Mohon tunggu...
....
.... Mohon Tunggu... Mahasiswa -

Analis Politik-Hukum Kompasiana |

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Ahok Terus Disenggol, M. Sanusi Terpeleset, Kotak Pandora Komisi D DPRD DKI Jakarta Terbuka

3 April 2016   10:01 Diperbarui: 3 April 2016   12:38 4307
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Diketahui bahwa sebelumnya DPRD DKI Jakarta khususnya Komisi D ngotot agar 15% yang telah ditetapkan sebagai kewajiban untuk pengembang tersebut diperkecil lagi menjadi 5%. Padahal keputusan Ahok tersebut telah dipertimbangkan dengan sangat matang dimana hasil dari 15% dari proyek Reklamasi itu merupakan keuntungan bagi Pemprov DKI Jakarta. Yang mana hasil dari 15% dari pengembang itu akan dibangun fasilitas umum dan fasilitas sosial di Ibu Kota. Dan perlu diketahui dan dipahami pula bahwa ijin reklamasi 17 pulau dasar hukumnya adalah PP No 52/1995, khusus pulau G ijin reklamasinya Pergub 2238/2014.  Dan Raperda yg sedang dibahas DPRD DKI bukan reklamasi tetapi tata ruang dan zonasi.

Bahkan tak menutup kemungkinan M.Sanusi akan membongkar semua yang terjadi di DPRD DKI Jakarta. Sebagai salah satu politisi paling terkenal di DPRD DKI, M.Sanusi tentu mengetahui berbagai macam proyek di DPRD DKI Jakarta. Dan terlebih lagi M.Sanusi adalah Ketua Komisi D DPRD DKI Jakarta yang membidangi Pekerjaan Umum, Perumahan, Gedung Pemerintah Daerah, Tata Ruang yang bisa membuat KPK menelisik semua dari yang dibidangi oleh M.Sanusi ini.

KPK Pun saat ini diyakini terus menelisik proyek-proyek mana yang sengaja dimangkrakakan atau sengaja di mark up oleh Komisi D. Tentu bukan tanpa alasan tangkapan KPK kali ini menjadi sangat bernilai bahkan bernilai strategis lantaran ini menyangkut DPRD DKI Jakarta, khususnya Komisi D yang semuanya siap dibongkar habis KPK.

Dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) hingga saat ini masih terus mengembangkan dugaan suap yang melibatkan Bos Podomoro Group, Ariesman Widjadja yang telah ditetapkan sebagai tersangka karena menyuap Ketua Komisi E DPRD DKI Jakarta, M. Sanusi. Pernyataan Wakil Ketua KPK, Laode Muhammad Sayrief yang menyebut kasus ini sebagai grand corruption perlu dicermati secara mendalam dan ini juga bisa diartikan sinyal dari Komisi Pemberantasan Korupsi tak akan berhenti sampai M. Sanusi. Dan ada 5 alasan hukum mengapa Bos Podomoro sangat terpaksa menyuap M. Sanusi.

Pertama. Memang harus diakui bahwa pemberian uang yang dilakukan oleh Presiden Direktur PT Agung Podomoro Land melalui pelantara Trihanda Prihantoro, Karyawan PT. Agung Podomoro Land di salah satu pusat perbelanjaan adalah sedikit-banyaknya untuk mempengaruhi Komisi D DPRD DKI Jakarta. Tetapi perlu diingat dan digaris bawahi pula bahwa hingga beberapa hari sebelum ditangkap oleh KPK, M. Sanusi selaku Ketua Komisi D, tidak melalukan pembahasan/ terus menunda pembahasan terhadap Raperda tentang tata ruang dan zonasi dan revisi Perda tentang Reklamasi.

Tak kunjung dibahasnya Raperda dan revisi Perda tersebut menunjukkan bahwa memang ada itikad buruk dari Komisi D DPRD DKI Jakarta yang memang sengaja ingin menahan agar regulasi yang merupakan payung hukum dari pelaksanaan Reklamasi pulau Jakarta itu terus tertunda dan tidak ada kepastian hukum.

Kedua. Tentu sikap menunda-nunda dan tidak ada kepastian dari Ketua Komisi D, M. Sanusi yang juga aktif di Badan Legislasi DPRD DKI Jakarta adalah dapat menimbulkan kerugian bagi PT. Agung Podomoro Land sebagai pengembang. Karena semakin cepat regulasi tersebut dibahas maka semakin cepat pula kepastian hukumnya.

Sikap menunda-nunda tersebut jugalah yang mengakibatkan pemberian uang itu terjadi. Bos Podomoro sangat-sangat terpaksa menuruti kehendak Komisi D, karena yang dibutuhkannya  tersebut tak kunjung dibahas sehingga tak ada pilihan lain untuk mempercepat pembahasan kecuali dengan terpaksa melalui jalan belakang.

Ketiga. Tak kunjung dibahasnya regulasi tentang Raperda yang mengatur tentang tata ruang dan zonasi tersebut mengindikasikan bahwa Badan Legislasi di DPRD DKI Jakarta khususnya Komisi D memang tak akan pernah membahas regulasi tersebut jika memang tidak ada upaya lain yang tidak ditempuh oleh Bos Podomoro.

Buktinya pembahasan ditunda sampai beberapa kali. Maka pemberian uang itu adalah jalan pintas/ satu-satunya jalan agar Raperda tersebut segera dilakukan pembahasan dan pengesahan. Tetapi yang terjadi justru setelah penyerahan uang pada tahap pertama sebesar Rp. 1 miliar, Raperda tersebut juga tak kunjung dibahas oleh Komisi D DPRD DKI Jakarta di Badan Legislasi DPRD DKI Jakarta.

Keempat. Diketahui bahwa DPRD DKI Jakarta juga menawarkan agar kewajiban pengembang diturunkan dari 15% menjadi 5%. Ini juga yang menjadi awal mula terjadinya nego-nego yang terjadi diantara DPRD DKI Jakarta dan PT. Agung Podomoro Land. Penurunan dari 15% menjadi 5% tersebut dianggap tidak menguntungkan bagi Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Bagi Agung Podomoro Land, tentu 15% itu cukup luas apabila hendak diserahkan kepada Pemerintah Provinsi DKI Jakarta.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun