Arman merasa bahwa perubahan itu harus dimulai dari dalam diri mereka sendiri. Ia bertekad untuk mengubah cara pikir mereka, untuk mengajak warga desa melihat potensi mereka dengan mata yang baru, untuk meraih manfaat yang lebih besar dan lebih luas. Tidak hanya untuk mereka, tetapi untuk generasi yang akan datang.
Hidup di desa ternyata tidak selalu seindah yang dibayangkan. Meski ada kemajuan, Arman mulai merasakan ketegangan yang semakin tajam antara warga yang menerima perubahan dan yang menolaknya. Tensi sosial ini semakin memuncak ketika sebuah bencana kecil mengguncang desa.
Saat musim hujan datang, banjir menggenangi beberapa area persawahan yang baru saja dibangun dengan sistem irigasi modern. Salah satu anggota kelompok tani, Budi, yang sebelumnya sempat berselisih tentang pembagian hasil, langsung melontarkan keluhannya.
"Lihat! Ini semua ide kalian! Kami membeli alat pertanian baru, tapi lihat hasilnya sekarang---semuanya hancur!" teriak Budi dengan penuh kemarahan.
Hujan deras malam itu mengubah segalanya. Hasil pertanian yang baru mulai tumbuh dengan baik, kini terancam musnah. Budi dan beberapa anggota lainnya mulai meragukan keputusan yang telah mereka buat. Kepercayaan yang telah dibangun diantara mereka pun mulai retak.
Arman merasa seperti sedang berada di titik nadir. Ia tahu bahwa bencana alam ini bukanlah salah siapa-siapa. Tidak ada yang bisa memprediksi cuaca ekstrem seperti itu. Namun, bagi sebagian orang, ini adalah bukti bahwa mereka tidak perlu berubah---bahwa cara lama mereka adalah yang terbaik. "Tak ada yang lebih aman selain cara yang sudah dikenal," kata Pak Iwan, "Coba lihat, yang lama tetap bertahan, yang baru malah membuat kita semakin kesulitan."
Arman tahu bahwa ia harus segera bertindak. Ia mengumpulkan seluruh anggota kelompok tani, termasuk Pak Iwan dan Budi, untuk duduk bersama. Ia menjelaskan bahwa bencana ini hanyalah ujian. Mereka tidak bisa menyerah hanya karena halangan pertama. Yang terpenting adalah belajar dari kegagalan dan mencari solusi.
"Kita tidak bisa menghindari risiko, tapi kita bisa mengurangi dampaknya," kata Arman dengan penuh keyakinan. "Kita harus lebih siap menghadapi bencana seperti ini di masa depan. Mari kita belajar dari kejadian ini dan buat rencana cadangan agar tidak terulang lagi."
Pak Hasan yang sejak awal mendukung Arman ikut turun tangan. "Arman benar, Budi. Kita harus bersama-sama menghadapi masalah ini. Jangan biarkan kejadian ini memecah belah kita. Kita harus bangkit dan bekerja lebih keras."
Setelah pertemuan itu, mereka mulai melakukan evaluasi. Mereka memeriksa kerusakan yang ditimbulkan oleh banjir, dan bersama-sama mencari cara untuk mengatasinya, seperti memperbaiki saluran drainase dan mencari solusi jangka panjang untuk mencegah kerusakan di masa depan. Arman juga mengajak mereka untuk menanam pohon-pohon penahan erosi di sekitar area persawahan untuk mencegah banjir besar berikutnya.
Namun, lebih dari sekadar memperbaiki saluran irigasi atau tanaman yang rusak, Arman merasa bahwa krisis ini adalah kesempatan untuk meneguhkan kembali komitmen mereka terhadap perubahan. Ia bertekad untuk memperlihatkan bahwa manfaat sejati bukan hanya tentang alat atau teknik baru, tetapi tentang bagaimana mereka menghadapi tantangan bersama.