditangkap untuk diisolasi di rumah sakit. Dia diduga terjangkit Corona. "Tapi Alhamdulilah hasil laboratorium menyatakan bahwa dia negatif Corona. Mungkin karena senang atas kenyataan itu, dia berbaik hati menarik tuntutanya."
Seorang bocah kecil tiba-tiba datang berlari memeluk lengan Rojaki. "Abang Rojaki bisa buatin aku adek, Kan?"
"Nah, itu sudah ada di dalam pikiran abang. Kelak kita akan memberi nama adikmu; Corona. Haha, sebagai wujud rasa syukur saja. Lucu tidak?" Suara jerit riang menggema. Buih sabun beterbangan membentuk lengkung pelangi.
---sekian---
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H