Suketi bak mendengar petir di siang bolong. Dosa besar apa yang telah dia lakukan sehingga mendapat karma sedemikian menyakitkan?
Bibah meringis saat tangannya dipegang Suketi seakan dipelintir di kamar belakang rumah. Hujan turun sangat deras seakan mengamuk.
"Siapa pelakunya, Bibah? Katakan!"
"Aduh, sakit, Wak Haji. Lepaskan tangan saya."
Pegangan dilepas. Suketi laksana harimau mengamuk, terus-terusan menanyakan siapa pelakunya, sehingga mulut mungil itu gemetar berucap; Imran.
Suketi bingung. Seluruh tubuhnya seakan gempa. Bagaimana dia ingin menyelamatkan marwah keluarganya? Bagaimana dia menjawab Nyai Bedah? Apakah dia bisa mengelak bukan pelakunya, melainkan si bontot Imran.Â
Nama baik anaknya akan hancur berkeping-keping, padahal dia masih muda. Jalan hidupnya sangat panjang. Maka apa saja bisa dilakukan orang panik. Imran harus diselamatkan! Suketi nekad mengakui Bibah telah hamil, dan pelakunya adalah dia, uwaknya sendiri.
Nyai Bedah mengamuk, mengeluarkan kata "pisah", seiring mengungsi ke kamar belakang, meninggalkan lakinya di kamar depan. Dia masih tak percaya apa yang terjadi pada keluarganya.
Suketi yakin apa yang dia lakukan adalah hal paling benar, demi menjaga nama baik Imran, dia rela menggadaikan gelar haji yang dia sandang.
Kejadian selanjutnya bila harus berpisah dengan Nyai Bedah, sama sekali tidak dia perhitungkan, apalagi akan ada tatapan menghukum dari seluruh warga Bawah Dapur, membuatnya kalut. Tidur menjadi tak nyenyak. Resah sepanjang malam.
Saat itulah dia merasa dunia berputar. Pusing sekali! Kepalanya seolah dipukul godam ratusan kilogram.