Mohon tunggu...
....
.... Mohon Tunggu... Mahasiswa -

Analis Politik-Hukum Kompasiana |

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Ahok Terus Disenggol, M. Sanusi Terpeleset, Kotak Pandora Komisi D DPRD DKI Jakarta Terbuka

3 April 2016   10:01 Diperbarui: 3 April 2016   12:38 4307
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Ketua Komisi D DPRD DKI, M. Sanusi (Dok:Tribunnews.com)"][/caption]Selama ini Basuki Thajaya Purnama atau Ahok terus dihalau dari berbagai penjuru agar ia tak kembali meleggang ke Balai Kota. Halau-menghalau makin tampak, makin nyata seiring makin dekatnya pelaksanaan Pilgub DKI Jakarta pada Februari 2017 mendatang. Lawan politik Ahok pun satu-persatu bermunculan di depan publik. Mereka nampak menunjukkan kekuatan politiknya yang dianggap sebagaian orang adalah sebagai sikap ketidaksukaan dan ketidaksenangan dengan Ahok. Semua punya mata dan semua bisa melihat bahwa sejak Jakarta dipimpin Ahok, perubahan sudah terasa dimana-mana (Jakarta). Masyarakat DKI pun dituntun oleh para lawan politik Ahok untuk melemparkan isu-isu yang berbau SARA.

Yusril Ihza Mahendra yang disebut-sebut sebagai calon kuda hitam karena dianggap mampu mengungguli Ahok ternyata pun tidak berdaya menghadapi kondisi yang sebenarnya. Yusril sungguh tidak berdaya menghadapi popularitas Ahok yang makin hari makin moncer akibat kinerjanya yang sangat memuaskan. Ketidakberdayaan Yusril ini bisa terlihat dari sikap rasis yang dipertontonkan oleh Yusron Ihza Mahendra yang melalui twitternya menyinggung etnis tertentu. Sungguh apa yang telah dilakukan oleh Yusron Ihza Mahendra ini adalah wujud nyata bahwa Ahok hingga kini upayanya untuk kembali melanjutkan pembenahan di Jakarta pun terus dihalau dan dihadang. Dihalau dari berbagai penjuru.

Yusron yang kini menjabat sebagai Dubes Indonesia untuk Jepang pun dari Negeri Sakura pun tanpa ragu-ragu dan tanpa takut-takut menghalau Ahok dengan melemparkan isu yang sangat sensitif tersebut. Tak hanya soal isu SARA yang dilemparkan Yusron yang jauh-jauh dari Negeri Sakura, sebelumnya juga Ahok kerap dihalau dan dihadang serta dikaitkan-kaitkan dengan Sumber Waras. Tudingan ini pertama kali muncul dengan sangat tendesius dimana lembaga negara sekelas Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menuding bahwa keputusan Ahok yang membeli lahan Rumah Sakit Sumber Waras adalah kemahalan dari penawar yang pertama, tak hanya soal kemahalan tetapi juga harga nilai tanah pun dipermasalahkan oleh Badan Pemeriksa Keuangan. Dan ternyata Kepala BPK DKI yang sebelumnya memutuskan melakukan audit terhadap pembelian Sumber Waras pun memiliki conflict of interest.

Keputusan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang menuding Ahok bersalah karena telah membeli lahan Rumah Sakit Sumber Waras karena harga pembeliannya lebih mahal ketimbang dari harga penawaran pertama dari PT. Ciputra Karya Utama seharga Rp. 564 Miliar pada 2013 lalu adalah sangat tendesius. Menjadi tendesius karena tudingan yang dilakukan Badan Pemeriksa Keuangan terhadap Ahok ini hanya berdasarkan asumsi-asumsi dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) tanpa melihat dulu regulasi yang memperbolehkan Ahok menunjuk langsung pembelian lahan Sumber Waras tanpa harus dilakukan kajian terlebih dahulu.

Sebagaimana menurut Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang akibat dari main tunjuk itu menimbulkan kerugian negara hingga 191 Miliar. Keputusan Ahok yang menunjuk langsung pembelian terhadap lahan Sumber Waras tida asal-asalan sebagaimana yang seperti yang ditudingkan BPK kepada Ahok, tetapi sudah sesuai hukum yakni dengan Peraturan Presiden No 40/2014 tentang Pengadaan Tanah yang mana dinyatakan  bahwa pengadaan tanah di bawah 5 hektare bisa dilakukan secara langsung dan tidak memerlukan kajian.

Argumen pada paragraf diatas tersebut membantah tudingan Badan Pemeriksa Keuangan yang menuding Ahok bersalah karena langsung main tunjuk saat pembelian lahan Sumber Waras. Yang jadi pertanyaan besarnya saat ini adalah aturan atau regulasi mana, pasal berapa dan UU nomor berapa dan tahun berapa yang membuat Badan Pemeriksa Keuangan dengan tendesiusnya menuding Ahok bersalah dalam kasus Sumber Waras? Jika mengacu pada Peraturan Presiden No 71/2012, Maka regulasi itu sudah tak berlaku lagi karena ada pasal menyangkut pengadaan tanah yang sudah direvisi.

Sebagaimana diketahui bahwa luas lahan Sumber Waras adalah di bawah 5 hektare, yakni 3,6 hektare, itu artinya tidak ada kesalahan yang dilakukan Ahok dalam keputusannya yang langsung menunjuk pembelian terhadap lahan Sumber Waras, karena keputusan Ahok tersebut berdasarkan landasan hukum yang kuat yakni Peraturan  Presiden No 40/2014 tentang Pengadaan Tanah. Lalu tudingan Badan Pemeriksa Keuangan yang juga menuding bahwa Ahok juga bersalah karena  lokasi lahan Sumber Waras yang seharusnya menurut BPK berada di Jalan Tomang Utara bukan di Jalan Kyai Tapa juga adalah tudingan yang tak masuk akal.

Karena tudingan BPK yang menyebut salah lokasi dari lahan Sumber Waras akan dibantah dengan argumentasi antara lain bahwa yang mengeluarkan sertifikat tanah terhadap lahan Sumber Waras adalah Badan Pertahanan Nasional pada 27 Mei 1998 dan berstatus Hak Guna Bangunan (HGB). Dari sertifikat tanah yang dikeluarkan oleh Badan Pertahanan Nasional berarti sudah dapat disimpulkan bahwa lahan Sumber Waras itu sudah bersertifikat Hak Guna Bangunan (HGB) sejak tahun 1998 dan berada di Jalan Kyai Tapa. Dan dimana logikanya jika Badan Pemeriksa Keuangan ingin menuding Ahok bersalah lantaran salah lokasi lahan Sumber Waras?

Tidak masuk akal sehat dan terlalu gila, bahkan kodok pun tertawa terbahak-bahak jika BPK menyebut salah lokasi pada lahan Sumber Waras. Ini jelas-jelas mengacu pada sertifikat tanah milik lahan Sumber Waras yang dikeluarkan oleh Badan Pertanahan Nasional pada tahun 1998. Meragukan lokasi lahan Sumber Waras, itu artinya Badan Pemeriksa Keuangan juga makin terlihat kepentingannya dalam kasus ini.  Toh, kalaupun sertifikat kepemilikan atas Hak Guna Bangunan itu sudah berakhir, Sekarang (2016) sudah bisa diperpanjang lagi untuk 20 tahun kedepan.

Maka argumen ini sudah sekaligus membantah tudingan salah lokasi terhadap lahan Sumber Waras oleh Badan Pemeriksa Keuangan. Selain itu yang perlu dipahami pula bahwa Hak Guna Bangunan (HGB) beralih atau hanya dapat dialihkan dengan cara: Jual-beli, tukar menukar, penyertaan dalam modal, hibah termasuk melalui pewarisan. Dalam kasus lahan Sumber Waras jelas bahwa Hak Guna Bangunannya sudah beralih ke pemerintah Provinsi DKI Jakarta seiring dengan pembayaran Rp. 755 Miliar. walaupun tudingan BPK yang menuding Ahok bersalah karena membeli harga tanah yang lebih mahal dari yang pernah ditawar PT.Ciputra Karya Utama sebesar Rp.564 Miliar adalah tetap tidak memiliki alasan hukum yang kuat.

Menjadi tidak beralasan secara hukum karena NJOP setiap tahun itu mengalami peningkatan. Penentuan NJOP Rumah Sakit Sumber Waras adalah Direktorat Jendral Pajak Kementrian Keuangan yang menyebutkan bahwa pajak dari lahan Sumber Waras adalah mengikuti NJOP dari Jalan Kyai Tapa. Itu artinya tudingan yang ditudingkan BPK kepada Ahok adalah sangat tendesius. BPK silakan menanyakan hal-hal yang lebih spesifik lagi kepada Direktorat Jendral Pajak Kementrian Keuangan jika masih tetap ngotot Ahok yang salah dalam pembelian lahan Sumber Waras.

Tudingan bahwa Ahok bersalah lantaran NJOP dari lahan Sumber Waras juga keliru adalah tidak beralasan secara hukum karena sudah jelas bahwa berdasarkan fakta bahwa faktur yang sudah ditandatangani oleh Kepala Unit Pelayanan Pajak Daerah Grogol, terlampir bahwa tanah itu memang terletak di Jalan Kyai Tapa dengan NJOP sebesar Rp. 20,7 juta.

Jadi jika Badan Pemeriksa Keuangan menuding terjadi kekeliruan dalam NJOP, dan menurut BPK karena letaknya di Jalan Tomang Utara, pembeliannya jadi memakai NJOP jalan itu dan NJOP sebesar 7 juta per meter persegi adalah makin tidak masuk akal lagi karena di dalam faktur yang sudah ditandatangani tadi, jelas NJOP nya berada di Jalan Kyai Tapa bukan di Jalan Tomang sebagaimana yang diasumsikan BPK selama ini.

Lalu kemudian masuk kepersoalan tudingan bahwa ada kerugian negara dalam pembelian lahan Sumber Waras oleh Pemerintah Provinsi DKI. BPK menuding bahwa telah terjadi kerugian negara sebesar Rp.191 Miliar. Karena sebelumnya ada tawaran dari PT.Ciputra Karya Utama pada tahun 2013 yakni dengan harga Rp564 Miliar dan harga lahan Sumber Waras senilai Rp.564 Miliar itu adalah sesuai dengan NJOP pada tahun 2013. Sebelum Ahok memutuskan membeli lahan Sumber Waras pada 2014. Lalu logikanya dimana jika mengaudit pembelian lahan Sumber Waras berdasarkan tahun 2013, yang mana diketahui harga dari NJOP selalu bergerak naik setiap tahun diiringi pula makin mahalnya harga tanah.

Dan berdasarkan SIM-PBB-P2 dari Direktorat Jendral Pajak, NJOP dari lahan Sumber Waras pada 2013 naik dari 12,2 juta sedangkan NJOP pada 2014 adalah 20,7 juta. Ini adalah fakta hukum yang sangat sulit untuk ditangkis lagi kecuali pihak-pihak tersebut memang memiliki kepentingan di Jakarta karena selama ini kepentingan banyak pihak terganggu akibat bersih-bersih birokrat oleh Ahok selama ini. Selain itu pula tudingan BPK yang menyebut bahwa pembelian lahan Sumber Waras kurang cermat karena tanpa kajian dan perencanaan yang mendalam juga sangat bertentangan dengan regulasi yang mengatur soal pengadaan tanah.

Peraturan Presiden No 40/2014 tentang Pengadaan Tanah sudah secara tegas mengatur bahwa pengadaan tanah yang luasnya di bawah 5 hektar bisa dilakukan secara langsung tanpa dilakukan kajian terlebih dahulu sebagaimana yang diasumsikan BPK. Namun pada kenyataanya pembelian lahan Sumber Waras itu adalah masuk prioritas Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, dan pada kenyataannya pula pembelian lahan itu disetujui oleh pimpinan DPRD DKI Jakarta. Persetujuan pembelian lahan itu tercantum dalam KUA-PPAS 2014 perubahan yang ditandatangani pemimpin DPRD DKI 2014-2019, termasuk Lulung Lunggana yang ikut membahas dan menyetujui pembelian lahan tersebut.

Jadi sangat dangkal jika ingin menuding Ahok terlibat dalam kasus Sumber Waras karena setiap rencana program ataupun perencanaan yang dilakukan oleh Pemerintah Provinsi haruslah dibahas terlebih dahulu bersama DPRD DKI. Dan ini mutlak. Yang terjadi justru Lulung Lunggana pun ikut membahas dan menyetujui pembelian lahan Sumber Waras tetapi yang terjadi justru Sumber Waras yang menjadi prioritas Pemerintah Provinsi DKI ini dicoret dan dimasukan anggaran pembelian UPS sehingga kerugian negara pun timbul.

Inilah fakta yang sulit untuk dihindari meskipun beribu-ribu kali berbicara dengan santun. Tapi yang lucunya KPK terus ditekan agar Ahok dijadikan tersangka. Sampai kiamat pun, KPK tak akan asal-asalan menetapkan seseorang sebagai tersangka karena ada prosedur dan alat bukti yang harus dimiliki oleh KPK sebelum menetapkan seseorang sebagai tersangka dan KPK bekerja bukan berdasarkan pesanan tatapi berdasarkan alat bukti.

Setelah Ahok terus berusaha dihalau dan dihadang dengan berbagai macam cara yang dilakukan oleh lawan politiknya selama ini. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kembali menunjukkan taringnya bahwa komisi anti rasuah tak akan pernah memberi ampun bagi siapa saja yang ingin coba-coba bermain dengan uang rakyat. Ketua Komisi D DPRD DKI Jakarta, M. Sanusi pun ditetapkan sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi karena terbukti menerima suap saat operasi tangkap tangan yang dilakukan KPK di salah satu hotel di Jakarta pada Jumat (31/03/2016) malam. 

Usut punya usut ternyata uang suap yang diterima M. Sanusi adalah tak lain untuk memuluskan pembahasan satu Raperda tentang tata ruang dan satu tetang revisi Perda yang mengatur tentang Reklamasi. M. Sanusi yang selama ini kerap bersuara paling getol meminta agar KPK segera menetapkan Ahok sebagai tersangka pun ibarat termakan omongannya sendiri.

Dan ternyata diketahui pula bahwa selama ini pembahasan Raperda tentang tata ruang dan zonasi yang udah disiapkan Komisi D DPRD DKI Jakarta pembahasannya terus ditunda, yang tak lain tujuannya adalah untuk memperkecil kewajiban pengembang dari 15% menjadi hanya menjadi 5% saja. Ini yang ternyata tidak berhasil disahkan oleh Komisi D dan ternyata dari sinilah asal mula suap terjadi. Tak kunjung disahkannya karena Ahok menolak keras usulan DPRD tersebut. Karena yang ada Pemerintah Provinsi hanya memberikan ijin bukan bekerjasama dengan PT. Agung Podomoro Land.

Tertangkap tangannya M. Sanusi oleh KPK yang tertangkap tangan menerima suap dari PT. Agung Podomoro Land adalah membuka jalan bagi KPK untuk melelisik keterlibatan anggota DPRD DKI Jakarta khususnya dari Komisi D yang membidangi urusan pembangunan di DKI Jakarta. M. Sanusi sendiri ternyata telah diikuti oleh KPK sejak Rabu (30/03/2016) malam.

Diketahui bahwa sebelumnya DPRD DKI Jakarta khususnya Komisi D ngotot agar 15% yang telah ditetapkan sebagai kewajiban untuk pengembang tersebut diperkecil lagi menjadi 5%. Padahal keputusan Ahok tersebut telah dipertimbangkan dengan sangat matang dimana hasil dari 15% dari proyek Reklamasi itu merupakan keuntungan bagi Pemprov DKI Jakarta. Yang mana hasil dari 15% dari pengembang itu akan dibangun fasilitas umum dan fasilitas sosial di Ibu Kota. Dan perlu diketahui dan dipahami pula bahwa ijin reklamasi 17 pulau dasar hukumnya adalah PP No 52/1995, khusus pulau G ijin reklamasinya Pergub 2238/2014.  Dan Raperda yg sedang dibahas DPRD DKI bukan reklamasi tetapi tata ruang dan zonasi.

Bahkan tak menutup kemungkinan M.Sanusi akan membongkar semua yang terjadi di DPRD DKI Jakarta. Sebagai salah satu politisi paling terkenal di DPRD DKI, M.Sanusi tentu mengetahui berbagai macam proyek di DPRD DKI Jakarta. Dan terlebih lagi M.Sanusi adalah Ketua Komisi D DPRD DKI Jakarta yang membidangi Pekerjaan Umum, Perumahan, Gedung Pemerintah Daerah, Tata Ruang yang bisa membuat KPK menelisik semua dari yang dibidangi oleh M.Sanusi ini.

KPK Pun saat ini diyakini terus menelisik proyek-proyek mana yang sengaja dimangkrakakan atau sengaja di mark up oleh Komisi D. Tentu bukan tanpa alasan tangkapan KPK kali ini menjadi sangat bernilai bahkan bernilai strategis lantaran ini menyangkut DPRD DKI Jakarta, khususnya Komisi D yang semuanya siap dibongkar habis KPK.

Dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) hingga saat ini masih terus mengembangkan dugaan suap yang melibatkan Bos Podomoro Group, Ariesman Widjadja yang telah ditetapkan sebagai tersangka karena menyuap Ketua Komisi E DPRD DKI Jakarta, M. Sanusi. Pernyataan Wakil Ketua KPK, Laode Muhammad Sayrief yang menyebut kasus ini sebagai grand corruption perlu dicermati secara mendalam dan ini juga bisa diartikan sinyal dari Komisi Pemberantasan Korupsi tak akan berhenti sampai M. Sanusi. Dan ada 5 alasan hukum mengapa Bos Podomoro sangat terpaksa menyuap M. Sanusi.

Pertama. Memang harus diakui bahwa pemberian uang yang dilakukan oleh Presiden Direktur PT Agung Podomoro Land melalui pelantara Trihanda Prihantoro, Karyawan PT. Agung Podomoro Land di salah satu pusat perbelanjaan adalah sedikit-banyaknya untuk mempengaruhi Komisi D DPRD DKI Jakarta. Tetapi perlu diingat dan digaris bawahi pula bahwa hingga beberapa hari sebelum ditangkap oleh KPK, M. Sanusi selaku Ketua Komisi D, tidak melalukan pembahasan/ terus menunda pembahasan terhadap Raperda tentang tata ruang dan zonasi dan revisi Perda tentang Reklamasi.

Tak kunjung dibahasnya Raperda dan revisi Perda tersebut menunjukkan bahwa memang ada itikad buruk dari Komisi D DPRD DKI Jakarta yang memang sengaja ingin menahan agar regulasi yang merupakan payung hukum dari pelaksanaan Reklamasi pulau Jakarta itu terus tertunda dan tidak ada kepastian hukum.

Kedua. Tentu sikap menunda-nunda dan tidak ada kepastian dari Ketua Komisi D, M. Sanusi yang juga aktif di Badan Legislasi DPRD DKI Jakarta adalah dapat menimbulkan kerugian bagi PT. Agung Podomoro Land sebagai pengembang. Karena semakin cepat regulasi tersebut dibahas maka semakin cepat pula kepastian hukumnya.

Sikap menunda-nunda tersebut jugalah yang mengakibatkan pemberian uang itu terjadi. Bos Podomoro sangat-sangat terpaksa menuruti kehendak Komisi D, karena yang dibutuhkannya  tersebut tak kunjung dibahas sehingga tak ada pilihan lain untuk mempercepat pembahasan kecuali dengan terpaksa melalui jalan belakang.

Ketiga. Tak kunjung dibahasnya regulasi tentang Raperda yang mengatur tentang tata ruang dan zonasi tersebut mengindikasikan bahwa Badan Legislasi di DPRD DKI Jakarta khususnya Komisi D memang tak akan pernah membahas regulasi tersebut jika memang tidak ada upaya lain yang tidak ditempuh oleh Bos Podomoro.

Buktinya pembahasan ditunda sampai beberapa kali. Maka pemberian uang itu adalah jalan pintas/ satu-satunya jalan agar Raperda tersebut segera dilakukan pembahasan dan pengesahan. Tetapi yang terjadi justru setelah penyerahan uang pada tahap pertama sebesar Rp. 1 miliar, Raperda tersebut juga tak kunjung dibahas oleh Komisi D DPRD DKI Jakarta di Badan Legislasi DPRD DKI Jakarta.

Keempat. Diketahui bahwa DPRD DKI Jakarta juga menawarkan agar kewajiban pengembang diturunkan dari 15% menjadi 5%. Ini juga yang menjadi awal mula terjadinya nego-nego yang terjadi diantara DPRD DKI Jakarta dan PT. Agung Podomoro Land. Penurunan dari 15% menjadi 5% tersebut dianggap tidak menguntungkan bagi Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Bagi Agung Podomoro Land, tentu 15% itu cukup luas apabila hendak diserahkan kepada Pemerintah Provinsi DKI Jakarta.

Ahok pun menolak keinginan pengembang tersebut tetapi yang terjadi justru DPRD DKI Jakarta, khususnya Komisi D, dengan M. Sanusi yang menerima suap pada tahap pertama sebesar Rp 1 miliar mengindikasikan bahwa DPRD DKI Jakarta sudah mengakomodir keinginan dari PT. Agung Podomoro Land. Makin terlihat jelas bahwa seolah PT. Agung Podomoro Land tertekan dan seolah ditekan dengan tidak dibahasnya Perda tersebut.

Menjadi tertekan karena tidak ada kepastian hukum bagi PT. Agung Podomoro. PT. Agung Podomoro Land tak akan memberikan uang itu jika Komisi D tidak mempersulit Perda yang menjadi dasar hukum dari pengerukan itu. Pemberian uang ini dilakukan dalam kondisi yang terpaksa karena DPRD terus menunda dan menunjukkan itikad buruknya terhadap pengembang (PT. Agung Podomoro Land) yang padahal diketahui secepatnya membutuhkan pengesahan Perda tersebut.

Kelima. Pihak pengembang (PT. Agung Podomoro Land) sangat panik lantaran saat itu sisa sidang paripurna Raperda tentang tata ruang dan zonasi itu hanya tersisa satu kali lagi. Dan jika sisa satu kali sidang paripurna tersebut tidak diparipurnakan maka juga tidak berhasil memenuhi kuorum, maka pembahasan Raperda akan dimulai lagi dari tingkat komisi. Tentu inilah yang menjadi latarbelakang pemberian uang terhadap M. Sanusi tersebut dilakukan.

Dengan terpaksa uang yang diberikan dua tahap tersebut diharapkan mampu mempercepat pembahasan Raperda tapi yang terjadi setelah pemberian pertama pun tak kunjung kuorum dan tak kunjung diparipurnakan. Tentu PT. Agung Podomoro Land dalam kasus ini hanya sebagai korban dari Komisi D DPRD DKI Jakarta yang terkesan menjadikan PT. Agung Podomoro Land sebagai ATM. Tentu penunda-nundaan paripurna tersebut sudah disepakati sebelumnya sehingga akan menyusul tersangka-tersangka lainnya.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun