Dalam kitab tauratnya, Musa menulis urut-urutan penciptaan dalam rangkaian waktu tujuh hari yang disebut minggu penciptaan. Salah satu hal yang menarik dalam urutan penciptaan tersebut adalah terang atau cahaya diciptakan pada hari pertama yang sekaligus menandai dimulainya pergantian siang dan malam sebagai satuan harian. Sedangkan matahari yang kita kenal, yang penampakannya menjadi faktor pemisah periode siang dan malam baru diciptakan pada hari yang ke-empat. Jadi, jika benar alam semesta diciptakan oleh suatu Kecerdasan Yang Maha Tinggi, yang pribadinya disebut Tuhan, dan itu sesuai dengan apa yang ditulis (nabi) Musa dalam kitab tauratnya, maka apakah kronologi penciptaan tersebut mungkin terjadi jika dilihat dari sudut pandang sains? Jawaban singkat untuk pertanyaan ini adalah YA, sains mengizinkan hal itu terjadi. Bahkan, jika memang kisah penciptaan itu benar seperti yang ditulis Musa, maka cahaya memang harus diciptakan lebih dulu sebelum matahari.
Dalam pemahaman manusia yang hidup sezaman dengan Musa, terang dan gelap dipahami sebagai dua objek yang memiliki esensinya masing-masing, seolah-olah kedua hal tersebut adalah semacam dua zat berwujud yang berbeda dan bertolak belakang. Jadi, mereka belum mengetahui bahwa apa yang mereka anggap atau sebut sebagai terang dan gelap tersebut ditentukan oleh kehadiran 'objek' yang disebut cahaya. Hal ini dapat dimaklumi karena berdasarkan pengalaman sehari-hari, kita sering menjumpai bahwa pada siang hari ketika keadaan sedang mendung, dan matahari tidak tampak, keadaan sekeliling kita masih tetap dalam kondisi terang atau cukup terang. Sebaliknya, pada malam hari, meskipun ada 'cahaya' bulan dan cahaya dari bintang-bintang, keadaan di sekitar kita tampak gelap dengan langit yang berwarna hitam pekat. Â Bagi mereka yang belum mengetahui bahwa siang dan malam, termasuk warna langit (atmosfer) ditentukan oleh ada tidaknya cahaya matahari serta pengaruh dari posisi matahari terhadap bumi, wajar untuk beranggapan bahwa terang dan gelap adalah dua wujud zat yang berdiri sendiri dan tidak bergantung pada cahaya. Setengah hari yang dikuasai terang disebut siang, sedangkan setengah hari yang dikuasai gelap disebut malam. Oleh sebab itu, bagi mereka yang hidup pada masa itu, pancaran sinar (cahaya) dan terang adalah dua hal berbeda yang tidak berhubungan sama sekali. Bagi mereka, terang (siang hari) dapat eksis dengan sendirinya tanpa peran dari cahaya.
Dalam menulis tentang kisah penciptaan, Musa jelas-jelas menghubungkan secara langsung antara terang dan gelap terhadap siang dan malam. Jadi, jelas bahwa terang yang dimaksud adalah dalam pengertian harfiah, yaitu terang fisik atau cahaya, bukan terang Ilahi, terang pencerahan, atau terang yang berhubungan dengan keadaan yang bersih, dan lain sebagainya.
Dalam ilmu pengetahuan alam, terang fisik dan cahaya merujuk pada objek dan wujud yang sama. Akan tetapi, dalam penggunaan sehari-hari, kita sering menggunakan pengertian bahwa terang adalah kondisi adanya cahaya, seolah-olah terang adalah produk dari cahaya. Hal ini dikarenakan pengertian kata terang yang terlalu fleksibel dalam bahasa Indonesia. Namun, jika kita bersikeras menggunakan pengertian ini, maka jelas bahwa yang diciptakan adalah cahaya bukan terangnya.Â
(Demi menghindari ambiguitas maka untuk selanjutnya kita hanya akan menggunakan kata cahaya jika hal itu merujuk pada apa yang ciptakan pada hari pertama dalam kitab taurat Musa).
Dari zaman Musa, kita maju pada abad ke-19, ketika untuk pertama kalinya seorang fisikawan bernama James Clerk Maxwell menunjukkan secara teoritik maupun eksperimental bahwa cahaya adalah gelombang elektromagnetik. Lebih tepatnya, Maxwell menunjukkan bahwa apa yang kita sebut sebagai cahaya adalah salah satu jenis dari jenis-jenis spektrum gelombang elektromagnetik yang disebut sebagai cahaya tampak. Secara luas, radiasi elektromagnetik itu sendiri diklasifikasikan dalam beberapa kelas, yaitu; gelombang radio, radiasi gelombang mikro, radiasi infra merah, cahaya tampak, radiasi ultraviolet, radiasi sinar-X, dan radiasi gamma. Klasifikasi di atas diurutkan dari jenis radiasi yang memiliki frekuensi dan energi terendah ke jenis radiasi dengan frekuensi dan energi yang paling tinggi.
Mata manusia memiliki keterbatasan untuk hanya dapat menangkap radiasi gelombang elektromagnetik yang besar frekuensinya berada di 'tengah', yaitu gelombang cahaya tampak yang frekuensinya berada di antara 400 hingga 790 teraHertz. Radiasi dengan frekuensi yang lebih kecil dari itu, seperti radiasi inframerah, gelombang mikro dan gelombang radio, ataupun radiasi yang frekuensinya lebih dari 790 teraHertz, seperti sinar-X, sinar ultraviolet dan sinar gamma tidak bisa ditangkap oleh mata manusia. Cahaya tampak pun terbagi lagi atas beberapa spektrum yang ditangkap oleh mata manusia sebagai cahaya dengan warna-warna pelangi.
Urutan besar-kecilnya frekuensi atau energi dari jenis-jenis cahaya tampak selaras dengan urutan warna-warna pelangi, dimana spektrum yang frekuensi energinya paling rendah adalah merah, dan spektrum yang frekuensinya paling tinggi adalah biru. Pada saat kita memanaskan besi dan besi mulai meradiasikan panas, maka besi saat itu sudah memancarkan radiasi inframerah. Namun, karena inframerah bukan cahaya tampak maka kita hanya merasakan pancaran panasnya dan tidak bisa melihat warnanya. Semakin dipanaskan, besi akan mulai memasuki spektrum cahaya tampak dan mulai tampak berwarna merah gelap. Semakin dipanaskan warna merahnya akan makin cerah bahkan berubah menuju jingga hingga kekuningan. Dalam skala normal, kita hanya bisa memanaskan besi hingga memancarkan spektrum jingga kekuningan, tidak bisa mencapai warna hijau apalagi biru.
Bagaimana dengan cahaya putih yang dipancarkan matahari? Cahaya putih dari matahari merupakan gabungan dari semua jenis spektrum cahaya tampak. Hal ini pertama kali dibuktikan oleh Sir Isaac Newton dengan cara menguraikan cahaya matahari menggunakan kaca prisma. Ketika seberkas cahaya matahari dilewatkan melalui prisma oleh Newton, cahaya yang menembus prisma terurai menjadi berkas-berkas cahaya dengan warna-warna pelangi. Selanjutnya, cahaya dengan berbagai warna 'pelangi' tersebut dilewatkan pada prisma yang kedua, maka setelah melewati prisma kedua, cahaya tadi kembali menjadi cahaya putih. Jadi, jika kita menggabungkan semua warna primer cahaya yang ada dalam rentang frekuensi cahaya tampak maka akan menghasilkan cahaya putih.
Ketika memasuki abad ke-20 dimana teori kuantum ditemukan, sejarah peradaban manusia mulai memasuki babak baru. Oleh Planck dan Einstein, cahaya beserta jenis-jenis radiasi gelombang elektromagnetik lainnya yang sebelumnya dikenal sebagai gelombang, dibuktikan memiliki sifat lain sebagai partikel. Lebih tepatnya, menurut Einstein, gelombang cahaya adalah kumpulan paket-paket energi atau partikel-partikel cahaya yang disebut foton. Jadi, secara gamblang dapat disebut bahwa cahaya adalah segerombolan partikel-partikel foton.
Jika kita menghubungkannya dengan kisah penciptaan, maka ketika Musa menulis bahwa cahaya diciptakan pada hari pertama, kita harus memikirkan bahwa yang diciptakan itu adalah foton. Selanjutnya, oleh karena foton adalah partikel elementer yang memuat atau membawa informasi dari gaya elektromagnetik, maka itu berarti pula bahwa pada hari pertama, semua jenis radiasi atau spektrum gelombang elektromagnetik ikut eksis, bukan cuma cahaya tampak yang dapat ditangkap oleh mata manusia.