[caption caption="Presiden Joko Widodo menerima kedatangan Managing Director International Monetary Fund (IMF) Christine Legarde di Istana Merdeka, Selasa (1/9/2015). Foto: KOMPAS.com"][/caption]
Apakah paket kebijakan ekonomi Jokowi "khas" saran IMF? pertanyaan tersebut sedang ramai dibicarakan di media sosial. jawabannya bisa ya dan tidak. Kebijakan ekonomi Jokowi sebenarnya bukan murni "racikan" IMF, tapi lebih kental "racikan" dari Lembaga donor lainnya yaitu Bank Dunia, walaupun belum tentu lembaga ini yang memberikan saran. Namun bertahun-tahun melakukan pendampingan terhadap ekonomi Indonesia, Bank Dunia telah "mencetak" birokrat, teknokrat dan akademisi dibidang ekonomi sesuai dengan "Mazhab" Bank Dunia.
Kuncinya bisa dilihat dari kebijakan "memompakan triliunan rupiah" ke masyarakat untuk menggerakan sektor rill, salahsatunya melalui Dana Desa sebesar 20 T. Tujuannya untuk menambah likuiditas rupiah di tengah masyarakat, agar pendapatan dan daya belinya terjaga.
Dari tahun 1999 pola ini sudah diterapkan melalui program-program yang didanai Bank Dunia seperti Program Pengembangan Kecamatan (PPK), Program Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan (P2KP), PNPM Mandiri, Program Keluarga Harapan (PKH), BLT/BLSM/CCT, Raskin, BOS dll. Semua Programnya sama yaitu dengan memberikan Bantuan Langsung Masyarakat (BLM) untuk pembangunan infrastruktur, bantuan ekonomi, pendidikan, kesehatan dll.
Terkait dana desa sebesar Rp 20 T, jika terserap 100 persen, dari pengalaman saya di lapangan sebagai pendamping PNPM Mandiri, hanya 10-20 persen dari dana BLM mengalir langsung ke masyarakat dalam bentuk program padat karya atau membuka lapangan pekerjaan. Sisa dananya akan mengalir ke Industri manufaktur, retail, transportasi, dll. Seperti contoh pabrik semen akan terjaga kapasitas produksinya, karena "demand" semen akan meningkat ketika kegiatan Infrastruktur di desa-desa mulai berjalan. Efek domino pengucuran dana desa inilah yang diharapkan. Kegiatan ekonomi tetap bergairah.
Selanjutnya saran khas Bank Dunia lainnya adalah stabilisasi fiskal dan moneter, termasuk di dalamnya pengendalian inflasi. Bank Dunia pernah mengeluarkan rilis "Penghambat Pertumbuhan Ekonomi Negara Berkembang Adalah Inflasi". Menurut Bank Dunia salahsaru faktor sulitnya menanggulangi kemiskinan di negara berkembang adalah tidak stabilnya inflasi. Rekomendasi Bank Dunia terhadap negara berkembang ditindak lanjuti Indonesia dengan membentuk lembaga TPID atau Tim Pengendali Inflasi Daerah yang sempat ramai dalam debat presiden tahun 2014.
Selain itu, langkah-langkah untuk melindungi dunia usaha khususnya usha menengah kecil dan mikro (UMKM) dengan penyaluran kredit dengan suku bunga rendah, di jaman SBY dikenal dengan Kredit Usaha Rakyat (KUR).
Itu semua bukan kebijakan ekonomi yang baru, hanya saja penghapusan subsidi BBM dan bail out Bank yang bermasalah, Jokowi tidak mau beresiko, mungkin trauma dengan kasus Bank Century.
KOMPAS.com, Selasa (1/9/2015), menyoroti pernyataan Presiden Jokowi dalam Konferensi Asia Afrika hampir enam bulan silam, Presiden Jokowi sempat melontarkan kritik keras kepada tiga lembaga keuangan internasional, yaitu Dana Moneter Internasional (IMF), Bank Dunia (World Bank), dan Bank Pembangunan Asia (ADB).
Presiden Jokowi menyatakan bahwa keberadaan lembaga keuangan dunia tersebut dianggap tidak membawa solusi bagi persoalan ekonomi global.
"Pandangan yang mengatakan bahwa persoalan ekonomi dunia hanya dapat diselesaikan oleh World Bank, IMF, dan ADB adalah pandangan yang usang dan perlu dibuang," ujar Jokowi dalam pidatonya.
Namun, kenyataannya Pemerintahan Jokowi tetap mengadopsi resep dari Bank Dunia dalam mengeluarkan Paket Kebijakan Ekonominya. Presiden boleh berganti, tapi resep lama paket kebijakan ekonominya masih sama, iya jelaslah...Menko Ekonominya pernah menjabat di era SBY.
Muhammad Ridwan Citizen Reporter di www.mediawarga.info dan Pendamping Masyarakat di PNPM Mandiri Perkotaan 2003-2015
Baca juga:
Kontrak Karya Freeport Tidak Diperpanjang, NKRI Terancam Bubar?
Hari Santri Nasional Akan Mendistorsi Makna Santri
Tentara, Politik dan Isu Kudeta
Pilkada: Proses Demokrasi yang Melahirkan Oligarki
Analisis Marxis Tentang Islam Politik
Radikalisme Islam bukan Produk Impor, tapi "Home Ground"
Detik-detik Menentukan Perubahan Piagam Jakarta
Kelompok Syiah Rencanakan "Revolusi" Tahun 2018?
Jokowi SalahSatu Pemimpin Muslim Terkuat, tapi "Lembek" Soal Konflik di Suriah
Konflik Yaman, Perang Terselubung Arab Saudi-Iran
HTI Tidak Mengakui ISIS Sebagai Negara Islam
Perceraian Kang Jalal, Allah Pecah-Belah Rencana Makar Syiah di Indonesia
Lembaran Putih Petisi 50, Mengingat Kembali Tragedi Tanjung Priok 1984
Dari Tun Abdul Razak ke Najib Razak, Lompatan Besar Mahathir dan Relasi Sosial di Malaysia
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H