I. PENDAHULUAN
Berdasarkan Alkitab, Perjamuan Kudus adalah perjamuan yang ditetapkan dan diadakan Tuhan Yesus beserta murid-murid-Nya pada malam menjelang Ia ditangkap dan disalibkan (Mat. 26:26; Mrk. 14:22; Luk. 22:14; 1 Kor. 11:23). Perjamuan Kudus yang diadakan Yesus, berhubungan dengan upacara Pesakh Yahudi. "Pesakh" berasal dari kata kerja bahasa Ibrani yaitu "Pasakh", artinya "berlalu" atau "melewati/lewat". Kemudian dalam bahasa Indonesia disebut dengan istilah Paskah. Dalam Keluaran 12:13, Allah berjanji bahwa hukuman-Nya akan berlalu pada pintu-pintu yang diberi tanda dengan darah anak domba Paskah. Artinya, Paskah menyatakan perjanjian yang diadakan Allah dengan Israel untuk kelepasan bangsa tersebut dari perbudakan di Mesir (Ul. 16: 1 ff).[1]
Kemudian pemahaman Perjamuan Paskah dalam Perjanjian Lama dilanjutkan dan dikembangkan serta ditetapkan dalam kesaksian Perjanjian Baru. Ketika Yesus merayakan Perjamuan Paskah untuk terakhir kalinya, Ia mengambil roti, memecahkan serta membagikannya kepada murid-murid-Nya serta berkata : "Inilah tubuh-Ku yang diserahkan bagi kamu; perbuatlah ini menjadi peringatan akan Aku!" (1 Kor. 11:24). Pada akhir pertemuan, ketika diberikan-Nya cawan berisi air anggur, Ia berkata: "cawan ini adalah perjanjian baru yang dimateraikan oleh darah-Ku; perbuatlah ini, setiap kali kamu meminumnya, menjadi peringatan akan Aku," (1 Kor. 11:25). Berdasarkan perkataan-perkataan inilah gereja mengadakan Perjamuan Kudus untuk mengenang dan bersyukur atas kematian dan kebangkitan Yesus Kristus.
Perjamuan Kudus adalah jamuan perjanjian yang diadakan Allah dengan umat-Nya di bukit Golgata ("Perjanjian yang baru"), di mana anak Domba Paskah telah dikorbankan satu kali untuk selamanya (1 Kor. 5:7). Bila pada perayaan Perjamuan Kudus, orang percaya menerima roti dan anggur maka dengan "Firman yang kelihatan (Kristologi bawah)" ini ditegaskan bahwa orang percaya boleh ambil bagian dalam keselamatan yang dikerjakan Kristus bagi manusia. Sebab dengan menerima roti dan anggur perjamuan, menandakan bahwa orang percaya dijadikan satu dengan Kristus dalam kematian-Nya.[2] Dengan merayakan Perjamuan Kudus, gereja mengenang perjamuan perpisahan antara Yesus dengan murid-murid-Nya. Keagungan Perjamuan Kudus itu digambarkan oleh Injil Yohanes dengan pembasuhan kaki para rasul oleh Yesus untuk menunjukkan bagaimana Kerajaan Allah datang dengan jalan penghambaan sehingga kemuliaan-Nya akan datang sampai akhir zaman.[3]
Oleh karena itu Perjamuan Kudus memiliki makna yang sangat besar kepada orang percaya. Perjamuan Kudus dapat menerangkan dan memberi jawaban kepada orang percaya tentang siapa Yesus yang sebenarnya dan untuk apa Dia datang. Dengan demikian Perjamuan Kudus adalah sesuatu pengajaran yang sangat berharga tentang diri Yesus. Keduabelas murid-Nya sendiri pada zamannya tidak menyadari bahwa perayaan itu adalah suatu eksistensi Allah di dalam diri Yesus. Artinya perjamuan itu bukan hanya sebatas perjamuan, sebagaimana tradisi yang biasa dilakukan pada zaman itu. Sebab Perjamuan Kudus itu, pada dasarnya memperlihatkan rahasia kerajaan Allah yang di sorga, yaitu kerajaan Allah yang didiami oleh orang-orang yang percaya, yang sudah diampuni dosa-dosanya serta mendapat keselamatan. Melalui Perjamuan Kudus orang percaya telah berada, melihat dan merasakan kerajaan Allah yang dimaksud Yesus dalam dunia dan pada kehidupan yang akan datang yaitu bersekutu dengan tubuh dan darah Yesus Kristus.
Dalam memahami dasar dari Perjamuan Kudus, perlu untuk menelusuri sejarah dan dasar biblisnya dalam PL. Memang, umat Allah dalam PL belum mengenal Perjamuan Kudus, namun mereka memiliki perayaan yang dihubungkan dengan perjamuan. Mereka memakan daging dan memercikkan darahnya sebagai simbol yang diamanatkan oleh Tuhan. Kebanyakan ahli mengatakan bahwa Perjamuan Kudus berasal dari ritus Perjamuan Makan dalam PL, dan yang tentu saja maknanya berbeda sekali dengan perjamuan kudus. Oleh sebab itu, perjamuan paskah akan menjadi titik utama penelitian, sebab perayaan paskah merupakan perayaan besar bagi umat Allah dalam PL.
II. PERJAMUAN MAKAN DALAM PL
Dalam Perjanjian Lama, perjamuan merupakan fungsi sosial yang sangat penting dalam masyarakat. Bahkan dalam dunia kita masa kini yang terasa terus-menerus dikejar waktu dan dalam citra individualisme, kita selalu menyediakan waktu untuk bersantap bersama keluarga, sahabat dan kenalan. Juga dalam dunia diplomatik antarnegara dalam suasana karya dan usaha, jamuan makan tidak jarang dimanfaatkan untuk mengambil berbagai macam keputusan dan penandatanganan kontrak. Barangsiapa pada waktu ini mengadakan perjalanan keliling Asia atau Afrika atau mengadakan kunjungan ke negara-negara Arab, akan segera melihat bagaimana keramahtamahan menyambut tamu selalu dikaitkan dengan makan dan minum. Demikianlah dalam tradisi Yahudi menurut Perjanjian Lama, seperti juga di dunia Timur kuno, jamuan makan sangat berperan dalam kehidupan sesehari. Para tamu selalu diundang ke meja makan untuk menikmati hidangan yang paling lezat. Peristiwa-peristiwa keluarga yang patut diperingati dijadikan kebiasaan untuk mengundang sahabat dan kenalan untuk bersama-sama memanfaatkan hidangan yang mewah. Hal itu tidak saja berkenaan dengan peristiwa yang menggembirakan, seperti peristiwa kelahiran, sunat, pertunangan atau pernikahan.
Memang benar bahwa di Israel kuno puasa dipandang sebagai tanda berkabung dan kesedihan (Ul. 26:141; 1 Sam. 1:7, 18; 20: 34), tetapi juga terdapat petunjuk bahwa jamuan makan adalah bagian dari ritus perkabungan. "Memecahkan roti tanda berkabung" dimaksudkan untuk menghibur yang sedang berduka; demikian juga "cawan penghiburan", yang diberi kepada orang yang berkabung, mempunyai fungsi yang sama (Yer. 16:7). Pada meja makan orang tertawa, tetapi juga menangis; ada waktu untuk tertawa dan sukacita, tetapi juga untuk kesungguhan hidup. Orang sehidangan terjalin satu kepada yang lain oleh ikatan yang kuat. Mereka membentuk satu persekutuan yang tercipta dan terkendalikan oleh perjamuan.[4] Dalam suatu masyarakat yang tidak membedakan yang duniawi dan yang sakral, warganya akan saling mengunjungi untuk bersama-sama makan dan minum, tidak saja pada peristiwa penting dalam kehidupan sesehari, tetapi juga pada peristiwa agama. Sulit dipastikan berapa lama kebiasaan merayakan hari Sabat dilakukan secara berlebihan melalui suatu perjamuan makan khusus yang menyerupai pesta. Yang pasti ialah bahwa kebiasaan ini telah berjalan jauh silam dalam sejarah umat Yahudi.
Melalui Kitab Perjanjian Lama, dapat kita ketahui bahwa bangsa Israel pada zamannya tidak mengenal "Perjamuan Kudus", namun telah mengenal Perjamuan Bersama dengan memberikan persembahan atau kurban kepada Allah (Ul. 12:7).[5] Perjamuan Bersama itu diadakan sebagai materai atau segel untuk perjanjian yang diikat oleh Yahwe dengan "bangsa Israel" (Kel. 24:11; Mzm. 50:5). Perjamuan ini mempunyai dwi-fungsi yaitu: Perjamuan kepada Yahwe dan perjanjian di antara mereka satu sama lain.
Selain Perjamuan Bersama, bangsa Israel juga mengenal dan merayakan Perjamuan Paskah, dengan mempersembahkan korban bakaran kepada Allah yaitu seekor anak domba yang tidak bercacat, dengan memercikkan darah kurban itu di atas ambang pintu rumah masing-masing. Perjamuan Paskah ini ditetapkan Yahwe untuk selalu diperingati setiap tahunnya. Menurut Kel. 12:24, arti dari Perjamuan Paskah itu adalah menoleh serta menghayati perbuatan Tuhan yang melepaskan nenek moyang mereka dari perbudakan di Mesir, sekaligus mengharapkan serta menantikan pelepasan Tuhan di masa mendatang.[6]