Akibat dari berkembangnya ilmu pengetahuan modern, sebagian besar orang meyakini bahwa alam semesta berperilaku dan berevolusi memenuhi suatu keteraturan berdasarkan hukum-hukum alam. Bahkan, dalam tingkatan yang paling ekstrim, ada pula golongan orang yang meyakini bahwa dengan adanya hukum alam (fisika) maka alam semesta dapat terbentuk (lahir) dengan sendirinya tanpa campur tangan Pencipta, dan oleh karenanya kitab suci dipandang sebagai dongeng kuno yang ketinggalan zaman.
Memasuki abad ke-20, ada dua 'hukum' fisika yang menjadi fondasi dari fisika modern serta berperan sebagai penentu arah perkembangan ilmu pengetahuan serta teknologi modern, yaitu teori kuantum dan teori relativitas Einstein. Teori relativitas Einstein terbagi menjadi dua, yang pertama adalah teori relativitas khusus yang memperkenalkan kesetaraan massa-energi, dan yang kedua adalah teori relativitas umum yang memperkenalkan kesetaraan massa dan kelengkungan ruang-waktu (gravitasi); relativitas umum Einstein adalah bentuk umum dari teori gravitasi yang sudah diperkenalkan lebih dulu oleh Sir Isaac Newton.
Salah satu konsekuensi dari teori relativitas umum Einstein adalah formula matematisnya memprediksi alam semesta yang mengembang atau mengerut. Hal inilah yang pada awalnya membuat Einstein sedikit ragu-ragu tentang perhitungan teorinya pasca dipublikasikan. Keraguan itu sirna setelah beberapa tahun kemudian, astronom Amerika Serikat bernama Edwin Hubble membuktikan secara eksperimental bahwa alam semesta benar-benar mengembang setiap waktu. Karena alam semesta mengembang setiap waktu, maka jika arah panah waktu di balik (waktu dihitung mundur ke masa lalu), kita akan mendapati alam semesta yang mengerut setiap saat. Â Berdasarkan hal ini, beserta dengan dukungan dan perhitungan ilmiah lainnya, maka disimpulkan bahwa pada suatu waktu di masa lampau, seluruh materi yang ada di alam semesta ini terkumpul dan terkompres menjadi satu dalam ukuran yang sangat kecil yang disebut sebagai partikel primordial atau singularitas.Â
Sekitar 13,8 milyar tahun yang lalu, partikel primordial ini mengalami suatu proses pengembangan yang super cepat dalam rentang waktu yang super singkat (seperti sebuah dentuman) yang oleh ilmuwan disebut sebagai big bang. Berdasarkan bukti dari berbagai penelitian ilmiah di bidang fisika maupun disiplin ilmu sains lainnya, baik secara teoritis maupun eksperimental, ilmuwan menyimpulkan bahwa alam semesta kita terbentuk secara spontan lalu berkembang menjadi keadaannya yang sekarang melalui sebuah evolusi selama milyaran tahun. Â Jadi, tanpa campur tangan 'pencipta', alam semesta ini diyakini bisa eksis dengan sendirinya. Oleh karena itu lahirlah berbagai paham yang menolak keberadaan Tuhan.
Hal ini jelas menimbulkan pro dan kontra tentang mana yang benar, apakah sains? atau kepercayaan (agama) yang sudah dipegang secara turun temurun sejak berabad-abad yang lalu?
Pada dasarnya, tidak ada aturan mutlak di dunia ini tentang mana yang benar dan mana yang salah jika hal itu berhubungan dengan kebebasan manusia dalam berpikir dan berimajinasi. Setiap manusia berdiri di atas persepsi dan keyakinan-nya masing-masing. Bagi sebagian orang, sains saja sudah cukup; karena apa yang tertulis dalam kitab suci tentang penciptaan tidak bisa dibuktikan secara ilmiah. Oleh karena itu golongan ini tidak menerima kisah penciptaan sebagai sebuah kebenaran. Sebaliknya, sebagian orang yang lain, dengan alasan mempertimbangkan hubungan sebab-akibat (kausalitas), meyakini bahwa adalah hal yang mustahil jika sesuatu dapat eksis tanpa ada yang mencipta. Oleh karenanya, menurut golongan ini, semaju apapun perkembangan ilmu sains, kita masih membutuhkan kehadiran Pencipta untuk melengkapi puzzle misteri alam semesta.
Di dunia ini tidak ada satupun individu yang mengetahui secara pasti bagaimana proses terbentuknya alam semesta kita secara detail. Pada satu sisi, kitab suci menuliskan bahwa alam semesta diciptakan oleh Pencipta, namun tidak menjabarkannya secara detail bagaimana prosesnya. Hal ini terjadi karena kitab suci tidak dimaksudkan untuk berfungsi sebagai ensiklopedia ilmu pengetahuan alam. Pada sisi yang lain, sains dapat menjabarkan dengan cukup lengkap bagaimana proses yang dijalani alam semesta selama proses evolusinya; mulai dari awal hingga usianya yang sekarang beserta dengan perilaku dan sifat-sifatnya. Namun, sains belum bisa menjelaskan secara menyeluruh dan utuh tentang asal usul alam semesta baik secara teori maupun eksperimental.
Model (teori sains) terbaik saat ini untuk menjelaskan awal mula dan evolusi alam semesta adalah teori big bang - seperti yang telah disinggung di atas. Namun, teori big bang sendiri melahirkan teka-teki baru yang belum terpecahkan sampai sekarang, seperti misteri energi gelap yang menyebabkan alam semesta mengembang semakin dipercepat setiap waktu, serta teka teki mengenai asal usul partikel primordial (singularitas) di masa lalu. Maksud dari yang disebutkan terakhir adalah bahwa apa yang terjadi dalam singularitas, dan apa yang terjadi sebelum big bang masih belum diketahui. Semuanya masih menjadi teka-teki. Jadi, entah mau menerima teori big bang sebagai kebenaran, meskipun teori ini belum dapat menjelaskan secara menyeluruh mengenai asal-usul dan evolusi alam semesta, atau sebaliknya mempercayai bahwa alam semesta diciptakan oleh sosok yang disebut Tuhan tanpa mempedulikan bahwa hal itu tidak bisa dibuktikan secara ilmiah, kedua-duanya dapat disebut sebagai sebuah keyakinan. Setiap orang berhak untuk memilih dengan bebas mana yang ingin diyakininya.
Tulisan ini sama sekali tidak bermaksud untuk membuktikan mana yang benar dan mana yang salah. Mungkin, kita sering sekali berhadapan dengan tulisan-tulisan sains populer yang menjelaskan tentang teori awal mula alam semesta secara ilmiah, termasuk tulisan-tulisan saya dalam blog pribadi saya maupun pada platform kompasiana ini. Jadi, jika biasanya saya menulis tentang alam semesta murni dari sudut pandang sains, maka dalam tulisan kali ini saya mencoba mengulas tentang suatu kasus yang terjadi pada awal mula alam semesta jika memang benar alam semesta diciptakan.
Ketika membahas kisah penciptaan dari sudut pandang agama dan kitab suci, umumnya hal itu mengacu pada kisah penciptaan yang ditulis oleh (nabi) Musa dalam salah satu kitab tauratnya yang disebut kitab Beresyit (dalam bahasa Inggris; Genesis) - atau yang dalam bahasa Indonesia diterjemahkan sebagai kitab Kejadian. Kitab taurat adalah lima kitab yang ditulis Musa, yang diterima dan diakui oleh pemeluk agama Abrahamik, termasuk agama Yahudi, Nasrani (Protestan dan Katolik), dan Muslim. Pemeluk-pemeluk agama ini merupakan mayoritas dari golongan orang-orang di seluruh dunia yang mempercayai dan mengakui keberadaan Tuhan.
[Perlu dipahami dengan sangat jelas bahwa membahas semua kronologi penciptaan dalam kitab taurat dari sudut pandang sains adalah masalah yang benar-benar kompleks. Oleh karena itu, sesuai judul tulisan ini beserta penjelasan sebelumnya, maka ditekankan bahwa tulisan ini hanya fokus pada satu kasus khusus dari kisah penciptaan yang ditulis oleh Musa, yaitu tentang urutan penciptaan terang atau cahaya dan matahari beserta benda-benda penerang lainnya.]
Dalam kitab tauratnya, Musa menulis urut-urutan penciptaan dalam rangkaian waktu tujuh hari yang disebut minggu penciptaan. Salah satu hal yang menarik dalam urutan penciptaan tersebut adalah terang atau cahaya diciptakan pada hari pertama yang sekaligus menandai dimulainya pergantian siang dan malam sebagai satuan harian. Sedangkan matahari yang kita kenal, yang penampakannya menjadi faktor pemisah periode siang dan malam baru diciptakan pada hari yang ke-empat. Jadi, jika benar alam semesta diciptakan oleh suatu Kecerdasan Yang Maha Tinggi, yang pribadinya disebut Tuhan, dan itu sesuai dengan apa yang ditulis (nabi) Musa dalam kitab tauratnya, maka apakah kronologi penciptaan tersebut mungkin terjadi jika dilihat dari sudut pandang sains? Jawaban singkat untuk pertanyaan ini adalah YA, sains mengizinkan hal itu terjadi. Bahkan, jika memang kisah penciptaan itu benar seperti yang ditulis Musa, maka cahaya memang harus diciptakan lebih dulu sebelum matahari.
Dalam pemahaman manusia yang hidup sezaman dengan Musa, terang dan gelap dipahami sebagai dua objek yang memiliki esensinya masing-masing, seolah-olah kedua hal tersebut adalah semacam dua zat berwujud yang berbeda dan bertolak belakang. Jadi, mereka belum mengetahui bahwa apa yang mereka anggap atau sebut sebagai terang dan gelap tersebut ditentukan oleh kehadiran 'objek' yang disebut cahaya. Hal ini dapat dimaklumi karena berdasarkan pengalaman sehari-hari, kita sering menjumpai bahwa pada siang hari ketika keadaan sedang mendung, dan matahari tidak tampak, keadaan sekeliling kita masih tetap dalam kondisi terang atau cukup terang. Sebaliknya, pada malam hari, meskipun ada 'cahaya' bulan dan cahaya dari bintang-bintang, keadaan di sekitar kita tampak gelap dengan langit yang berwarna hitam pekat. Â Bagi mereka yang belum mengetahui bahwa siang dan malam, termasuk warna langit (atmosfer) ditentukan oleh ada tidaknya cahaya matahari serta pengaruh dari posisi matahari terhadap bumi, wajar untuk beranggapan bahwa terang dan gelap adalah dua wujud zat yang berdiri sendiri dan tidak bergantung pada cahaya. Setengah hari yang dikuasai terang disebut siang, sedangkan setengah hari yang dikuasai gelap disebut malam. Oleh sebab itu, bagi mereka yang hidup pada masa itu, pancaran sinar (cahaya) dan terang adalah dua hal berbeda yang tidak berhubungan sama sekali. Bagi mereka, terang (siang hari) dapat eksis dengan sendirinya tanpa peran dari cahaya.
Dalam menulis tentang kisah penciptaan, Musa jelas-jelas menghubungkan secara langsung antara terang dan gelap terhadap siang dan malam. Jadi, jelas bahwa terang yang dimaksud adalah dalam pengertian harfiah, yaitu terang fisik atau cahaya, bukan terang Ilahi, terang pencerahan, atau terang yang berhubungan dengan keadaan yang bersih, dan lain sebagainya.
Dalam ilmu pengetahuan alam, terang fisik dan cahaya merujuk pada objek dan wujud yang sama. Akan tetapi, dalam penggunaan sehari-hari, kita sering menggunakan pengertian bahwa terang adalah kondisi adanya cahaya, seolah-olah terang adalah produk dari cahaya. Hal ini dikarenakan pengertian kata terang yang terlalu fleksibel dalam bahasa Indonesia. Namun, jika kita bersikeras menggunakan pengertian ini, maka jelas bahwa yang diciptakan adalah cahaya bukan terangnya.Â
(Demi menghindari ambiguitas maka untuk selanjutnya kita hanya akan menggunakan kata cahaya jika hal itu merujuk pada apa yang ciptakan pada hari pertama dalam kitab taurat Musa).
Dari zaman Musa, kita maju pada abad ke-19, ketika untuk pertama kalinya seorang fisikawan bernama James Clerk Maxwell menunjukkan secara teoritik maupun eksperimental bahwa cahaya adalah gelombang elektromagnetik. Lebih tepatnya, Maxwell menunjukkan bahwa apa yang kita sebut sebagai cahaya adalah salah satu jenis dari jenis-jenis spektrum gelombang elektromagnetik yang disebut sebagai cahaya tampak. Secara luas, radiasi elektromagnetik itu sendiri diklasifikasikan dalam beberapa kelas, yaitu; gelombang radio, radiasi gelombang mikro, radiasi infra merah, cahaya tampak, radiasi ultraviolet, radiasi sinar-X, dan radiasi gamma. Klasifikasi di atas diurutkan dari jenis radiasi yang memiliki frekuensi dan energi terendah ke jenis radiasi dengan frekuensi dan energi yang paling tinggi.
Mata manusia memiliki keterbatasan untuk hanya dapat menangkap radiasi gelombang elektromagnetik yang besar frekuensinya berada di 'tengah', yaitu gelombang cahaya tampak yang frekuensinya berada di antara 400 hingga 790 teraHertz. Radiasi dengan frekuensi yang lebih kecil dari itu, seperti radiasi inframerah, gelombang mikro dan gelombang radio, ataupun radiasi yang frekuensinya lebih dari 790 teraHertz, seperti sinar-X, sinar ultraviolet dan sinar gamma tidak bisa ditangkap oleh mata manusia. Cahaya tampak pun terbagi lagi atas beberapa spektrum yang ditangkap oleh mata manusia sebagai cahaya dengan warna-warna pelangi.
Urutan besar-kecilnya frekuensi atau energi dari jenis-jenis cahaya tampak selaras dengan urutan warna-warna pelangi, dimana spektrum yang frekuensi energinya paling rendah adalah merah, dan spektrum yang frekuensinya paling tinggi adalah biru. Pada saat kita memanaskan besi dan besi mulai meradiasikan panas, maka besi saat itu sudah memancarkan radiasi inframerah. Namun, karena inframerah bukan cahaya tampak maka kita hanya merasakan pancaran panasnya dan tidak bisa melihat warnanya. Semakin dipanaskan, besi akan mulai memasuki spektrum cahaya tampak dan mulai tampak berwarna merah gelap. Semakin dipanaskan warna merahnya akan makin cerah bahkan berubah menuju jingga hingga kekuningan. Dalam skala normal, kita hanya bisa memanaskan besi hingga memancarkan spektrum jingga kekuningan, tidak bisa mencapai warna hijau apalagi biru.
Bagaimana dengan cahaya putih yang dipancarkan matahari? Cahaya putih dari matahari merupakan gabungan dari semua jenis spektrum cahaya tampak. Hal ini pertama kali dibuktikan oleh Sir Isaac Newton dengan cara menguraikan cahaya matahari menggunakan kaca prisma. Ketika seberkas cahaya matahari dilewatkan melalui prisma oleh Newton, cahaya yang menembus prisma terurai menjadi berkas-berkas cahaya dengan warna-warna pelangi. Selanjutnya, cahaya dengan berbagai warna 'pelangi' tersebut dilewatkan pada prisma yang kedua, maka setelah melewati prisma kedua, cahaya tadi kembali menjadi cahaya putih. Jadi, jika kita menggabungkan semua warna primer cahaya yang ada dalam rentang frekuensi cahaya tampak maka akan menghasilkan cahaya putih.
Ketika memasuki abad ke-20 dimana teori kuantum ditemukan, sejarah peradaban manusia mulai memasuki babak baru. Oleh Planck dan Einstein, cahaya beserta jenis-jenis radiasi gelombang elektromagnetik lainnya yang sebelumnya dikenal sebagai gelombang, dibuktikan memiliki sifat lain sebagai partikel. Lebih tepatnya, menurut Einstein, gelombang cahaya adalah kumpulan paket-paket energi atau partikel-partikel cahaya yang disebut foton. Jadi, secara gamblang dapat disebut bahwa cahaya adalah segerombolan partikel-partikel foton.
Jika kita menghubungkannya dengan kisah penciptaan, maka ketika Musa menulis bahwa cahaya diciptakan pada hari pertama, kita harus memikirkan bahwa yang diciptakan itu adalah foton. Selanjutnya, oleh karena foton adalah partikel elementer yang memuat atau membawa informasi dari gaya elektromagnetik, maka itu berarti pula bahwa pada hari pertama, semua jenis radiasi atau spektrum gelombang elektromagnetik ikut eksis, bukan cuma cahaya tampak yang dapat ditangkap oleh mata manusia.
Penelitian di bidang sains juga menunjukkan bahwa fase awal terbentuknya sebuah bintang adalah melalui proses keruntuhan gravitasi yang dialami oleh awan debu dan gas (nebula) yang komposisinya didominasi oleh partikel atom Hidrogen dan Helium. Setelah bagian inti gravitasi nebula semakin padat dan semakin panas, maka interaksi dalam bentuk tumbukan antar partikel tersebut akan melepaskan radiasi gelombang elektromagnetik yang terakumulasi membentuk apa yang disebut proto bintang. Jadi, dalam skala kosmik, gelombang elektromagnetik atau cahaya dapat dihasilkan secara alamiah melalui proses ini. Ketika protobintang bertumbuh dan menjadi stabil maka proto bintang akan bertransformasi menjadi bintang.Â
Melalui penjelasan ini menjadi jelas bahwa berdasarkan urutan evolusi atau pertumbuhannya, maka cahaya (gelombang elektromagnetik) memang eksis lebih dulu daripada bintang [matahari sendiri merupakan sebuah bintang dari jenis bintang katai kuning yang jaraknya paling dekat dengan kita].
Dalam mekanika kuantum, sebuah atom akan meradiasikan atau menyerap radiasi atau energi elektromagnetik ketika atom - dalam hal ini elektron dalam atom - mengalami transisi dari keadaan stabil yang satu ke keadaan stabil lainnya. Proses atau peristiwa ini lebih dikenal sebagai lompatan kuantum (quantum leap). Hal penting dari fakta ini adalah energi atau radiasi elektromagnetik berkaitan dengan suhu, sehingga secara tidak langsung radiasi elektromagnetik juga berhubungan dengan kalor yang umumnya kita sebut sebagai 'panas'. Sampai di sini setidaknya bisa disimpulkan bahwa proses dan apa saja yang diperlukan agar cahaya bisa eksis adalah hal yang kompleks. Jadi, ketika Musa menulis bahwa Sang Pencipta menciptakan cahaya pada hari pertama - jika ini memang benar - maka yang sebenarnya terjadi tidak sesederhana apa yang ditulis Musa atau sesederhana apa yang kita bayangkan. Hal ini dikarenakan bahwa dibalik frasa cahaya diciptakan pada hari pertama, sebenarnya bukan hanya cahaya yang tampak oleh mata kita saja yang diciptakan, melainkan juga semua jenis gelombang elektromagnetik, kalor, bahkan foton beserta sifat-sifat kuantumnya serta gaya gravitasi ikut eksis pada hari pertama.
[Sebenarnya, penjelasan di atas masih belum terlalu jauh. Kita masih bisa mengurutkannya lebih jauh lagi, namun hal itu akan menghasilkan penjelasan yang sangat kompleks dan akan membingungkan orang yang awam dengan sains].
Sampai di sini tentu muncul sebuah pertanyaan besar, jika memang benar matahari diciptakan belakangan pada hari keempat maka dari mana asalnya cahaya yang menerangi siang pada tiga hari pertama penciptaan? Cahaya adalah sebuah radiasi (pancaran) yang bergerak dari satu tempat ke tempat lain, oleh karena itu, dari mana cahaya tersebut memulai awal perjalanannya untuk menerangi bumi? Kita harus memahami dengan jelas bahwa cahaya yang diciptakan pada hari pertama adalah cahaya yang dapat menerangi pagi, siang dan sore hari di bumi seperti yang ditulis dengan jelas oleh Musa. Oleh karena itu, tidak bisa tidak bahwa cahaya ini haruslah jenis 'cahaya tampak' yang sama seperti cahaya yang dipancarkan oleh matahari. Sampai di sini akan muncul lagi pertanyaan lanjutan; jika matahari diciptakan pada hari ke empat, kemanakah perginya 'cahaya' yang diciptakan pada hari pertama? Dalam menjawab teka teki ini ada golongan yang berpendapat bahwa Pencipta adalah sosok yang Maha Kuasa jadi Dia telah menciptakan 'sumber cahaya' misterius untuk menerangi bumi pada tiga hari pertama.Â
Setelahnya, ketika matahari dan bintang diciptakan maka cahaya ini dibebastugaskan karena tidak dibutuhkan lagi sehingga keberadaannya menjadi lenyap. Menurut penulis, ini merupakan penjelasan yang aneh bahwa ada ciptaan yang ditetapkan hanya berumur tiga hari dan dilenyapkan setelah ada ciptaan dengan fungsi yang lebih baik. Hal ini tampak sebagai sesuatu yang tidak teratur dan tidak terencana dan jelas bertentangan dengan sifat Sang Pencipta sebagai Kecerdasan Yang Maha Tinggi yang tentunya menginginkan sebuah keteraturan.
Penjelasan yang mungkin cukup masuk akal adalah bahwa yang menjadi penerang pada tiga hari pertama penciptaan adalah apa yang sudah disinggung sebelumnya, yaitu protobintang - lebih tepatnya lagi protosun (proto matahari). Tentu saja protobintang yang dimaksud adalah protobintang berusia dewasa yang suhu intinya sudah mendekati suhu ideal untuk bertransformasi menjadi sebuah bintang.
Dalam siklusnya untuk menjadi sebuah bintang, bintang seperti matahari kita menghabiskan waktu 50 juta tahun sebagai sebuah protobintang sebelum mencapai kondisi idealnya untuk bertransformasi menjadi sebuah bintang. [Ingat bahwa jika kisah penciptaan itu benar, maka tidak selamanya objek yang diciptakan harus diciptakan dari usia nol tahun dalam kondisi yang masih mentah, tapi diciptakan dalam keadaan yang sudah jadi atau dewasa].
Dalam periode hidup sebagai protobintang, lingkungan dalam sistem proto bintang yang terdiri dari planet, proto planet ataupun planetesimal masih dikelilingi oleh awan debu dan gas yang menghalangi cahaya-tampak yang dipancarkan oleh protobintang. Mengapa harus dikelilingi awan debu dan gas? Karena proto bintang bukanlah bintang yang bisa hidup atau aktif secara mandiri menggunakan reaksi fusi nuklir pada intinya. Protobintang butuh makanan atau asupan sebagai bahan bakar untuk tetap hidup, dan itu dihirup atau dihisap dari awan debu dan gas yang mengelilinginya. Dengan alasan ini maka kita harus berasumsi bahwa protobintang-nya haruslah protobintang berusia dewasa, atau maksimal berada di penghujung usianya sebagai sebuah proto bintang. Dengan begitu maka banyaknya cahaya-tampak yang dipancarkan oleh protobintang (proto sun) yang dapat menembus penghalang awan debu dan gas, jumlahnya cukup untuk menerangi bumi, meskipun wujud protobintangnya sendiri tidak terlihat dari bumi. Setidaknya ini memungkinkan keadaan siang hari di bumi selama tiga hari pertama penciptaan kurang lebih mirip dengan keadaan siang yang mendung sepanjang hari, atau keadaan yang cukup cerah namun berawan.
Wajib diperhatikan bahwa penjelasan ini hanya sebatas hipotesis atau asumsi dari saya sebagai penulis!!! Kita belum punya bukti ilmiah bahwa apakah cahaya-tampak yang dipancarkan sebuah protobintang dewasa yang suhu intinya sudah mendekati suhu ideal untuk menjadi bintang dapat sampai dan bahkan dapat menerangi planet atau protoplanet yang berada dalam sistem kelompok (sistem tata surya) yang sama dengan proto bintang tersebut atau tidak? Dalam sistem tata surya kita yang sekarang kita tidak memiliki proto bintang sehingga kita belum bisa atau tidak bisa membuktikannya. Sebaliknya, jika proto bintang tersebut berada di sistem tata surya yang lain, atau berada di galaksi yang lain maka kita tidak bisa melihatnya dengan mata telanjang, terkecuali dengan bantuan teleskop inframerah. Alasan untuk hal ini adalah sama seperti yang sudah disebutkan di atas yaitu karena radiasi cahaya tampak dari proto bintang terhalang oleh selubung awan debu dan gas. Jadi, jika penjelasan ini benar maka ada kemungkinan bahwa bukan cuma satu proto bintang yang tercipta pada hari pertama penciptaan (proto sun), melainkan ada begitu banyak proto bintang lain yang juga tercipta di sistem tata surya yang lain dan di sistem galaksi yang lain.
Mengapa harus ada banyak proto bintang yang diciptakan pada hari pertama ? Hal ini untuk mendukung bahwa pada hari penciptaan yang keempat matahari diciptakan bersama dengan bintang-bintang yang lain. Oleh karena itu, matahari dan bintang-bintang yang diciptakan pada hari keempat dibentuk dari proto bintang - proto bintang yang diciptakan pada hari pertama. Bahkan, ada kemungkinan bahwa bulan sendiri maupun planet-planet lainnya, sejak hari pertama sudah terbentuk sebagai proto planet. Jika massa materi atau cikal bakal benda-benda langit tersebut (planet dan bulan) belum terdistribusi secara tepat sejak hari pertama, lalu pada hari keempat, tiba-tiba saja benda-benda langit itu ada secara bersamaan secara ajaib, maka percayalah bahwa tatanan bumi yang sudah dibangun selama tiga hari pertama akan rusak total. Salah satu penyebabnya adalah kehadiran gravitasi yang tiba-tiba dari objek-objek besar tersebut yang muncul secara tiba-tiba akan mengacaukan struktur dan kehidupan di bumi. Periode rotasi bumi akan terganggu, pasang surut akan terganggu, yang berakibat pada terjadinya bencana yang tidak akan pernah ada tandingannya dalam sejarah bumi. Bahkan, periode harian dengan jumlah 24 jam pasti akan berubah.
Sampai di sini mungkin ada golongan yang tidak menyukai penjelasan ini karena menganggap bahwa penjelasan ini membatasi kekuasaan Sang Pencipta yang bisa menjadikan apa saja sesuai kehendak-Nya. Coba kita melangkah sedikit lebih jauh. Pertama, kita harus mengetahui bahwa menciptakan tidak selamanya harus membuat sesuatu dari nol atau bahkan membuat sesuatu yang tidak ada menjadi ada. Mencipta, bisa juga dengan menjadikan sesuatu, atau membentuk sesuatu dari sesuatu yang lain yang sudah ada sebelumnya. Sebelum cahaya diciptakan pada hari pertama, Musa menulis bahwa alam semesta (langit dan bumi) diciptakan lebih dulu pada hari yang sama.
Apa yang disebut dengan alam semesta bukanlah sebuah ruangan yang diisi oleh benda-benda langit. Alam semesta adalah segala sesuatu yang menyusun alam semesta itu sendiri. Planet-planet, bintang-bintang, hingga material awan debu dan gas yang memenuhi ruang angkasa, dan bahkan kita manusia adalah (bagian dari) alam semesta itu sendiri. Lebih jauh lagi, segala sesuatu yang menyusun alam semesta ini jika diuraikan menjadi atom paling sederhana maka kita akan menemukan bahwa segala sesuatu tersusun dari atom hidrogen dan helium yang menjadi dasar bagi terbentuknya atom-atom lain yang lebih kompleks. [Hal ini hanya sebagai penyederhanaan, karena jika ingin ditelusuri lebih jauh lagi kita akan sampai pada partikel-partikel elementer yang terdaftar dalam model standar partikel elementer yang penjelasannya jauh lebih kompleks]. Hal ini dapat berarti bahwa jika alam semesta memang benar diciptakan, maka atom pertama yang tercipta adalah hidrogen dan helium karena atom-atom yang lain adalah produk yang muncul dari kedua atom ini.
Oleh karena itu, baik matahari, bintang, planet-planet, bumi atau objek apapun itu termasuk makhluk hidup, tersusun dari blok dasar yang sama. Hal ini juga berarti bahwa satu-satunya bagian dari teks yang ditulis Musa yang benar-benar memiliki arti sebagai penciptaan dari nol adalah penciptaan yang pertama pada hari yang pertama, yaitu ketika Musa menulis bahwa Sang Pencipta menciptakan langit dan bumi (alam semesta). Ini memiliki arti bahwa segala 'bahan mentah' alam semesta diciptakan pada saat itu juga. Jadi, cahaya yang merupakan ciptaan kedua pada hari pertama, bersama dengan ciptaan-ciptaan yang diciptakan selanjutnya, diciptakan atau dibuat berdasarkan material yang diciptakan pada penciptaan yang pertama di hari pertama.
Berkat perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, kita juga menemukan fakta yang tidak bisa dibantah bahwa alam semesta berperilaku memenuhi hukum-hukum alam yang teratur. Berdasarkan fakta ini, maka kita harus memahami bahwa jika memang benar alam semesta diciptakan oleh Sang Kecerdasan Yang Maha Tinggi, maka Dia tidak asal mencipta. Hal ini berarti bahwa Sang Pencipta tidak hanya sekedar menciptakan segala sesuatu semaunya Dia, melainkan menciptakannya sekaligus menetapkan hukum-hukum alam yang akan berlaku sepanjang usia alam semesta. Dengan kata lain, setiap kronologi dan proses yang terjadi dibalik terciptanya setiap ciptaan dalam minggu penciptaan membentuk hukum-hukum alam yang berlaku sampai saat ini. Mungkin inilah alasannya mengapa kisah penciptaan yang ditulis Musa berlangsung dalam 7 hari, bukan terjadi hanya dalam satu hari atau dalam sekejap. Jika saja penjelasan di atas benar, maka cahaya yang diciptakan pada hari pertama tidak mungkin dilenyapkan begitu saja dan kemudian diganti dengan matahari. Jadi, paling tidak, cahaya pada hari pertama mungkin berasal dari protobintang yang kemudian dijadikan sebagai bahan untuk membuat matahari (bintang). Hal ini kemudian menjadi hukum alam dan siklus yang berlaku seterusnya di alam semesta.
Di alam semesta yang luas ini, setiap waktu selalu ada kumpulan awan debu dan gas yang runtuh karena gravitasinya sendiri kemudian berevolusi menjadi protobintang. Walaupun menjadi awal dari siklus, awan debu dan gas (nebula) bukanlah protobintang, melainkan hanya sebagai 'bahan dasar'. Proto bintang juga bukanlah sebuah bintang melainkan hanya sebagai 'bahan dasar' dari sebuah bintang. Tidak semua nebula dapat menjadi protobintang, karena ada syarat-syarat alam yang harus dipenuhi. Begitu pula selanjutnya, tidak semua protobintang dapat menjadi bintang karena ada syarat-syarat juga yang harus dipenuhi oleh sebuah protobintang untuk bisa bertransformasi menjadi sebuah bintang.
Penjelasan panjang lebar ini bukanlah hasil dari suatu kajian ilmiah, melainkan hanya sebatas rangkuman dari imajinasi liar penulis yang menempatkan diri pada sisi dari golongan umat manusia yang mempercayai keberadaan Tuhan dan kisah penciptaan, dan mencoba untuk menjelaskan kisah penciptaan melalui kacamata sains dari sisi ini. Tulisan ini bukan untuk memihak atau untuk menyerang pihak manapun. Bahkan tulisan ini kemungkinan ada banyak celah dan kekeliruannya.
Pada dasarnya, berusaha mensinkronkan kitab taurat dan sains modern adalah sesuatu yang mustahil. Ini bukanlah sebuah pernyataan hiperbola, karena memang itulah kenyataannya. Musa menulis taurat ribuan tahun yang lalu dengan menggunakan konsep, pemahaman, serta ilmu sains yang berlaku pada saat itu. Dengan kata lain, Musa menulis berdasarkan ilmu astronomi kuno, yang bahkan belum ada satu orang pun yang hidup di zaman itu mengetahui bahwa Matahari adalah pusat tata surya. Selanjutnya, semua manusia yang hidup pada zaman Musa masih percaya - paling tidak mengetahui - bahwa bumi tempat kaki mereka berpijak adalah pusat alam semesta. Mereka tidak mengetahui bahwa bumi kita bulat dan berotasi. Mereka juga tidak tahu bahwa matahari adalah bintang, dan mereka juga tidak tahu bahwa kelap kelip yang mereka lihat di langit malam tidak semuanya merupakan bintang, tetapi ada juga planet-planet. Mereka tidak tahu bahwa bulan lebih kecil dari bintang, dan mereka malah beranggapan bahwa bulan memancarkan cahayanya sendiri.
Jika memang alam semesta diciptakan dan kisah penciptaan itu diwahyukan Sang Pencipta kepada Musa, maka kita tidak pernah tahu dengan pasti lewat cara apa Sang Pencipta mewahyukannya kepada Musa. Jika seandainya kisah itu diwahyukan melalui sebuah visi (penglihatan) atau mimpi, maka meskipun Musa menulis kisah itu berdasarkan penglihatannya, ia akan menulisnya dengan menggunakan pemahaman astronomi dan kosmologi kuno yang jauh berbeda dengan yang kita pahami sekarang. Sebaliknya, jika kisah itu diwahyukan secara langsung seperti sebuah pencerahan dalam diri Musa, tentunya Sang Pencipta juga mewahyukannya menggunakan konsep ilmu astronomi dan kosmologi kuno. Jika Dia mewahyukan kepada Musa menggunakan konsep ilmu pengetahuan alam (sains) yang sebenarnya, maka jelas Musa beserta semua orang yang hidup pada zaman itu akan kebingungan. Bahkan, bisa saja mereka menganggap kisah penciptaan itu sebagai sebuah dongeng yang lahir dari imajinasi yang kelewat batas karena begitu sukarnya untuk dipahami.
Jika alam semesta memang diciptakan seperti yang ditulis Musa, maka kita yang hidup di era sekarang tidak akan pernah bisa menyinkronkan pemahaman kita yang dibentuk dari pemahaman ilmu pengetahuan modern dengan teks yang ditulis berdasarkan pemahaman ilmu pengetahuan kuno. Sebaliknya, kita juga tidak bisa memaksa bahwa yang ditulis Musa adalah benar-benar mutlak bahwa seluruh kisahnya terjadi secara harfiah, karena kisah tersebut ditulis berdasarkan pemahaman ilmu pengetahuan kuno dan juga untuk dibaca oleh orang-orang yang hidup pada masa itu. Jadi, pasti ada bagian-bagian yang ditulis tidak seperti apa yang sebenarnya terjadi secara sainstifik.
Jadi, bagaimana proses terbentuknya atau lahirnya alam semesta yang kompleks ini masih tetap menjadi misteri dan teka-teki yang mungkin selamanya akan tetap menjadi misteri yang tidak akan pernah terpecahkan. Ilmu pengetahuan sains modern memiliki peluang untuk melangkah sedikit lebih maju dalam pemahaman yang lebih baik tentang asal usul alam semesta jika teori gravitasi kuantum telah ditemukan. Alasannya karena teori gravitasi kuantum adalah alat yang sangat dibutuhkan untuk dapat menjelaskan apa yang terjadi pada singularitas big bang. Karena itu, sampai saat ini, gravitasi kuantum masih menjadi cawan suci bagi seluruh ilmuwan di dunia.
Mau menerima kitab suci dan setengah menolak ilmu pengetahun alam (sains) karena dianggap tidak relevan dengan apa yang diajarkan kitab suci, atau sebaliknya, menerima ilmu pengetahuan alam dan menolak kitab suci yang dianggap tidak bersifat ilmiah dan tidak dapat dibuktikan, kedua-duanya merupakan pilihan pribadi dari setiap individu yang disebut manusia. Masing-masing berhak menentukan mana yang ingin diyakini dan mana yang tidak ingin untuk dipercayai. Dalam hal ini, penulis sendiri menempatkan diri dalam keadaan superposisi, artinya penulis berada pada kedua sisi sekaligus dalam waktu bersamaan. Bagi penulis, kedua sisi sama-sama benar menurut sudut pandang dan jalannya masing-masing. Teka-teki asal usul alam semesta yang masih menjadi misteri bagi ilmu pengetahuan modern dapat diisi oleh apa yang ditawarkan kitab suci, sebaliknya apa yang tidak bisa dijelaskan kitab suci dapat dijelaskan secara rinci oleh sains. Jadi, selama sains belum membuktikan secara utuh bahwa apa yang ditawarkan kitab suci adalah sepenuhnya salah, maka penulis akan tetap berada dalam keadaan superposisi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H