"Tamat apa dia?" tanya Nyai Bedah antusias. Dia membayangkan rumah akan ramai dengan hadirnya Bibah, setelah berbilang tahun terasa sepi, hanya berdua Suketi di situ. Walaupun sekali waktu bertiga Imran ketika si anak libur kuliah di fakultas hukum, berjarak ratusan kilometer dari kampung.
"Esempe, Kak."
"Kakak senang mendengarnya. Apalagi Bibah tamat esempe. Kita berniat menyekolahkannya hingga esema. Benar kan, Abah?" Dia menatap sumringah Suketi yang hanya bisa tertunduk lesu, serta laksana kerbau dicocok hidung, risau membayangkan Bibah menjadi muasal masalah.
Perempuan itu memang berdandan seperti halnya gadis dusun, namun Suketi yakin Bibah adalah serumpun mawar indah harum mewangi yang tumbuh liar di sekitar sampah. Kelak bila dipindahkan ke dalam pot mahal, kembang tentu menjadi incaran kumbang. Salah-salah bila Suketi teledor menjaganya, sudah pasti duri akan melukai. Alamat membuat malu!
Suketi tak sanggup membayangkan ada seorang perempuan muda hamil tanpa suami di rumahnya. Itu tak boleh terjadi!
"Bagaimana, Abah?" Nyai Bedah menendang betis lakinya sehingga si laki tergeragap malu, tak sanggup melawan tatapan yang memaksa itu.
"Ah, sampai segitunya, Kak." Emak Bibah misuh-misuh. Pura-pura malu, tapi mau.
Saat Suketi mengangguk ragu, Nyai Bedah menjerit senang saking bahagia. Lakinya sadar petaka itu dimulai.
***
Di mana ada kembang di situ pasti ada kumbang. Tak lebih lima hari Bibah menjadi warga Bawah Dapur, kumbang mulai datang satu per satu ingin mengisap madu. Berawal sekadar jongkok-jongkok mengobrol, mereka mulai bermain gitar dan remi di bawah pohon mangga, berjarak sekitar tiga meter dari samping kiri rumah Suketi.
Perlahan pula pedagang berpikir tentang keping keberuntungan, melihat rejeki nomplok, mendirikan warung, satu demi satu, seakan kecambah tumbuh di musim penghujan.