Mohon tunggu...
Ricky Pramono Hasibuan
Ricky Pramono Hasibuan Mohon Tunggu... -

Semangat dan Yakin pada TUHAN

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Perjamuan Kudus dalam Perjanjian Lama

5 Februari 2011   17:58 Diperbarui: 26 Juni 2015   08:52 7532
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Dalam PL, manusia dipandang sebagai mahluk ciptaan yang pada hakekatnya merupakan benda mati yang tidak mempunyai kehidupan dari dirinya sendiri.[38] Sehingga muncul pertanyaan bagaimana manusia itu bisa hidup? Dalam Kej 2:7, dinyatakan bahwa Tuhan Allah menghembuskan "nafas hidup" ke dalam hidung manusia. Sehingga manusia yang merupakan benda mati itu menjadi mahluk hidup yang dapat bergerak. Dengan demikian, manusia menjadi mahluk hidup bukan karena kemampuan manusia itu sendiri melainkan karena karunia pemberian Allah. Maksud pemberian "nafas hidup" tidak lain menunjukkan bahwa manusia hanya hidup dari pemberian Allah. Allah menaruh belas kasihan kepada manusia karena manusia adalah abu (Mzm 103:4; Ayb 10:9). "Nafas hidup" menyatakan bahwa kehidupan yang diberikan itu adalah milik Tuhan, bukan milik manusia.

Di sisi lain, dinyatakan juga bahwa manusia itu diciptakan menurut gambar dan rupa Allah (Kej 1:26a). Kesegambaran manusia dengan Allah bukanlah berarti memiliki kesamaan dalam hal jasmani, melainkan kesegambaran yang dimaksud berarti manusia dijadikan memiliki kesamaan ilahi yang menyifatkan garis penghubung dari Allah dan manusia. Dengan kata lain, menjadi segambar dengan Allah berarti menjadi manusia yang hidup dalam hubungan dengan Allah.[39] Diciptakan segambar dengan Allah adalah mencerminkan perwakilan atau penampakan Allah yang adalah Roh adanya, melalui manusia yang nampak secara daging. Status manusia sebagai wakil Allah adalah dalam hal memerintah bumi (Kej 1:26b), namun tugas memerintah ini tidak dapat diartikan manusia sama kedudukannya dengan Allah. Sebab tanpa dijadikan segambar dengan Allah, maka manusia itu sama derajatnya dengan mahluk ciptaan lainnya. Manusia diciptakan segambar dengan Allah, berarti mirip dengan sifat Allah, mirip dengan kehidupan sorgawi. Itulah sebabnya manusia merupakan mahluk yang tertinggi harkatnya di bumi, walaupun pada hakekatnya manusia itu tetap merupakan mahluk ciptaan.[40] Dengan demikian, sebagai wakil Allah manusia bertugas melaksanakan apa yang menjadi kehendak Penciptanya yaitu untuk menyatakan keadilan, kasih dan kemuliaan Allah di dunia ini.

Melalui teladan diriNya dan pengajaranNya, Yesus sepenuhnya mendukung pandangan PL tentang solidaritas di antara sesama manusia termasuk pemerataan tanggung jawab.[41] Dan dalam khotbahNya di bukit, Yesus memberikan kriteria kriteria bagi manusia sebagai mahluk sosial. Ia harus bermurah hati terhadap orang lain (Mat 5:7), bertindak sebagai pembawa damai (Mat 5:9), membawa terang yang bercahaya bagi orang lain (Mat 5:16), menghindarkan diri dari rasa marah atau menghina saudara-saudaranya (Mat 5:22 dyb), menjauhkan diri dari perbuatan zinah atau perceraian (Mat 5:27 dyb), berkata benar secara mutlak (Mat 5:33 dyb), menyerahkan jubahnya kepada orang lain yang lebih yang lebih memerlukannya (Mat 5:40); bahkan mengasihi musuh (Mat 5:44) dan tidak menghakimi orang lain (MatMat 7:1 dyb). Semuanya itu menunjukkan bahwa seseorang dalam bersikap dan bertindak harus memperhitungkan tanggung jawab dalam masyarakat.[42] Melalui ajaran Khotbah Di Bukit tersebut, tidak dapat disangkal lagi bahwa tujuan manusia sesungguhnya bukan hanya bertindak secara bertanggung jawab kepada Allah dalam kehidupan beragama secara pribadi, melainkan juga bertindak secara bertanggung jawab dalam kehidupan bermasyarakat. Dengan demikian, selain untuk hidup bersekutu dengan Allah, manusia juga dicipta sebagai mahluk sosial untuk bersekutu dengan sesamanya. Di mana hidup persekutuan itu terutama untuk hidup saling tolong menolong dalam rangka menyatakan keadilan dan kasih Allah.[43]

5.2 Pemahaman Kesejahteraan

Alkitab menekankan bahwa kesejahteraan itu berarti semua kekacauan dalam kehidupan manusia dapat diatur, semua penyakit disembuhkan, semua gangguan diatasi, semua perpecahan dipersatukan kembali.[44] Kesejahteraan ini merupakan visi Alkitab tentang suatu persekutuan yang mencakup seluruh ciptaan (Im 26:4-6; Yeh 34:25-39). Dalam pandangan Alkitab, kesejahteraan itu harus dirumuskan baik secara negatif maupun secara positif. Secara negatif, manusia itu sejahtera apabila ia bebas dari rasa lapar dan miskin, dari kecemasan akan hari esok, bebas dari rasa takut, bebas dari rasa ketertindasan, apabila ia tidak merasa diperlakukan tidak adil. Secara positif, manusia itu sejahtera apabila ia merasa aman, tenteram, selamat, apabila ia bisa hidup sesuai dengan cita-cita dan nilai-nilainya, apabila ia merasa bebas untuk mewujudkan kehidupannya sendiri dan kehidupan sosialnya sesuai dengan aspirasi-aspirasi serta dengan kemungkinan-kemungkinan yang tersedia baginya.[45] Dengan kata lain, kesejahteraan itu merkupakan situasi di mana kemampuan dan bahkan kreativitas manusia dalam segala keterbatasannya bisa dikebangkan dalam suasana kehidupan yang tenang tanpa merasakan adanya intimidasi.

Kesejahteraan atau "syalom" adalah milik seluruh warga masyarakat.[46] Sehingga dengan demikian, kesejahteraan itu perlu dialami oleh seluruh masyarakat. Kalau sebagian masyarakat hidup dengan sejahtera, padahal sebagian yang lain menderita, maka keadaan itu bukan "syalom" melainkan ketidakseimbangan. Dalam "syalom" tidak ada orang yang diabaikan atau diasingkan, melainkan semua orang diikutsertakan dalam persekutuan.[47] Kesejahteraan yang sejati hanya mungkin terwujud apabila keadilan ditegakkan. Dengan kata lain, kesejahteraan sejati terwujud sesudah keadilan diwujudkan, bukan sebelumnya. Oleh sebab itu ketidakadilan dan pemerasan yang merusak "syalom" dan menciptakan pertentangan dalam masyarakat, merupakan prioritas utama yang harus dilenyapkan. Sehingga kesejahteraan sosial seringkali hanya dapat diperoleh dengan perjuangan dan pertentangan terhadap semua sumber penindasan.[48]

5.3 Korelasi Keadilan Sosial dengan Perjamuan dalam PL

Dalam mengevaluasi bukti-bukti tentang hubungan antara status sosial dan arah interaksi, perlu diperhatikan berbagai jenis dan ukuran interaksi.[49] Alkitab menyaksikan bahwa adil itu sendiri merupakan sifat Allah. Dan keadilan sosial adalah merupakan keadaan di mana segala sesuatu bentuk interaksi antar manusia yang berlangsung berdasarkan kehendak Allah yang adalah sumber keadilan itu sendiri. Kata keadilan sosial dalam hal ini untuk membedakan dari kata keadilan yang sering dipakai dalam dunia pengadilan. Menurut Alkitab, bahwa manusia merupakan mahluk ciptaan Allah, yang diciptakan segambar dengan Allah itu sendiri. Kesegambaran manusia dengan Allah bukanlah menyatakan bahwa manusia itu sama dengan Allah, melainkan hendak menyatakan bahwa manusia memiliki sifat keilahian dan hidup dalam hubungannya dengan Allah. Sehingga manusia dalam hidupnya mempunyai tanggung jawab penuh untuk menyatakan kebenaran, keadilan dan cinta kasih Allah.[50] Alkitab menekankan bahwa kesejahteraan itu berarti semua kekacauan dalam kehidupan manusia diatur, semua penyakit disembuhkan, semua gangguan diatasi, semua perpecahan dipersatukan kembali. Kesejahteraan merupakan situasi di mana kemampuan dan bahkan kreativitas manusia dalam segala keterbatasannya bisa dikembangkan dalam suasana kehidupan yang tenang tanpa merasakan adanya intimidasi. Kesejahteraan ini merupakan visi Alkitab tentang suatu persekutuan yang mencakup seluruh ciptaan (Im 26:4-6; Yeh 34:25-39). Dan kesejahteraan akan terwujud apabila keadilan dinyatakan.

Demi kelayakan martabat manusia, makan setiap hari bukanlah suatu kemewahan, melainkan persyaratan minimal yang mutlak. Bahwa Tora dalam Perjanjian Lama memperhatikan dan mempedulikan perkara ini, merupakan kenyataan bahwa Tora terkait dalam segala aspek kehidupan manusia tanpa membedakan secara prinsipil antara perkara "rohani" dan "kebendaan". Bukankah kehidupan manusia tidak hanya kena-mengena dengan "masalah-masalah yang muluk-muluk" karena tak seorang pun yang dapat melepaskan diri dari kebutuhan yang paling utama. Pada waktu tertentu, orang memerlukan makan dan minum. Maka tidaklah salah jika perjamuan makan disebut "kejahatan mutlak yang sangat perlu". Namun sedikit yang bersedia mendukung kualifikasi yang begitu negatif. Di samping itu, mereka merasa mendapat dukungan penuh dari berbagai penulis Alkitab, dengan memberikan berbagai anjuran untuk tetap menikmati mati hasil negeri dan kebaikan tanah (1 sam. 30:16; Ayb. 21:25; Pkh. 9:7; Yes. 22:13.

Perjamuan mengikat persaudaraan antarmanusia. Barangsiapa menghayati itu, tidak akan heran bahwa bersantap bersama juga berperan secara hakiki untuk terjadinya suatu persekutuan. Itu tidak saja berlaku untuk perjanjian antar manusia tetapi juga dalam perjanjian antara umat Israel dan Allah sebagai pemrakarsa (bnd. Kej. 26:30; 31:46, 54; Kel. 24:11; Yos. 9:14).[51] Bahkan tidak mustahil bahwa ungkapan sesehari "makan dan minum" dapat berfungsi sebagai sinonim untuk "penetapan perjanjian". Dalam pemahaman yang sama, Perjanjian Lama menetapkan hubungan antara kultus korban dengan kebersamaan makan dan minum yang beberapa kali "dilakukan bagi Allah" (Ul. 12: 7, 18 ; 14:25; 15:20; 27 :7 ; Kel. 8: 12 dst). Mereka yang berperan serta harus "menyucikan diri" karena Allah sendiri berfungsi sebagai Tuan Rumah dan mereka sebagai tamu yang tampil di hadapan- Nya (1 Sam. 16:5).

Suatu unsur penting dalam perjamuan juga dipraktekkan oleh para diaken. Mereka memiliki perayaan yang dikenal sebagai Perjamuan Malam, yang erat dihubungkan dengan perjamuan kasih. Para pelayan yang melayani perjamuan kasih inilah yang dikenal sebagai diaken dalam PB (bnd. Kis 6:1 dyb; 1 Kor 11:17 dyb; Yudas 12). Dari perjamuan kasih ini kemudian timbul persaudaraan dalam jemaat, yang nyata dalam pembagian roti.[52] Dalam gereja lama, para diaken membantu dalam pelayaan pembagian roti dan pembagian hal-hal lain yang dibawa oleh anggota jemaat untuk mereka yang kekurangan. Ini merupakan sebuah bentuk keadilan sosial, dimana para anggota jemaat saling berbagi dan mengikat persaudaraan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
  15. 15
  16. 16
  17. 17
  18. 18
  19. 19
  20. 20
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun