Mohon tunggu...
Ricardo Siahaan
Ricardo Siahaan Mohon Tunggu... Penulis - Telah menulis buku yang diterbitkan Elex Media Komputindo Jakarta dan Andi Offset Yogyakarta buku tentang desain arsitektur 2D dan 3D serta Animasi

Telah menulis

Selanjutnya

Tutup

Cerbung Pilihan

Senyummu Sehangat Kopi Pagi

7 November 2024   16:25 Diperbarui: 8 November 2024   14:48 96
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerbung. Sumber ilustrasi: pixabay.com/Yuri B

 

SENYUMMU SEHANGAT KOPI PAGI

 

Sudah lima tahun terakhir ini toko kue di ujung pertigaan jalan selalu ramai dari pengunjung yang setia menjadi pelanggan tetap. Meskipun baru buka pukul 07.00, namun pelanggan sudah menunggu sejak pukul 06.30. Ada yang membeli kue-kue dan membawa ke rumah untuk disantap bersama keluarga sebagai sarapan pagi, ada juga yang langsung menikmatinya pada setiap meja yang sudah tersedia.

Seperti biasanya, setelah menyelesaikan pekerjaan dibagian dapur, Laras akan menuju kamar mandi yang tersedia dalam ruang kerjanya. Kemudian melepaskan rasa penat dan pegal dengan berendam air hangat didalam bathtub.

* * *

 Antrian panjang di depan kasir serta meja-meja yang sudah terisi oleh pengunjung, merupakan sebuah pemandangan rutin setiap pagi memenuhi toko kuenya.

Tatapan Laras tertuju pada salah satu meja. Di sana akan selalu ditemukan sosok misterius sedang melakukan aktifitas dengan lembaran-lembaran kertas dan pensil sambil menikmati sarapan pagi.

Hingga membuat Laras akan selalu menatap pada sosok misterius ketika sudah keluar dari ruang kerjanya serta sudah berpenampilan gadis modis dan tidak terlihat seperti seorang koki.

Tanpa Laras sadari, aktifitasnya menatap sosok misterius, telah membuatnya melupakan sesuatu.

 "Pikir-pikir dulu, aku sih mau saja meneruskan usaha kamu ini. Tapi apa di kota yang baru nanti kamu akan fokus membuka usaha yang sama?" Nasehat Sarah mengingatkan.

"Masa sih, kamu nggak percaya sama aku?" Laras bertanya balik.

Sarah tersenyum datar, sambil mendekatkan diri pada sahabatnya itu. Ia benar-benar dapat merasakan risau yang sedang mengakrabi kehidupan Laras.

"Laras, pokoknya aku tidak setuju," ujarnya sambil menatap sahabatnya itu penuh dengan rasa khawatir.

"Kamu bisa aja...," Laras melepaskan tangan Sarah yang sejak tadi melingkar dipinggangnya. Kemudian mendekati jendela ruang kerjanya. Tatapannya menembus kaca dan tertuju pada hingar-bingar jalan raya. Ingin rasanya dapat berbaur di sana, melupakan sejenak rasa jenuh yang telah memenuhi pikirannya.

Laras sendiri tak memungkiri. Apa yang dikhawatirkan Sarah sangat beralasan, sebab ia sendiri tidak tahu tujuan sebenarnya untuk pergi ke kota lain. Dia hanya berharap, dengan pergi dari rutinitasnya saat ini, mungkin dapat menghapus rasa jenuh yang kian hari semakin menggunung memenuhi pikiran, serta hatinya yang paling dalam.

Satu minggu setelah mereka berdua berdebat. Sosok misterius hadir di toko kuenya. Meskipun Laras tidak terlalu perduli dengan sosok tersebut, namun tanpa ia sadari telah membuatnya lupa tentang rencana pindah ke kota lain.

 "Ehem..., melamun lagi..." Ingatan Laras buyar seketika.

Laras mengangkat wajah, ingin tahu pemilik suara asing tersebut. Alamak! Sosok misterius telah berdiri tepat dihadapannya sambil menyeruput kopi hangat dari gelas yang digenggam.

 "Nggak, kerja?" Tanya Laras asal-asalan.

"Maunya sih pengen kerja kantoran, tapi nggak suka dengan jam kerja yang sangat mengikat," jelas sosok misterius.

"Nggak adalah kantor seperti itu," sambung Laras menanggapi.

Sosok misterius itu tersenyum.

"Lagi nulis apa, sih?" Tanya Laras mengalihkan topik pembicaraan

"Novel," jawabnya singkat.

"Jadi kamu seorang novelis?"

"Baru memulai."

"Judulnya apa-an?"

"Masih rahasia."

"Ah, dari tadi kamu terus yang nanya. Sekarang gantian."

"Boleh, silahkan...," ucap Laras tersenyum, entah mimpi apa dia tadi malam. Sosok misterius ini sudah mengunjungi toko kuenya hampir setiap hari selama tiga bulan serta duduk berjam-jam sambil melakukan aktifitasnya disalah satu meja.

"Toko kue ini milik kamu?"

Laras menganggukkan kepala.

"Kokinya pasti dibayar mahal," komentar sosok misterius.

Laras kembali terseyum.

"Alasannya?"

"Ya iyalah..., mana ada sih seorang koki mau dibayar murah jika pelanggannya selalu kembali ke sini?"

Untuk yang kesekian kali Laras kembali tersenyum.

"Dari tadi kamu cuma tersenyum saja," protes sosok misterius.

"Habis..., kamu tampaknya sangat mengerti tentang..., pekerjaan seorang koki..., menu enak atau..., kue-kue yang dibuat oleh seorang koki. Bahkan mungkin tentang bisnis restoran," jelas Laras beralasan.

"Nggak terlalu mengerti banget, kok. Selain baca dan dengar cerita dari beberapa teman yang tahu persis profesi seorang koki, cuma itu aja...," jelasnya sedikit merendah.

"Pasti kamu penasaran dan siapa sebenarnya koki yang kerja di sini," ujar Laras

"Boleh-boleh...,"sambungnya bersemangat.

Laras menjulurkan tangan. Sosok misterius mengerutkan dahi.

"Ah..., nggak mungkin!"

Laras menarik kembali tangannya.

"Nggak percaya?"

Sosok misterius menatapnya penuh ragu.

 "Sure..., koki di sini aku sendiri," jelas Laras dengan nada merendah.

Sosok misterius itu tampak masih memperlihatkan raut wajah tak percaya.

"Melihat penampilan kamu, sorry. Aku nggak percaya."

"Ah, masa sih kamu nggak percaya?" Tanya Laras memperlihatkan raut wajah sebal.

"Setahu aku..., yang namanya koki atau pembuat kue, pokoknya yang berhubungan dengan jenis makanan pasti...," jelasnya terputus sambil mengamati Laras.

"Gemuk," sambung Laras.

"Bukan aku yang bilang, loh," ujarnya sambil menahan tawa.

Laras balas terseyum. Kemudian keluar dari balik etalase, matanya seakan memberi isyarat agar mengikutinya ke meja yang sering digunakan sosok misterius itu.

Mereka duduk saling berhadapan, dengan hanya dipisahkan tumpukan lembaran kertas.

Laras mencoba menyentuh lembaran kertas dihadapannya, namun sosok misterius itu tidak tinggal diam. Dengan cepat diangkatnya seluruh tumpukan kertas tersebut dan memasukkan ke dalam tas kecil yang selalu tergantung pada bahu sebelah kanan.

"Ingat, masih rahasia," ucap sosok misterius mengingatkan.

"Terus..., kapan dong aku bisa membacanya?" Tanya Laras dengan wajah cemberut.

"Nanti, setelah dicetak oleh penerbit. Aku akan kirim lewat pos," jawab sosok misterius tersebut.

"Kenapa mesti lewat pos? Kan bisa langsung kamu antar ke sini," ucap Laras merasa heran.

"Aku kan tinggal di Jakarta?" Jawab sosok misterius itu dengan enteng.

"Oo...," Seketika Laras terkesima mendengar pengakuan dari sosok misterius itu. Namun Laras berusaha menyembunyikan perasaan kecewa yang mungkin dapat terlihat dari sinar matanya.

"Terus, selama ini kamu tinggal di hotel?"

"Nggaklah, biaya nginap di hotel kan mahal. Aku kos-kosan," jelasnya.

"Jadi..., kamu datang ke kota ini hanya untuk nulis novel?"

"Awalnya sih, begitu..." (Bersambung Ke Bab Berikutnya)

"Terus...?" Laras penasaran.

"Lama-lama kerasan juga tinggak di kota kecil ini," jelas sosok misterius.

"Oya?" Detak jantung Laras sedikit terhibur.

"Sudah yakin? Kalau penerbit akan menerbitkannya?" Sambung Laras.

"Sebelum nulis, aku udah ajukan proposal ke penerbit. Dan mereka setuju, setelah membaca ide cerita yang akan aku tulis," jelasnya sambil meraih gelas dari atas meja.

Satu kali tegukan, sisa kopi hangat masuk kedalam tenggorokannya.

"Ayo..., kapan aku bisa ngeliat kamu bikin kue?" Tanyanya seperti menggoda.

"Loh, kan tadi nggak percaya?"

"Justru itu, buktikan dulu dong."

"Sekarang boleh," ucap Laras merasa tertantang.

"Kalau sekarang jangan, siang ini aku harus ke Jakarta. Bagaimana kalau hari Sabtu depan? Jumat sore aku udah balik," ucapnya berdiri sambil memperhatikan jarum jam di tangan kirinya.

Dan mata Laras pun dengan sigap tertuju pada jarum jam dinding di belakang kasir. Selalu waktu yang sama sosok misterius itu meninggalkan toko kuenya.

"Oke, sukses ya?" ucap Laras masih berusaha menyembunyikan rasa kecewanya. Setelah tiga bulan menunggu, rasanya terlalu singkat pembicaraan yang mereka lakukan hari ini.

"Thanks..., sampai jumpa Sabtu depan," balasnya lalu pergi.

Laras terdiam sambil menatap sosok misteris itu menghilang di balik pintu toko kuenya. Hanya menggenggam sebuah janji akan kembali, tanpa sebuah naman atau nomor handphone. Sepertinya tak adil, bisiknya dalam hati. Tiga bulan bukanlah waktu yang singkat.

BERSAMBUNG...

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun