Why
Menurut teori Klitgaard, mengapa teori ini memiliki hubungan dengan tindak korupsi. Karena monopoli kepemimpinan atas kekuasaan (monopoly power) bersama dengan jumlah kekuasaan yang dimiliki (discreation of official) dan tanpa pengawasan yang memadai (kurang akuntabilitas) adalah kekuatan pendorong di balik korupsi. Perubahan sistem pemerintahan dari sentralistik menjadi otonomi daerah menyebabkan praktik korupsi yang sebelumnya hanya dilakukan oleh pemerintah pusat (kekuasaan sekarang menjadi milik pemerintah pusat) menyebar ke daerah (karena otonomi daerah menurun). kekuasaan kepada pemimpin daerah). Hal ini sesuai dengan teori Klitgaard bahwa korupsi mengikuti kekuasaan.
Korupsi yang terjadi di hampir semua negara, tidak hanya di negara berkembang tetapi juga di negara-negara yang dianggap maju, merupakan masalah utama yang sangat merugikan yang berdampak besar pada pembangunan ekonomi dan stabilisasi politik. Korupsi adalah bisnis yang sulit dan sensitif karena mempengaruhi kepemimpinan, sistem dan budaya organisasi sebagai dinamika dan dorongan untuk melakukan tindak korupsi.
Dalam teori Klitgaard, korupsi dilihat sebagai hasil interaksi tiga faktor utama: kekuatan monopoli, diskresi, dan akuntabilitas. Berikut penjelasan bagaimana faktor-faktor tersebut berkontribusi terhadap korupsi dalam konteks teori Klitgaard:
1. Diskresi (Discreation) : Faktor diskresi mengacu pada tingkat kebebasan atau otonomi yang dinikmati individu atau karyawan dalam membuat keputusan atau menjalankan tugasnya. Diskresi yang tinggi meningkatkan risiko korupsi karena individu dapat menggunakan kebebasan ini untuk menyalahgunakan kekuasaan mereka atau memanipulasi proses demi kepentingan mereka sendiri.
2. Kekuatan Monopoli (Monopoli) Konsep kekuatan monopoli mengacu pada pemusatan kekuatan atau kontrol yang dimiliki oleh individu atau kelompok tertentu dalam suatu sistem. Semakin besar monopoli, semakin besar peluang penyalahgunaan kekuasaan dan korupsi. Ketika kekuasaan terkonsentrasi pada segelintir orang atau kelompok, mereka dapat menggunakannya untuk keuntungan pribadi dan melakukan korupsi.
3. Akuntabilitas/Transparansi (Accountability): Faktor akuntabilitas mencakup mekanisme dan proses dalam sistem untuk memastikan bahwa individu atau karyawan bertanggung jawab atas tindakan dan keputusan mereka sendiri. Akuntabilitas yang kuat adalah penghalang korupsi, karena menyatakan bahwa pelaku akan dimintai pertanggungjawaban atas tindakannya. Ketika sistem akuntabilitas lemah, risiko korupsi lebih tinggi karena tidak ada konsekuensi yang memadai bagi pelaku tindak korupsi.
- Penerapan teori Robert Klitgaard:
Teori Robert Klitgaard yang dikenal dengan "Formula Klitgaard" merupakan kerangka yang digunakan untuk menganalisis tingkat korupsi dalam suatu sistem atau negara. Teori ini dapat diterapkan dalam berbagai konteks, termasuk sektor publik, swasta dan sosial. Berikut adalah beberapa aplikasi dari teori Robert Klitgaard:
1. Analisis Tingkat Korupsi: Teori Klitgaard dapat digunakan untuk menganalisis tingkat korupsi dalam suatu sistem atau organisasi. Dengan menggunakan tiga elemen utama teori ini, yaitu oportunisme, ketergantungan dan kontrol, peneliti atau praktisi dapat memahami faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat korupsi dan mengidentifikasi area yang rentan terhadap korupsi.
2. Merancang sistem antikorupsi: Teori Klitgaard dapat digunakan sebagai pedoman untuk merancang sistem antikorupsi yang efektif. Dengan memahami faktor-faktor yang menyebabkan korupsi, organisasi atau pemerintah dapat mengidentifikasi kelemahan yang ada dalam sistem mereka dan mengembangkan tindakan pencegahan dan pencegahan yang tepat. Hal ini termasuk membangun mekanisme pengawasan yang kuat, meningkatkan transparansi dan akuntabilitas, dan meminimalkan peluang korupsi.
3. Evaluasi kebijakan dan program: Teori Klitgaard dapat digunakan dalam mengevaluasi kebijakan dan program yang ada bahkan yang sudah berjalan. Dengan menganalisis tingkat korupsi yang mungkin terjadi dalam pelaksanaan kebijakan atau program tertentu, organisasi atau pemerintah dapat mengidentifikasi potensi risiko korupsi dan mengambil langkah-langkah untuk memitigasi risiko tersebut. Hal ini membantu meningkatkan efektivitas dan efisiensi kebijakan dan program yang diterapkan.