Sekitar dua bulan sebelum Pandemi Virus Corona, saya mencoba mengadu nasib ke dua perusahaan asing yang ada di Malang. Masing-masing produk farmasi milik Jepang dan kosmetika milik Jerman. Dua perusahaan ini sepengetahuan saya sudah beroperasi selama 40 tahun bahkan lebih di Indonesia.
Saya bermaksud melamar kerja sebagai perawat di klinik perusahaan mereka. Saya tahu bahwa klinik perusahaan beda dengan klinik biasa. Job description yang dikerjakan oleh perawat maupun petugas medis yang ada di perusahaan itu beda dengan tugas perawat yang ada di rumah sakit maupun klinik umum biasa. Ada hal-hal khusus yang tidak dikerjakan oleh perawat RS atau klinik. Area kompetensi mereka tidak sama.
Saya pernah mengikuti pelatihan terkait Occupational Health Nursing atau pelatihan keperawatan perusahaan. Ada empat pilar yang hanya diketahui oleh perawat khusus yang kerja di perusahaan.
Empat pilar ini tidak dipelajari oleh perawat umum, yakni: Fitness to work, health promotion, health surveillance dan Management of Ill Health (Case Management). Karena itu perawat perusahaan merupakan perawat dengan keterampilan khusus. Atas dasar kompetensi yang saya miliki tersebut saya mengajukan permohonan untuk bekerja di sana.
Tapi apa yang saya dapat?
Kata Satpam di kedua perusahaan itu, sudah lama perusahaan tersebut tidak mengoperasikan kliniknya. Mereka sekarang punya MOU (Memorandum of Understanding-perjanjian kerjasama) dengan rumah sakit setempat.
Kalau ada karyawan yang sakit, akan dirujuk ke RS tersebut atau memanggil perawat RS tersebut secara regular datang ke klinik perusahaan. Saya dengar dari karyawan senior yang ada di sana, bahwa dulu, mereka punya perawat sendiri. Sekarang, management nya berubah.
Dalam hati saya mikir,: "Sekarang banyak perusahaan makin pintar dalam menghemat pengeluaran." Mereka 'tidak' lagi mematuhi aturan atau aturannya sudah longgar? Kalau bisa diatur, mengapa harus 'jujur'? Demikian pandangan 'negatif' saya muncul begitu saja saat itu.
Ini adalah contoh (Baca: yang tidak benar), bahwa aturan yang ada di Indonesia terkait perlindungan dan keselamatan karyawan itu perlu dievaluasi. Bukan hanya itu. Persoalan transfer of technology, serta peluang kerja bagi tenaga kerja baru juga perlu dikaji.
Berikut ini saya mencoba mengkaji tiga hal tersebut.
Transfer of technology
Menurut Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) jumlah PMA di Indonesia sebanyak 26.000 (investor.id, 20 Januari 2020). PMA merupakan bentuk investasi dengan jalan membangun, membeli total atau mengakuisi perusahaan. PMA di Indonesia diatur dalam Udang-Undang nomer 25 tahun 2007, tentang Penanaman Modal.
PMA adalah kegiatan menanam modal untuk melakukan usaha di wilayah RI yang dilakukan oleh penanam modal asing, baik dengan menggunakan modal asing sepenuhnya maupun yang berpatungan dengan penanam modal dalam negeri (Pasal 1 UU No.25 Th 2007).
Kelebihan PMA ini di antaranya sifatnya jangka panjang, memberikan andil dalam transfer of technology, alih keterampilan manajemen dan membuka lapangan kerja baru (Wikipedia Indonesia, 2020). Lapangan kerja ini sangat penting bagi negara seperti Indonesia, yang disebut sebagai negara berkembang, mengingat keterbatasan kita dalam penyediaan lapangan kerja.
Yang menjadi masalah adalah, persoalan transfer of knowledge and technology. Contoh yang sangat sederhana, plastic pembungkus botol infus, alat suntik dan alat infus yang diproduksi oleh PT Otsuka. Masak Indonesia tidak mampu membuatnya?
Belum lagi cairan infus, Pocari Sweat (minuman kemasan) produk mereka. Selama 40 tahun, sebenarnya apa yang kita pelajari dari PMA Jepang ini, ibaratnya bikin botol saja kita tidak bisa? Lantar transfer of technology mana yang kita pelajari dari mereka?
Padahal, jumlah RS di Indonesia mengalami pertumbuhan terus, tahun 2018 terdapat 2.269 unit (Databoks, 2020). Jumlah Puskesmas ada 9.993 unit pada tahun 2018 (Databoks, 2020). Jumlah fasilitas pelayanan kesehatan awal tahun 2019 mencapai 28.000 unit. Berapa jumlah pasien yang butuh infus, injeksi dan sejenisnya dari bisnis ini?
Seharusnya Pemerintah tegas. Dalam hal ini, pada MOU nya (Memorandum of Undertstanding) dicantumkan secara spesifik terkait transfer of tehncology. Apa, kapan, di mana, siapa, berapa dan bagaimana mekanisme transfer of knowledge and technology itu.
Jangan PMA bisanya hanya menggaji dan mempekerjakan orang kita, di tanah di kita, bahan dari kita, menjual produknya di kita, tetapi orang Indonesia tidak belajar apa-apa kecuali dibayar sebagai pekerja. Dari pihak kita harus proaktif, bukan pasif. Kita jangan cepat puas karena sudah dapat uang. Â
Saya jadi heran dengan pengambil kebijakan di negeri ini dalam bernegosiasi dengan PMA. Kalau mereka tidak bersedia, mestinya tidak masalah. Pasti ada negara lain yang bersedia. Namanya juga bisnis, antar negara. Rakyat harus mendapatkan prioritas sebagaimana tercantum dalam Pembukaan UUD 1945 Alinea ke-4.
Kita memang sudah tidak dijajah oleh Jepang, namun bentuk PMA seperti ini tidak ubahnya merupakan 'penjajahan gaya baru'. Bukan hanya perusahaan Jepang. Juga pakan ternak dari Korea, Amerika, kosmetika dari Jerman dan lain-lain.
Peluang Kerja
Saat ini PMA sudah banyak yang pintar untuk 'mengakali' orang kita. Dengan cara outsourcing tenaga kesehatan (perawat dan dokter) sebagai contoh. Kebijakan seperti ini tentu menguntungkan mereka. PMA tidak perlu repot-repot seleksi karyawan baru, bayar gaji dan tunjangan tiap bulan, urus asuransi mereka, serta cuti dan tetek bengek lainnya.
Dengan model outsourcing ini, manajemen PMA diuntungkan. Padahal sebagaimana yang disebut di atas, kompetensi perawat atau dokter perusahaan beda jauh dengan kompetensi perawat umum atau dokter umum.
Mempekerjakan perawat/dokter umum di perusahaan tanpa kompetensi yang sesuai adalah bentuk tidak diberlakukannya pemeliharaan kesehatan kerja yang maksimal. Sekalipun di atas kertas bisa dipertanggungjawabkan, namun pada kenyataannya sangat beda.
Kalaupun ada PMA-PMA yang patuh, umumnya yang terkait industry pertambangan, eksplorasi minyak da sumber alam lain. Itupun, banyak yang system outsource. Perawat dan dokter milik kontraktor. Bukan pegawai tetap.
Dalam jangka panjang, bukan hanya karyawan yang dirugikan. Namun juga berakibat pada kesejahteraan rakyat dan bangsa Indonesia. Sudah berapa lama hal ini berlangsung namun Pemerintah kita terkesan 'diam'?
Perlindungan Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3)
Saya melihat dengan mata kepala sendiri. Urusan K3 banyak didengang-dengungkan bahkan tertulis besar di pintu gerbang mereka. "Utamakan Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3)" boleh dikata di semua perusahaan. Namun coba tanyakan kepada karyawan mereka jika punya perawat atau dokter tetap yang bekerja di sana. I don't think they have.
Berapa jumlah perusahaan PMA yang punya perawat tetap? Yang terbanyak adalah pegawai sewaan alias tidak tetap yang harganya murah. Itu artinya, mereka memang tidak mau repot. Pemerintah kita juga kecolongan terkait perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja.
Outsoursing ini merupakan penyebab tidak stabilnya posisi professional kesehatan di Indonesia yang berpengaruh terhadap kesejahteraan dan kepuasan kerja mereka.
Setuju atau tidak, ketidak puasan kerja ini berpengaruh terhadap kualitas kerja. Kualitas kerja yang rendah akan berakibat pada rendahnya kualitas pelayanan kesehatan terhadap karyawan.
Apalagi system outsource ini biasanya tiap tahun gonta ganti kontrak. Padahal, MOU antara PMA dengan Indonesia bisa berlangsung selama puluhan tahun. Jika ini yang terjadi, di mana sebenarnya letak perlindungan K3?
K3 dijadikan hanya sebagai sampul. Esensinya tidak mengena. Bukan hanya PMA saja, di dalam negeri banyak perusahaan lokal yang melanggar aturan. Kantor Dinkes tidak mampu berbuat apa-apa. Apalagi yang namanya pengecekan dari Puskesmas. Kecelakaan dan penyakit akibat kerja bisa tersembunyi.
Mestinya di setiap perusahaan yang memiliki karyawan lebih dari 150 orang harus ada satu orang perawat. Aturan ini jarang 'dipatuhi'. Â Saya memang tidak punya statistic. Akan tetapi di lapangan banyak perawat perusahaan yang mengeluh masalah ini.
Inilah salah satu akar masalah mengapa dunia keperawatan tidak berjalan dengan baik di negeri ini. Layanan keperawatan di perusahaan juga tidak diberikan porsi secara maksimal. Dipikir karyawan sudah diberi fasilitas asuransi kesehatan, BPJS dan sejenisnya, persoalan kesehatan sudah selesai. Padahal tidak demikian.
Perusahaan perlu melakukan pengecekan status kesehatan rutin pada karyawan sesuai dengan risiko kerjanya (rendah, menengah dan tinggi). Perusahaan perlu melakukan upaya health promotion program.
Hal-hal yang membahayakan karyawan (Hazard dan Risk) juga perlu dimonitor. Perlu ada Case Management nurse untuk membantu mengobservasi karyawan yang sakit.
Jenis pekerjaan ini hanya bisa dikerjakan oleh perawat atau dokter perusahaan yang tetap dan kompeten kualifikasinya. Tidak lain tujuannya agar perusahaan juga diuntungkan. Karyawan yang sehat dan puas dengan layanan kehatannya, akan membantu mendongkrak kualitas produksi yang pada gilirannya sangat menguntungkan bisnis.
Tiga hal tersebut di atas tidak banyak diperhatikan di negeri ini. Makin banyak PMA, makin susah kondisi professional ketenagakerjaan kita. Mestinya harus ada keseriusan pihak Pemerintah melalui kerjasama Kementrian Tenaga Kerja dan Kementrian Kesehatan jika ingin 'persoalan terselubung' ini tidak berlarut-larut merugikan masyarakat, negara dan banga Indonesia.
Memang, tidak semua PMA 'nakal'. Tapi jangan sampai kita kecolongan di siang bolong. PMA banyak yang pintar. Namun yang lebih pintar lagi, orang-orang kita sendiri yang berada di belakang, 'mem-backing' PMA, yang 'mengabadikan' keteledoran ini.
Malang, 1 Juli 2020
Ridha Afzal
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H