Langit sore itu berwarna jingga, semburat senja yang menyapa kota dengan hangatnya. Aku duduk di kursi kayu reyot di sebuah rumah makan Padang sederhana, ditemani aroma nasi Padang yang menggoda selera. Pandanganku terpaku pada jalanan di depan, di mana para pejalan kaki berlalu lalang dengan kesibukan masing-masing.
Tiba-tiba, sebuah wajah yang tak asing lagi muncul di antara kerumunan. Senyumnya yang khas, tawanya yang selalu berhasil membuatku gemas, dan tatapan matanya yang penuh dengan cinta. Dia, mantanku.
Jantungku berdebar kencang. Rasanya seperti baru kemarin kami masih bersama, menghabiskan waktu di rumah makan ini sambil bercanda dan tertawa lepas. Tapi, semua itu sudah menjadi kenangan. Kami telah berpisah beberapa bulan lalu, karena alasan yang mungkin tak perlu diungkit lagi.
Aku menarik napas dalam-dalam, berusaha untuk menenangkan diri. Aku tak ingin dia melihatku gugup atau sedih. Aku ingin dia melihatku baik-baik saja, meskipun sebenarnya hatiku masih perih setiap kali mengingatnya.
Dia berjalan ke arahku, dengan senyum yang sama seperti dulu. "Hai," sapanya, suaranya masih selembut yang aku ingat.
"Hai," jawabku, berusaha untuk tersenyum.
"Duduk sini boleh?" tanyanya, sambil menunjuk kursi kosong di depanku. Aku mengangguk, dan dia pun duduk.
"Lama nggak ke sini ya?" ujarnya, membuka percakapan.
"Iya, sibuk," jawabku singkat.
Suasana hening sejenak. Kami berdua hanya terdiam, menikmati aroma nasi Padang yang menggoda dan pemandangan senja yang indah.
"Gimana kabarnya?" tanyanya kemudian.