Mohon tunggu...
Ricky Hamanay
Ricky Hamanay Mohon Tunggu... Penulis - a cosmology aficionado

a spectator of the cosmic dance

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Terang Sebelum Matahari: 'Jika Benar' Alam Semesta diciptakan Seperti yang Tertulis dalam Taurat

31 Oktober 2021   18:44 Diperbarui: 9 Januari 2023   11:54 1131
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Sampai di sini mungkin ada golongan yang tidak menyukai penjelasan ini karena menganggap bahwa penjelasan ini membatasi kekuasaan Sang Pencipta yang bisa menjadikan apa saja sesuai kehendak-Nya. Coba kita melangkah sedikit lebih jauh. Pertama, kita harus mengetahui bahwa menciptakan tidak selamanya harus membuat sesuatu dari nol atau bahkan membuat sesuatu yang tidak ada menjadi ada. Mencipta, bisa juga dengan menjadikan sesuatu, atau membentuk sesuatu dari sesuatu yang lain yang sudah ada sebelumnya. Sebelum cahaya diciptakan pada hari pertama, Musa menulis bahwa alam semesta (langit dan bumi) diciptakan lebih dulu pada hari yang sama.

Apa yang disebut dengan alam semesta bukanlah sebuah ruangan yang diisi oleh benda-benda langit. Alam semesta adalah segala sesuatu yang menyusun alam semesta itu sendiri. Planet-planet, bintang-bintang, hingga material awan debu dan gas yang memenuhi ruang angkasa, dan bahkan kita manusia adalah (bagian dari) alam semesta itu sendiri. Lebih jauh lagi, segala sesuatu yang menyusun alam semesta ini jika diuraikan menjadi atom paling sederhana maka kita akan menemukan bahwa segala sesuatu tersusun dari atom hidrogen dan helium yang menjadi dasar bagi terbentuknya atom-atom lain yang lebih kompleks. [Hal ini hanya sebagai penyederhanaan, karena jika ingin ditelusuri lebih jauh lagi kita akan sampai pada partikel-partikel elementer yang terdaftar dalam model standar partikel elementer yang penjelasannya jauh lebih kompleks]. Hal ini dapat berarti bahwa jika alam semesta memang benar diciptakan, maka atom pertama yang tercipta adalah hidrogen dan helium karena atom-atom yang lain adalah produk yang muncul dari kedua atom ini.

Oleh karena itu, baik matahari, bintang, planet-planet, bumi atau objek apapun itu termasuk makhluk hidup, tersusun dari blok dasar yang sama. Hal ini juga berarti bahwa satu-satunya bagian dari teks yang ditulis Musa yang benar-benar memiliki arti sebagai penciptaan dari nol adalah penciptaan yang pertama pada hari yang pertama, yaitu ketika Musa menulis bahwa Sang Pencipta menciptakan langit dan bumi (alam semesta). Ini memiliki arti bahwa segala 'bahan mentah' alam semesta diciptakan pada saat itu juga. Jadi, cahaya yang merupakan ciptaan kedua pada hari pertama, bersama dengan ciptaan-ciptaan yang diciptakan selanjutnya, diciptakan atau dibuat berdasarkan material yang diciptakan pada penciptaan yang pertama di hari pertama.

Berkat perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, kita juga menemukan fakta yang tidak bisa dibantah bahwa alam semesta berperilaku memenuhi hukum-hukum alam yang teratur. Berdasarkan fakta ini, maka kita harus memahami bahwa jika memang benar alam semesta diciptakan oleh Sang Kecerdasan Yang Maha Tinggi, maka Dia tidak asal mencipta. Hal ini berarti bahwa Sang Pencipta tidak hanya sekedar menciptakan segala sesuatu semaunya Dia, melainkan menciptakannya sekaligus menetapkan hukum-hukum alam yang akan berlaku sepanjang usia alam semesta. Dengan kata lain, setiap kronologi dan proses yang terjadi dibalik terciptanya setiap ciptaan dalam minggu penciptaan membentuk hukum-hukum alam yang berlaku sampai saat ini. Mungkin inilah alasannya mengapa kisah penciptaan yang ditulis Musa berlangsung dalam 7 hari, bukan terjadi hanya dalam satu hari atau dalam sekejap. Jika saja penjelasan di atas benar, maka cahaya yang diciptakan pada hari pertama tidak mungkin dilenyapkan begitu saja dan kemudian diganti dengan matahari. Jadi, paling tidak, cahaya pada hari pertama mungkin berasal dari protobintang yang kemudian dijadikan sebagai bahan untuk membuat matahari (bintang). Hal ini kemudian menjadi hukum alam dan siklus yang berlaku seterusnya di alam semesta.

Di alam semesta yang luas ini, setiap waktu selalu ada kumpulan awan debu dan gas yang runtuh karena gravitasinya sendiri kemudian berevolusi menjadi protobintang. Walaupun menjadi awal dari siklus, awan debu dan gas (nebula) bukanlah protobintang, melainkan hanya sebagai 'bahan dasar'. Proto bintang juga bukanlah sebuah bintang melainkan hanya sebagai 'bahan dasar' dari sebuah bintang. Tidak semua nebula dapat menjadi protobintang, karena ada syarat-syarat alam yang harus dipenuhi. Begitu pula selanjutnya, tidak semua protobintang dapat menjadi bintang karena ada syarat-syarat juga yang harus dipenuhi oleh sebuah protobintang untuk bisa bertransformasi menjadi sebuah bintang.

Penjelasan panjang lebar ini bukanlah hasil dari suatu kajian ilmiah, melainkan hanya sebatas rangkuman dari imajinasi liar penulis yang menempatkan diri pada sisi dari golongan umat manusia yang mempercayai keberadaan Tuhan dan kisah penciptaan, dan mencoba untuk menjelaskan kisah penciptaan melalui kacamata sains dari sisi ini. Tulisan ini bukan untuk memihak atau untuk menyerang pihak manapun. Bahkan tulisan ini kemungkinan ada banyak celah dan kekeliruannya.

Pada dasarnya, berusaha mensinkronkan kitab taurat dan sains modern adalah sesuatu yang mustahil. Ini bukanlah sebuah pernyataan hiperbola, karena memang itulah kenyataannya. Musa menulis taurat ribuan tahun yang lalu dengan menggunakan konsep, pemahaman, serta ilmu sains yang berlaku pada saat itu. Dengan kata lain, Musa menulis berdasarkan ilmu astronomi kuno, yang bahkan belum ada satu orang pun yang hidup di zaman itu mengetahui bahwa Matahari adalah pusat tata surya. Selanjutnya, semua manusia yang hidup pada zaman Musa masih percaya - paling tidak mengetahui - bahwa bumi tempat kaki mereka berpijak adalah pusat alam semesta. Mereka tidak mengetahui bahwa bumi kita bulat dan berotasi. Mereka juga tidak tahu bahwa matahari adalah bintang, dan mereka juga tidak tahu bahwa kelap kelip yang mereka lihat di langit malam tidak semuanya merupakan bintang, tetapi ada juga planet-planet. Mereka tidak tahu bahwa bulan lebih kecil dari bintang, dan mereka malah beranggapan bahwa bulan memancarkan cahayanya sendiri.

Jika memang alam semesta diciptakan dan kisah penciptaan itu diwahyukan Sang Pencipta kepada Musa, maka kita tidak pernah tahu dengan pasti lewat cara apa Sang Pencipta mewahyukannya kepada Musa. Jika seandainya kisah itu diwahyukan melalui sebuah visi (penglihatan) atau mimpi, maka meskipun Musa menulis kisah itu berdasarkan penglihatannya, ia akan menulisnya dengan menggunakan pemahaman astronomi dan kosmologi kuno yang jauh berbeda dengan yang kita pahami sekarang. Sebaliknya, jika kisah itu diwahyukan secara langsung seperti sebuah pencerahan dalam diri Musa, tentunya Sang Pencipta juga mewahyukannya menggunakan konsep ilmu astronomi dan kosmologi kuno. Jika Dia mewahyukan kepada Musa menggunakan konsep ilmu pengetahuan alam (sains) yang sebenarnya, maka jelas Musa beserta semua orang yang hidup pada zaman itu akan kebingungan. Bahkan, bisa saja mereka menganggap kisah penciptaan itu sebagai sebuah dongeng yang lahir dari imajinasi yang kelewat batas karena begitu sukarnya untuk dipahami.

Jika alam semesta memang diciptakan seperti yang ditulis Musa, maka kita yang hidup di era sekarang tidak akan pernah bisa menyinkronkan pemahaman kita yang dibentuk dari pemahaman ilmu pengetahuan modern dengan teks yang ditulis berdasarkan pemahaman ilmu pengetahuan kuno. Sebaliknya, kita juga tidak bisa memaksa bahwa yang ditulis Musa adalah benar-benar mutlak bahwa seluruh kisahnya terjadi secara harfiah, karena kisah tersebut ditulis berdasarkan pemahaman ilmu pengetahuan kuno dan juga untuk dibaca oleh orang-orang yang hidup pada masa itu. Jadi, pasti ada bagian-bagian yang ditulis tidak seperti apa yang sebenarnya terjadi secara sainstifik.

Jadi, bagaimana proses terbentuknya atau lahirnya alam semesta yang kompleks ini masih tetap menjadi misteri dan teka-teki yang mungkin selamanya akan tetap menjadi misteri yang tidak akan pernah terpecahkan. Ilmu pengetahuan sains modern memiliki peluang untuk melangkah sedikit lebih maju dalam pemahaman yang lebih baik tentang asal usul alam semesta jika teori gravitasi kuantum telah ditemukan. Alasannya karena teori gravitasi kuantum adalah alat yang sangat dibutuhkan untuk dapat menjelaskan apa yang terjadi pada singularitas big bang. Karena itu, sampai saat ini, gravitasi kuantum masih menjadi cawan suci bagi seluruh ilmuwan di dunia.

Mau menerima kitab suci dan setengah menolak ilmu pengetahun alam (sains) karena dianggap tidak relevan dengan apa yang diajarkan kitab suci, atau sebaliknya, menerima ilmu pengetahuan alam dan menolak kitab suci yang dianggap tidak bersifat ilmiah dan tidak dapat dibuktikan, kedua-duanya merupakan pilihan pribadi dari setiap individu yang disebut manusia. Masing-masing berhak menentukan mana yang ingin diyakini dan mana yang tidak ingin untuk dipercayai. Dalam hal ini, penulis sendiri menempatkan diri dalam keadaan superposisi, artinya penulis berada pada kedua sisi sekaligus dalam waktu bersamaan. Bagi penulis, kedua sisi sama-sama benar menurut sudut pandang dan jalannya masing-masing. Teka-teki asal usul alam semesta yang masih menjadi misteri bagi ilmu pengetahuan modern dapat diisi oleh apa yang ditawarkan kitab suci, sebaliknya apa yang tidak bisa dijelaskan kitab suci dapat dijelaskan secara rinci oleh sains. Jadi, selama sains belum membuktikan secara utuh bahwa apa yang ditawarkan kitab suci adalah sepenuhnya salah, maka penulis akan tetap berada dalam keadaan superposisi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun