Mohon tunggu...
Rido Nababan
Rido Nababan Mohon Tunggu... Mahasiswa - Creative Copywriter | Content Writer | Teacher

Hanya menuliskan pikiran dan perasaan melalui tulisan.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Nostalgia Nasi Padang dan Sepiring Rendang

3 Juli 2024   22:14 Diperbarui: 3 Juli 2024   22:24 121
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Nostalgia Nasi Padang dan Sepiring Rendang. (Sumber: freepik.com)

Langit sore itu berwarna jingga, semburat senja yang menyapa kota dengan hangatnya. Aku duduk di kursi kayu reyot di sebuah rumah makan Padang sederhana, ditemani aroma nasi Padang yang menggoda selera. Pandanganku terpaku pada jalanan di depan, di mana para pejalan kaki berlalu lalang dengan kesibukan masing-masing.

Tiba-tiba, sebuah wajah yang tak asing lagi muncul di antara kerumunan. Senyumnya yang khas, tawanya yang selalu berhasil membuatku gemas, dan tatapan matanya yang penuh dengan cinta. Dia, mantanku.

Jantungku berdebar kencang. Rasanya seperti baru kemarin kami masih bersama, menghabiskan waktu di rumah makan ini sambil bercanda dan tertawa lepas. Tapi, semua itu sudah menjadi kenangan. Kami telah berpisah beberapa bulan lalu, karena alasan yang mungkin tak perlu diungkit lagi.

Aku menarik napas dalam-dalam, berusaha untuk menenangkan diri. Aku tak ingin dia melihatku gugup atau sedih. Aku ingin dia melihatku baik-baik saja, meskipun sebenarnya hatiku masih perih setiap kali mengingatnya.

Dia berjalan ke arahku, dengan senyum yang sama seperti dulu. "Hai," sapanya, suaranya masih selembut yang aku ingat.

"Hai," jawabku, berusaha untuk tersenyum.

"Duduk sini boleh?" tanyanya, sambil menunjuk kursi kosong di depanku. Aku mengangguk, dan dia pun duduk.

"Lama nggak ke sini ya?" ujarnya, membuka percakapan.

"Iya, sibuk," jawabku singkat.

Suasana hening sejenak. Kami berdua hanya terdiam, menikmati aroma nasi Padang yang menggoda dan pemandangan senja yang indah.

"Gimana kabarnya?" tanyanya kemudian.

"Baik-baik aja," jawabku.

"Baguslah," ujarnya, sambil tersenyum.

Dia menceritakan tentang kesibukannya selama ini, tentang pekerjaannya yang baru, dan tentang teman-teman barunya. Aku mendengarkan dengan seksama, meskipun dalam hatiku aku masih diliputi rasa penasaran.

"Kamu sendiri gimana?" tanyaku kemudian.

"Aku juga baik-baik aja," jawabnya.

Dia terdiam sejenak, lalu menatapku dengan tatapan yang sulit diartikan. "Aku kangen kamu," ujarnya pelan.

Hatiku serasa tertusuk. Aku tahu dia masih mencintaiku, dan aku pun masih mencintainya. Tapi, kami telah berpisah, dan aku tak ingin kembali ke masa lalu yang penuh dengan luka.

"Aku juga," jawabku, suaraku hampir tak terdengar.

"Maaf," ujarnya, "Aku hanya ingin kamu tahu."

Aku menggelengkan kepalaku. "Gak apa-apa," kataku.

Kami kembali terdiam, tenggelam dalam pikiran masing-masing. Senja semakin menipis, digantikan oleh lampu-lampu jalan yang mulai menyala.

"Pesan apa?" tanyanya, mengubah topik pembicaraan.

"Rendang, sama ayam pop," jawabku.

"Wah, sama nih!" ujarnya, sambil tersenyum.

Tak lama kemudian, pesanan kami pun datang. Kami makan bersama dengan lahap, seperti dulu saat kami masih pacaran. Sesekali kami bertukar cerita tentang makanan yang kami sukai, tentang tempat makan favorit kami, dan tentang kenangan-kenangan indah yang pernah kami lalui bersama.

Makan malam itu terasa begitu istimewa. Meskipun kami telah berpisah, kami masih bisa menikmati momen kebersamaan yang hangat dan penuh tawa.

"Terima kasih sudah menemaniku makan malam," kataku, setelah menghabiskan makananku.

"Sama-sama," jawabnya, sambil tersenyum.

"Aku harus pergi," ujarnya akhirnya.

Aku mengangguk. "Hati-hati di jalan," kataku.

Dia tersenyum dan mengulurkan tangannya. Aku menyambutnya, dan kami pun saling menggenggam tangan sejenak. Rasanya seperti deja vu, seperti kembali ke masa-masa indah saat kami masih bersama.

Dia melepaskan genggaman tanganku dan berdiri. "Sampai jumpa," ujarnya.

"Sampai jumpa," jawabku.

Dia berjalan pergi, dan aku pun kembali sendirian. Aku menatap piring kosong di depanku, yang kini telah terisi kembali dengan kenangan-kenangan indah dan pahit yang pernah kami lalui bersama.

Aku masih mencintainya, tapi aku tahu bahwa kami tak bisa kembali ke masa lalu.

Aku pun bangkit dari kursiku dan meninggalkan rumah makan itu. Langit malam telah gelap, dan bintang-bintang mulai bermunculan. Aku melangkah

maju, siap untuk menjalani hidupku yang baru, tanpa dia di sisiku.

Kenangan tentangnya mungkin akan selalu ada di hatiku, tapi aku tahu bahwa aku harus terus melangkah dan mencari kebahagiaan yang baru.

Mungkin suatu hari nanti, aku akan bertemu dengannya lagi. Mungkin di tempat yang berbeda, dengan waktu yang berbeda, dan dengan cerita yang berbeda.

Tapi untuk saat ini, aku ingin fokus pada masa depanku. Aku ingin mengejar mimpi-mimpiku dan membangun hidupku sendiri.

Aku tahu bahwa aku tak bisa terus terjebak dalam masa lalu. Aku harus melepaskan diri dan belajar untuk mencintai diriku sendiri terlebih dahulu.

Aku yakin bahwa aku akan menemukan kebahagiaan yang aku cari. Aku yakin bahwa aku akan menemukan cinta yang sejati.

Dan aku yakin bahwa aku akan baik-baik saja, tanpa dia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun