Jadi makna kurban Paskah di sini adalah sebagai "perayaan peringatan" akan keluarnya bangsa Israel dari tanah perbudakan di Mesir. Unsur peringatan ini ditegaskan dalam kitab Ulangan (Ul. 18:3). Dalam kitab Keluaran juga terdapat perikop singkat yang liturgis, yang dipakai dalam Perayaan Paskah (Kel. 12:25ff), yang menekankan unsur peringatan.[7] Dengan mengingatkan bangsa Israel akan kebebasan atau kelepasan yang mereka alami, maka Perayaan Paskah menuntut suatu kesadaran baru akan rahmat Tuhan yang diberikan-Nya segera setelah pelepasan itu. Menurut Behm[8] dalam acara perjamuan ini ada empat acara pokok yaitu:
- Permulaan; tuan rumah mengucapkan berkat atas acara itu, kemudian mengucapkan berkat atas cawan pertama yang sangat pahit, minuman pahit ini menggambarkan kehidupan bangsa Israel yang penuh penderitaan di tanah Mesir.
- Liturgi Paskah; disini tuan rumah membacakan ayat-ayat Alkitab yang diambil dari kitab Mzm. 13-14, serta cawan yang kedua diberikan untuk menerangkan penyelamatan dari Mesir.
- Inti dari perjamuan itu; tuan rumah mengambil roti yang tidak beragi dan daging domba lalu mengucapkan syukur serta membagi-bagikannya kepada anggota keluarga, kemudian cawan yang ketiga dibagikan dan diminum.
- Acara penutup; dalam acara penutup, kembali membacakan ayat Alkitab yang diambil dari Mzm. 115-118. Setelah itu tuan rumah mengucapkan syukur atas cawan keempat dan diminum, lalu tuan rumah mengucapkan berkat sebagai penutup.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa Perjamuan Kudus dalam Perjanjian Lama belum ada, namun sudah ada dua perjamuan. Pertama, Perjamuan Bersama yang diikat antara kedua belah pihak yaitu Allah dan manusia, kedua: Perayaan Paskah, yang menekankan karya Allah yang besar terhadap bangsa Israel yaitu pembebasan bangsa itu dari tanah perbudakan di Mesir.[9]
2.1 Perjamuan Makan yang Lazim di Israel Kuno
Siapa pun yang berharap dapat menemukan penjelasan tentang kehidupan yang lazim di Israel berabad-abad yang lalu, akan segera diperhadapkan pada kekecewaan yang tak dapat dihindari. Secara lahiriah, tidak terdapat banyak perbedaan antara Perjanjian Lama dengan naskah-naskah lain yang menceritakan hal-hal dari zaman yang telah lama berlalu. Sama halnya dengan Perjanjian Lama, naskah-naskah kuno di luar Alkitab sama sekali tidak menjadikan sembarang orang sebagai pusat perhatiannya. Para penulis kronik maupun penyaji laporan agaknya hanya tertarik pada perilaku warga masyarakat di lapisan atas, seperti para ulama, imam dan nabi, ahli hukum Tora; para panglima, pangeran, raja dan ratu; jabatan-jabatan itulah yang memenuhi halaman naskah-naskah mereka. cerita-cerita perjanjian Lama lebih sering membawa kita ke dalam kehidupan istana samaria dan Yerusalem, ketimbang dalam rumah-rumah para petani sederhana di dataran Galilea dan Yudea.
Alkitab bukanlah penelitian sejarah dan budaya dalam arti kata masa kini. Mereka yang bertanggung jawab untuk publikasi daripada naskah-naskah alkitabiah tidak berupaya menyajikan gambaran yang lengkap dan mendetail dari pergaulan hidup pada zamannya. Juga dalam menangani tema kita ini perlu disadari bahwa perhatian mereka tertuju pada hal-hal yang lain. Memang benar bahwa mereka mengarahkan perhatiannya terutama pada dunia dagang dan cara orang-orang berkuasa berperilaku sekalipun tanpa maksud untuk mengambil muka pada mereka itu. Mereka mengikuti secara kritis kehidupan para rqja dan keluarganya dan pada saat-saat para penguasa dunia mengadakan penyimpangan atas hukum Allah, mulailah para nabi seperti Natan (2 Sam. 12:1-25) dan Elia (1 Raj. 17-18) menegur mereka tanpa tedeng aling-aling. Para penulis bagian-bagian kitab Perjanjian Lama pada umumnya kurang memberikan perhatian kepada peristiwa-peristiwa kepahlawanan di sepanjang sejarah Israel. Mereka menggunakan ukuran tersendiri dalam menilai dan mempertimbangkan masa lampau, tidak seperti yang lazim digunakan. Seorang raja dari Yehuda atau Israel misalnya, tidak disebut "besar" karena keberhasilannya dalam dunia politik atau medan laga, tetapi karena ia taat dan patuh dalam "langkah-langkahnya menelusuri jalan Allah" serta menghormati hukum Tora.
Terhadap semua pertanyaan kita yang serba ingin tahu mengenai gerak langkah kehidupan "rakyat biasa" di Israel kuno, Alkitab tidak memberikan jawaban yang memuaskan jika ditinjau dari pemikiran masa kini. Mengenai berapa kali orang makan dalam sehari misalnya, tak dapat pula dipastikan dan bahkan tak jelas pula pada saat mana lazimnya mereka makan. Kepustakaan Yahudi-muda dan para rabi memberikan kesan bahwa sepanjang minggu kerjanya mereka merasa cukup dengan makan dua kali sehari. Tidak pula jelas jenis makanan apa yang lazim disediakan, tetapi berbagai bukti membawa kita pada suatu praduga bahwa roti tak pernah terlupakan di atas meja makan, dan bahkan berfungsi sebagai makanan utama. Daging hampir tidak pernah tersedia dalam keluarga-keluarga biasa, karena terlalu mahal untuk keberadaan dompet yang tipis. Tetapi sesekali ada pula pengecualian atas aturan itu. Para tamu lazimnya disambut dengan hidangan daging (Kej. 18:7; 2 Sam. 12:4) dan bagi yang mampu bahkan memotong seekor binatang untuk lebih menyemarakkan peristiwa itu luk. 15:23-32). Ikan lebih mudah diperoleh. Di sepanjang pantai Laut Tengah dan di Danau Galilea orang banyak menangkap ikan. Ketika Yesus masih hidup kehidupan di tepi danau bahkan begitu makmur karena banyaknya penangkapan ikan yang hasilnya dan hasil pengolahannya banyak diekspor ke negara-negara besar dunia seperti Roma dan Atena. Keadaan itulah yang melatarbelakangi kepustakaan para nabi yang mengungkapkan kesemarakan pesta Sabat, yang selain menyajikan roti juga menghidangkan ikan. Namun agaknya para rohaniwan tetap mempertimbangkan para pengikut mereka yang keadaannya kurang mampu. Karena alasan itulah, lazimnya hanya tersedia anggur, yang_tidak jarang pula bercampur air, pada waktu ada perayaan khusus.
2.2 Perjamuan Makan dan Agama
Dalam tradisi Yahudi versi Perjanjian Lama tidak mungkin dibedakan secara jelas antara bidang kehidupan sesehari dan kehidupan beragama. Hukum-hukum dalarn Tora tidak saja menyangkut kultus korban di Bait Suci serta berbagai perkara "rohani" lainnya, tetapi sekaligus memberikan jaminan atas berlakunya hak dan keadilan. Dampak Tora bahkan begitu kuat, sehingga tak ada sedikit pun segi keberadaan dan kehidupan manusia yang tidak terjaring dalam hukum Allah. Dalam kaitannya dengan tema penelitian ini, sangatlah penting untuk dapat menyadari bahwa wilayah dapur pun masuk dalam jaringan Tora. Orang-orang yang duduk sekeliling meja makan menghadapi hidangan terkena oleh macam-macam persyaratan ketat berkenaan dengan "kesucian" hidup mereka, Apa yang disebut "kasyrut", yaitu peraturan mengenai makanan, yang sampai kini masih berlaku di kalangan Yahudi ortodoks, telah berkembang lambat laun di sepanjang abad, sehingga mendapat bentuk seperti yang kita kenal sekarang. Sekalipun demikian, pada zaman Yesus pun suatu perjamuan makan yang disebut "halal" sangat didambakan (bnd. Mrk. 7:1-28). Karena alasan-alasan itulah, orang-orang Farisi kemudian membentuk "persaudaraan" di antara yang sealiran. Mereka makan bersama, dengan harapan tidak akan ternodai oleh keharaman ritual karena seseorang yang tidak mematuhi aturan makanan sesuai Tora.
Ketiga penulis Injil sinoptik sedikit pun tidak meragukan bahwa masalah inilah yang menyebabkan konflik terbesar antaia yesus dari Nazaret dengan para penganut gerakan Farisi. Mula-mula mereka menganggap Dia sebagai sesama saudara seiman. Mereka melihat dengan penuh keheranan mereka bahwa bagi-Nya sama sekali bukan masalah untuk makan bersama orang-orang yang justru mereka jauhi: orang berdosa dan pemungut cukai (Mrk.2: 13-17; Mat. 9:9-13; Luk 5:27-32). Tingkah laku-Nya yang aneh itu tidak saja mengherankan mereka, tetapi juga menjengkelkan dan membuat mereka sedih (Mat. 1 1:1,6-19). Melalui pergaulan-Nya secara terang-terangan dengan "orang-orang yang tidak suci", maka secara sadar pula Ia telah menjauh dari kesucian ritual yang mereka anut sebagai prioritas tertinggi. Dari segala perbuatan dan ucapan-Nya segera Nampak bahwa Ia mempunyai titik tolak yang lain (Mat. 9:13) serta memberikan makna lain pada pengertian "halal" dan "haram" (Mrk. 7:15). Tidak mengherankan bahwa golongan Farisi sungguh dikejutkan oleh ulah dan perilaku Yesus sebab Tora memang mengharuskan orang percaya dengan penuh ketelitian memenuhi kewajibannya, baik dalam memilih maupun mengolah makanannya setiap. hari. Pada mulanya, Alkitab memang tidak banyak berbicara mengenai aneka makanan seperti daging, ikan dan unggas. Manusia akan dipuaskan dengan buah-buahan di padang (Kej. 1:29). Ketika Adam dan Hawa tidak mematuhi perintah Allah dan makan buah dari pohon kehidupan, hukuman yang harus mereka jalani di kemudian hari ialah bahwa "dengan berpeluh mereka akan mencari makanannya" (Kej. 3:18-19). Barulah setelah air bah, Nuh mendapat kesempatan untuk makan daging ikan dan unggas (Kej. 9:3). Berdasarkan cerita Alkitab, Allah mengaitkan perkenan ini dengan satu pembatasan: "Hanya daging yang masih ada nyawanya, yakni darahnya, janganlah kamu makan" (Kej. 9:4; bnd. Im. 7:26-27; 17:10-14; 19:26; Ul. 12:76,23; 15:23). Hukum pertama mengenai makanan ini begitu besar nilainya, sehingga dalam sidang para rasul di Yerusalem pada akhir tahun empat puluhan dalam abad pertama disepakati bahwa orang-orang Kristen yang berasal dari kekafiran juga harus berpantang dari "binatang yang mati dicekik dan dan darah" (Kis. L5:20, 29).
Tetapi Tora Musa tidak membiarkan hal itu. Semua binatang adalah ciptaan Allah, tetapi karena satu atau lain hal tidak sama "sucinya" itulah sebabnya umat Israel tidak diizinkan untuk makan "sembarang" binatang (Im. 11 dan Ul. 14). Dalam Perjanjian Baru, bertentangan dengan hukum pertama mengenai makanan larangan ini tidak terlalu dianggap penting, sehingga orang-orang Kristen yang berasal dari kekafiran pun harus patuh kepada peraturan ini. Bahkan dalam dua bagian Perjanjian Baru, penulisnya sampai menentang aturan Perjanjian Lama itu (Mrk. 7:19; Kis. 10:1b). Masalah yang berkisar mengenai kesamaan dan kepelbagaian kedua Testamen itu merupakan tugas yang paling rumit dalam teologi alkitabiah. Perbedaan pandangan atas makna makanan binatang yang halal dan haram merupakan rintangan ke arah teologi alkitabiah yang mencakup baik Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru. Makan setiap hari tidak saja memberikan daya tahan dan mengisi perut" tetapi sekaligus merupakan sarana untuk menyadarkan manusia akan tugas dan tanggung jawabnya terhadap ciptaan Allah. Karena itu, sampai pada saat ini kalangan Yahudi ortodoks tetap memperhatikan dengan cermat agar penyembelihan binatang dilakukan dengan cara yang sebaik-baiknya. Di dalamnya juga termasuk "tata cara makan" Yahudi versi Perjanjian Lama, agar penyajian hidangan dilakukan dengan sangat cermat. Tidak kurang dari tiga kali batasan berikut dicantumkan dalam Tora: "Janganlah kau masak anak kambing dalam susu induknya" (Kel. 23:19; 34:26; Ul. 14:21). Dalam tradisi rabi, hukum ini ditafsirkan sebagai larangan untuk memasak daging dan susu menjadi satu hidangan karena akan mengganggu pencernaan. Dalam tradisi Yahudi ortodoks, larangan ini benar-benar dipatuhi dengan ketat sehingga keduajenis bahan makanan itu pun tak pernah diolah dengan menggunakan peralatan yang sama.
III. PERJAMUAN PASKAH