Ahok pun menolak keinginan pengembang tersebut tetapi yang terjadi justru DPRD DKI Jakarta, khususnya Komisi D, dengan M. Sanusi yang menerima suap pada tahap pertama sebesar Rp 1 miliar mengindikasikan bahwa DPRD DKI Jakarta sudah mengakomodir keinginan dari PT. Agung Podomoro Land. Makin terlihat jelas bahwa seolah PT. Agung Podomoro Land tertekan dan seolah ditekan dengan tidak dibahasnya Perda tersebut.
Menjadi tertekan karena tidak ada kepastian hukum bagi PT. Agung Podomoro. PT. Agung Podomoro Land tak akan memberikan uang itu jika Komisi D tidak mempersulit Perda yang menjadi dasar hukum dari pengerukan itu. Pemberian uang ini dilakukan dalam kondisi yang terpaksa karena DPRD terus menunda dan menunjukkan itikad buruknya terhadap pengembang (PT. Agung Podomoro Land) yang padahal diketahui secepatnya membutuhkan pengesahan Perda tersebut.
Kelima. Pihak pengembang (PT. Agung Podomoro Land) sangat panik lantaran saat itu sisa sidang paripurna Raperda tentang tata ruang dan zonasi itu hanya tersisa satu kali lagi. Dan jika sisa satu kali sidang paripurna tersebut tidak diparipurnakan maka juga tidak berhasil memenuhi kuorum, maka pembahasan Raperda akan dimulai lagi dari tingkat komisi. Tentu inilah yang menjadi latarbelakang pemberian uang terhadap M. Sanusi tersebut dilakukan.
Dengan terpaksa uang yang diberikan dua tahap tersebut diharapkan mampu mempercepat pembahasan Raperda tapi yang terjadi setelah pemberian pertama pun tak kunjung kuorum dan tak kunjung diparipurnakan. Tentu PT. Agung Podomoro Land dalam kasus ini hanya sebagai korban dari Komisi D DPRD DKI Jakarta yang terkesan menjadikan PT. Agung Podomoro Land sebagai ATM. Tentu penunda-nundaan paripurna tersebut sudah disepakati sebelumnya sehingga akan menyusul tersangka-tersangka lainnya.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI