***
Hampir empat belas hari. Harapan telah punah. Titis kembali menjadi langganan perempatan di bawah pohon randu meranggas. Di sekitar situ banyak kupu-kupu baru yang baru lepas dari kepompong. Titis tidak lagi tenar. Sedikit yang menawar, meski sudah banting harga. Dia kembali ke rutinitas awal, mempersembahkan bapak paruh waktu untuk Ato.
Pertanyaan-pertanyaan bocah mungil itu bagai memecahkan gendang telinganya. Selalu tidak jauh-jauh dari Rojaki. Rojaki dan Rojaki. Alam pun turut mengejek : mana suami pujaanmu? Nikahnya batal, ya?
Rojaki sudah meneleponnya. Rencana pernikahan mereka ditunda. Dia kembali harus mendekam di penjara karena kompas-mengompas.
"Mana janjimu, Bang? Bukankah kau tidak akan mengompas lagi?"
"Maafkan abang, Dek. Abang mengompas karena ingin melingkarkan cincin emas belah rotan di jari manismu."
Sial!
Di rusuk rumah Titis menggeram mengingat itu. Dia banting sekuatnya celana Ato. Buih sabun berhamburan Dia bagaikan singa betina. Tapi perlahan dia luluh. Pelan-pelan menyikat celana itu. Memasukkannya ke ember cucian, bergabung dengan pakaian lain.
Dia bertopang dagu. Kenapa harus ada cerita cincin emas belah rotan? Kenapa mesti kompas-mengompas? Kalau tidak tidak karena itu, dia sudah memiliki suami penuh waktu. Gendang telinganya pun tidak perlu mendengar pertanyaan dari mulut mungil Ato tentang Rojaki.
Dia seketika menjerit manakala ada sesuatu yang melingkar di pinggangnya. Ular! Ular! Namun dia akhirnya terkejut senang karena melihat lelaki gempal hitam yang telah memeluk pinggangnya. Apakah dia bermimpi? Bagaimana Rojaki bisa bebas?
Lelaki itu pindah ke samping titis, membantu menyikat pakaian yang masih kotor. Buih sabun berhamburan. Sesekali Titis memercikkan buih sabun ke wajah Rojaki. "Kenapa bisa kau bebas, Bang?"