"Bosan dengan kehidupan begini!"
"Berarti kau tidak mau, ya!" Lelaki gondrong itu memanggil perempuan lain, bergaun merah darah bergincu ungu. Perempuan itu mendekat, menggeliat seperti cacing kepanasan. Tangan si gondrong melingkar di pinggang yang penuh gelambir. Mereka berlalu meninggalkan Titis. Dan Rojaki tetap tidak muncul.
Dia tidak muncul hingga malam gelap. Hingga nyamuk semakin banyak. Trotoar pun sepi. Masing-masing perempuan sudah mendapat pasangan. Seorang pengamen melintas, melagukan kisah patah hati. Ah, Titis juga sedang patah hati.
Dia pulang, terseok menuju lorong. Beberapa lelaki menyapanya genit. Dia memjawab dengan tersenyum masam. Bertambah masam ketika melihat Ato tertidur di depan tivi yang masih menyala. Kasihan anak itu, harapannya ingin memiliki sosok bapak, punah sudah.
Titis menggendongnya menuju kamar tidur sembari bersenandung meski terdengar sumbang. Setelah bersalin pakaian, dia rebahan di samping Ato. Menatap langit-langit kamar tidur. Apakah memang di harus tetap menjadi kupu-kupu malam? Dia memiringkan tubuh ke sebelah kiri. Air matanya menetes. Dia amat suka kupu-kupu, tapi tidak pernah bermimpi menjadi kupu-kupu malam. Dia memiringkan tubuh ke sebelah kanan, melihat senyum Ato mengambang. Mungkin dia bermimpi sedang diangkat tinggi-tinggi oleh seorang bapak gempal hitam.
Titis beranjak duduk, meraup rambut. Mengacak-acaknya. Dia berjalan menuju teras. Duduk di bangku panjang, merebahkan kepala di atas meja. Bayang-bayang wajah Rojaki mengabur, semakin kabur.
"Tidak bisa tidur ya, Mbak Tis." Mijan melongok dari jendela rumahnya. Dia perlahan mendekat. Duduk di sebelah Titis. Mengusap air mata perempuan itu. "Sabar saja, Mbak. Ini hanya cobaan."
"Cobaan apa? Maksudmu?"
"Masalah Bang Rojaki. Apakah Mbak tidak tahu dia ditangkap lagi?"
"Kapan? Dimana? Pasal apa?" Pertanyaannya bagai rentetan peluru.
"Tadi siang, di Pasar Turi. Mengompas Ko Ahen."