Mohon tunggu...
Rida Nugrahawati
Rida Nugrahawati Mohon Tunggu... karyawan -

-- Penyuka Imajinasi dan Cerita Fiksi -- 🏡 Kuningan-Jabar

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Ternyata Benar

30 Desember 2018   19:54 Diperbarui: 30 Desember 2018   19:57 262
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi : Pixabay

"Selamat pagi putri salju. Bagiku engkau bagaikan putri yang cantik lagi baik hati. Yang begitu menawan lagi dermawan. Mengapa aku juga menyebutmu salju? Karena bagiku engkau terlihat dingin dan tak peduli. Namun kenyataannya kau begitu hangat dan perhatian. Kepada siapa pun. Apalagi anak kecil. Termasuk juga aku teman kerjamu. Itu salah satu hal yang menarik perhatianku. Terimalah kado ini untukmu. Jam tangan berwarna putih. Seputih hatimu. Agar kau juga selalu ingat kepadaku. Pria berkacamata yang diam-diam berharap agar kelak menjadi pangeranmu wahai putri salju. Dari: pria berkacamata."

Sepenggal surat yang aku temui di laci bawah meja kerja. Dengan kotak kecil berisi jam tangan berwarna putih. Begitu indah. Begitu memberiku semangat untuk memulai hari. Begitu romantis. Namun aku tak tahu siapa pengirimnya. Sosok pria misterius. Yang aku tahu ia pasti teman satu kantor dan memakai kacamata.

Tersenyum sendiri. Berkali-kali aku membaca suratnya. Jujur saja ini pertama kalinya aku di beri surat romantis seperti ini. Apakah mungkin ia jodohku. Mungkin jika ia berjodoh denganku, setiap hari aku akan diperlakukan romantis. Tapi aku tak boleh memikirkan kebahagiaan dulu, takutnya akan ada kekecewaan.

Jam istirahat tiba. Aku pergi ke kantin bersama temanku Ima. Ia temanku sejak SD, jadi ia bagaikan saudara sendiri. Yang tahu segala macam kebiasaan burukku. Dan yang selalu setia mendengar segala cerita hidupku. Termasuk pria misterius itu.

"Risa coba lihat ke sebelah sana." Ia menunjuk ke arah Dio yang duduk di pojok kantin.

"Dio? Memangnya dia kenapa?." Tanyaku.

"Kamu tidak merasa kalau sejak kamu duduk di sini, ia terus memperhatikanmu." Katanya.

"Mungkin itu hanya perasaanmu saja Ima." Kataku sambil meminum air dingin.

"Ini serius Risa, apa mungkin pria berkacamata yang mengirim surat dan jam itu Dio? Menurutku mungkin saja, karena semenjak kamu bekerja di sini. Dio selalu memperhatikanmu diam-diam. Lihat saja ketika tadi kamu melirik ke arahnya, ia malah menundukkan wajah." Katanya sambil memakan siomay.

"Tapi jika memang benar pria misterius itu Dio. Tak apalah. Ia sangat manis. Wanita mana pun pasti terpesona melihatnya. Seperti es campur yang sedang aku makan ini." Kataku sambil tersenyum dan mengaduk-aduk es campur.

"Cie kamu bisa menggombal juga ya ternyata jika sedang jatuh cinta." Katanya sambil tertawa.

"Syut, jadi bagaimana menurutmu agar Dio dapat mengakui bahwa ia yang diam-diam  menyukaiku? Mengapa ia tak berkata langsung, mengapa harus lewat surat. Tapi ia romantis sekali. Aku suka isi suratnya." Kataku sambil memegang saku yang isinya surat dari pria misterius.

"Ekhm.."

"Ekhm.."

"Eh Dio, sejak kapan kamu di sana?." Tanyaku, karena Dio tepat berada di belakangku.

"Tadi aku berpura-pura batuk agar kalian peka ada aku di sini. Eh ternyata tidak ada yang peka." Kata Dio.

"Duh kasihan sekali. Jadi kamu kesini untuk menemui Risa kan?." Tanya Ima.

"Ima..." Kataku.

"Ya benar aku akan menemui Risa. Risa maukan sepulang kerja nanti antar aku ke toko buku?." Tanya Dio, aku langsung tersipu malu.

"Memangnya kamu akan membeli buku apa?." Tanyaku.

"Entah, yang penting aku dapat bersamamu sore nanti." Katanya.

"Risa pasti mau, iya kan Risa?." Tanya Ima sambil mencubit tanganku.

"Jadi bagaimana Risa?." Tanya Dio.

"Boleh." Jawabku sambil malu-malu.

"Oke nanti aku tunggu di tempat parkir. Aku ke sana dulu Risa. Sampai jumpa." Kata Dio, sambil berjalan meninggalkanku.

"Tuh kan kataku juga apa. Pria misterius yang berkacamata itu Dio. Bahagianya kamu jika berakhir dengannya. Pria manis, baik, pintar dan romantis juga kan." Kata Ima sambil memperhatikan Dio dari belakang.

"Ya aku mau saja dengannya. Ia memang pria idamanku. Jarang ada pria yang romantis seperti Dio. Apalagi ia memakai kacamata, itu menjadi nilai tambahan" Kataku sambil berkhayal. Karena memang benar aku menyukai pria berkacamata. Menurutku pria berkacamata terlihat lebih dewasa dan lebih bijak.

"Jangan lupa traktir aku makan jika Dio sudah mengutarakan perasaannya padamu." Kata Ima sambil tertawa.

"Sudah, jangan berpikir terlalu jauh dulu Ima." Kataku sambil berjalan meninggalkan kantin.

"AKU MENUNGGUMU DI PARKIRAN. KITA PULANG SAMA-SAMA YA. JANGAN LUPA. Dari: pria berkacamata."

Ketika membuka laci meja terdapat sebuah surat kecil yang isinya mengingatkan untuk pulang bersama. Aku sudah yakin itu pasti Dio.

***

"Hai Dio.." Sapaku, karena ia sedang duduk di atas motor sambil memegang helm berwarna putih.

"Eh Risa, ayo kita pulang eh maksudnya antar aku ke toko buku dulu. Ini kamu pakai helm warna putih ya, untuk menjaga keselamatan." Kata Dio sambil memberikan helm putih.

"Terima kasih Dio." Kataku sambil memakai helm.

"Apa kamu tahu mengapa kamu memakai helm warna putih dan aku memakai helm warna merah.? Tanya Dio.

"Entah, memang kenapa?." Tanyaku.

"Karena merah putih itu bagaikan bendera Indonesia yang selalu di hati. Warna merah berarti darah, warna putih berarti tulang. Aku ingin kita seperti darah dan tulang yang selalu menyatu." Kata Dio sambil tertawa.

"Apa sih Dio." Kataku sambil tersipu malu.

Aku menaiki motor Dio, ternyata di depan tempat parkir terlihat Hilman sedang memperhatikan kita berdua. Tak seperti biasanya. Mengapa ia terlihat seperti tidak suka ketika aku dekat dengan Dio. Biarkan saja, memang dalam suatu hubungan kadang ada orang yang suka dan tak suka.

Di atas motor kita membicarakan segala hal. Sudah kenal dan nyaman, jadi apa pun pasti kita ceritakan. Sesampainya di toko buku, ia memegang tanganku. Ia mencari buku yang menginspirasi seperti penulis Tere Liye. Selera bukunya memang sama sepertiku.

Dio hanya mengajakku pergi ke toko buku dan mengantarku pulang. Ketika sampai depan rumah ia memberikan coklat untukku. Katanya untuk membuat moodku bagus. Memang ia jagonya dalam hal membuatku tersenyum sendiri.

***

Waktu begitu cepat berlalu pagi ini aku harus berangkat ke kantor. Dan seperti biasa ketika aku membuka laci meja sudah terdapat sebuah surat.

"Risa, bagiku kau segalanya. Aku tak ingin kau dekat dengan pria lain. Jadi izinkan aku untuk mengenalmu lebih jauh lagi. Maukah pulang kerja kita bertemu dulu di taman samping perpustakaan? Aku akan menunggumu di sana. Ngomong-ngomong aku sudah memesan jus alpukat kesukaanmu di kantin. Jika kau menerima ajakanku, maka kau harus mengambil dan meminumnya. Aku akan memperhatikanmu dari jauh. Aku sangat berharap kamu mengambil dan menghabiskan jus alpukat itu. Jika kau meminum jus alpukat dariku, pasti kau akan terlihat lebih manis. Dari: pria berkacamata."

Memang ketika sudah membaca surat darinya selalu membuatku senang, tersenyum sendiri. Dio memang romantis, sebenarnya kemarin sore ketika di toko buku aku ingin sekali menanyakan mengapa ia harus menjadi pria misterius yang selalu mengirim surat terhadapku.

Mengapa tak dikatakan langsung saja. Tapi aku terus menahan untuk tidak bertanya. Aku menunggunya agar mengatakan langsung kepadaku. Seperti sekarang ini. Akhirnya aku akan bertemu dengan sosok pria misterius dan berkacamata itu, walau sebenarnya aku tahu itu Dio.

Hari ini aku pergi ke kantin sendiri. Karena sahabatku Ima tidak masuk kerja. Aku melihat ada Dio di ujung kantin itu sendiri. Dio terlihat sedang memperhatikanku. Penjaga kantin memberikan segelas jus alpukat. Sesuai dengan surat yang aku baca tadi pagi. Sambil tersenyum malu aku mengambilnya dan duduk di meja tengah sendiri.

***

Sudah waktunya untuk pulang. Sangat bersemangat, karena hari ini pria misterius alias Dio akan mengutarakan perasaannya. Pasti akan ada banyak perkataan dan perlakuan romantis darinya. Sepanjang perjalanan menuju taman, aku tersenyum-senyum sendiri. Sampai orang-orang sekitar memperhatikanku. Untuk menutupi rasa malu di perhatikan banyak orang, aku memainkan ponsel sambil tersenyum. Padahal bukan ponsel sumber senyumanku.

Aku duduk di kursi taman sambil memperhatikan keadaan sekitar. Seketika ada anak kecil memberiku seikat bunga. Katanya kakak ganteng yang memberikan bunga ini. Sudah aku duga, ia memang sangat romantis. Dio, mengapa tidak dari dulu saja jujur kepadaku.

"Ekhm.." Aku kaget mendengar suara batuk, ia pasti Dio.

"Hilman?." Kataku kaget.

"Jadi bagaimana putri, maukah kau menjadi ratu di istanaku kelak. Dan maukah kau melahirkan pangeran-pangeran sebagai pemimpin negara ini?." Tanya Hilman.

"Jadi pria misterius yang berkacamata itu kamu?." Tanyaku, mengabaikan pertanyaannya.

"Iya, mengapa kamu terlihat kaget seperti ini?." Tanyanya sambil terheran-heran.

"Tidak apa-apa, jadi apa yang ingin kamu bicarakan?." Tanyaku.

"Aku ingin mengutarakan perasaanku yang sebenarnya terhadapmu. Maukah kau menjadi ibu untuk anak-anakku kelak? Karena aku yakin Risa kamu akan menjadi ibu yang baik untuk anak-anakku kelak." Katanya sambil memegang tanganku.

"Lepaskan tanganku Hilman. Maaf aku tidak bisa." Kataku, berusaha melepaskan tangannya.

"Memangnya kenapa? Risa?." Tanyanya, menatap mataku dalam.

"Maaf Hilman, aku tidak punya perasaan apa pun terhadapmu. Kamu juga tahu kan bahwa dalam pernikahan itu harus ada yang namanya cinta. Jika tidak ada cinta, entah akan berjalan seperti apa." Kataku.

"Cinta itu dapat hadir dengan sendirinya setelah menikah Risa." Kata Hilman.

"Tapi maaf aku tidak bisa percaya bahwa cinta dapat hadir dengan sendirinya setelah menikah." Kataku.

"Apa kamu mencintai Dio? Kemarin aku lihat kamu pulang bersamanya." Tanya Hilman.

"Risa? Risa? Aku ingin bertanya apa kamu mencintai Dio?." Tanyanya.

"Maaf aku tidak bisa menjawab." Kataku.

"Jika kamu tidak menjawab aku akan memaksamu menikah denganku. Jadi masih tidak mau menjawab?." Tanya Hilman memaksa.

"Iya jujur aku dari awal mencintai Dio. Semenjak pertama bertemu dengannya di kantor. Dan aku mengira pria misterius berkacamata dalam surat itu adalah Dio. Iya aku mencintainya, namun aku sudah salah mengira. Aku kira Dio yang akan datang kesini." Kataku, sambil menitikkan air mata.

"Risa?." Terdengar suara Dio, aku kaget dan berusaha menghentikan tangisanku namun tak bisa. Aku memang tak bisa menahan air mata.

"Dio sejak kapan kamu di sana?." Tanyaku.

"Sejak tadi. Risa? Mengapa kamu menangis?." Tanya Dio tepat berdiri di depanku, aku terdiam karena di sampingku masih ada Hilman.

"Risa, will you marry me?." Tanya  Dio, itu membuatku kaget dan tak mampu mengeluarkan kata-kata.

"Risa aku bertanya sekali lagi. Will you marry me?."  Tanya Dio kedua kalinya sambil memperlihatkan cincin di depanku. Hilman, mengapa ia malah mengabadikan momen kita berdua.

"Risa jawab." Tanya Dio memaksa.

"Aku tidak mengerti, ini maksudnya apa Dio, Hilman.?" Tanyaku.

"Jadi Risa tidak mau menjawab? Oke." Kata Dio.

"Aku akan menjawab tapi kalian harus jelaskan apa maksud semua ini." Kataku.

Hilman menjelaskan semuanya. Ternyata semua ini hanya tipu daya Dio. Ia menyuruh Hilman untuk memancingku. Karena Dio ingin mendengar langsung dari mulutku, jika aku mencintai Dio. Dan itu berhasil. Langsung saja Dio menghampiriku. Dalam urusan ini Dio memang ahlinya.

Untuk kesekian kalinya Dio bertanya "Will you marry me?." Sambil memasukkan cincin ke jari manisku, aku hanya tersenyum dengan pipi kemerahan. Dan aku berpikir ternyata dugaanku benar Dio adalah pria misterius itu.

***

Kuningan, 30 Desember 2018
Rida Nugrahawati

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun